Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Melakukan Apa Pun di Ruang Tertutup



Melakukan Apa Pun di Ruang Tertutup

0"Anya, taman ibu juga milikmu. Aku membeli taman itu untukmu. Terserah saja kamu mau melakukan apa pada taman itu. Ibu tidak akan ikut campur," kata Diana pada putrinya.     
0

"Aku ingin mempertahankan taman vanili dan menjual sisanya pada Atmajaya Group. Kemudian, aku ingin mengembalikan uang hasil tanah itu kepada Paman Galih," kata Anya.     

Diana terkejut mendengarnya, "Galih? Kita memiliki hutang pada pada Galih?"     

"Uang yang ibu gunakan untuk membeli taman bukan uang yang ditinggalkan oleh kakek, tetapi dari Paman Galih. Paman Galih yang memberikan uang itu pada nenek," Anya menjelaskan pada ibunya.     

"Apa?" Diana menoleh ke arah pintu dan melihat Galih sedang berdiri di sana.     

"Anya, ayo kita keluar sebentar," Aiden menarik Anya keluar dari kamar Diana.     

Begitu melangkah masuk ke dalam ruangan, Galih mengangguk untuk mengucapkan terima kasihnya pada Aiden.     

"Tetapi aku belum selesai mengobrol dengan ibu," Anya menolak saat Aiden menggandengnya keluar. Ia ingin masuk ke dalam ruangan lagi.     

"Biarkan ibumu dan Paman Galih bicara dulu," kata Aiden dengan tenang.     

"Tetapi …" Belum selesai mengatakannya, Aiden langsung mencium bibirnya.     

Mereka sedang berciuman di koridor rumah sakit. Para dokter dan perawat sesekali melewati koridor tersebut. Para pengawal Aiden yang berdiri di samping langsung memelototi semua orang yang lewat sehingga tidak ada yang berani melihat mereka.     

Ciuman Aiden terasa lembut dan hangat, membuat Anya tenang. Setelah tidak berontak lagi, Aiden melepaskan bibir anya.     

"Kamu tidak boleh ikut campur dalam urusan orang tua," kata Aiden.     

"Kamu tidak boleh menciumku di depan banyak orang!" wajah Anya memerah karena malu. Matanya melotot ke arah Aiden dengan marah.     

Aiden senang melihat penampilan Anya yang malu-malu. Ia merasa istri kecilnya itu sangat menggemaskan.     

"Aku malah ingin menciummu lagi," setelah mengatakannya, Aiden menundukkan kepalanya dan mencumbu bibir Anya lagi.     

Anya hanya bisa memukul bahu Aiden dengan sedikit keras, tetapi Aiden tetap tidak mau melepaskannya.     

Setelah beberapa lama, Aiden merasakan detak jantung Anya semakin kencang dan napasnya tersengal-sengal. Akhirnya, ia memutuskan untuk melepaskannya.     

"Apakah kamu sudah tenang sekarang?" tubuh tinggi Aiden, menyudutkannya di dinding koridor. Salah satu tangannya bersandar di dinding, tepat di atas kepala Anya, sementara tangannya yang lain memegang dagu Anya dengan lembut.     

Anya hanya bisa mengalihkan pandangannya, malu untuk menatap wajah suaminya sendiri. "Jangan di sini. Ada banyak orang."     

"Aku sedang mencium istriku sendiri. Siapa yang bisa menghalangiku?" kata Aiden dengan acuh tak acuh.     

"Kamu bisa melakukan apa pun di ruang tertutup, tetapi tidak di tempat terbuka seperti ini!" kata Anya sambil melotot.     

"Bisa melakukan apa pun di ruang tertutup?" Aiden mengalihkan pandangannya dan melambai ke arah salah satu perawat. "Aku ingin memesan satu kamar."     

Anya terdiam mendengar apa yang Aiden katakan pada perawat tersebut. Apakah ia barusan salah bicara?     

"Tidak, maksudku bukan begitu. Maksudku …"     

"Apa maksudmu?" Aiden menatap istrinya sambil tertawa.     

"Aiden!" Anya menghentakkan kakinya dengan marah, "Kamu mengerti apa maksudku!"     

"Aku tidak tahu," Aiden berpura-pura bingung.     

"Aku tidak peduli lagi padamu!" Anya mendorong tubuh aiden dan berjalan ke arah pintu kamar ibunya.     

Aiden mengikuti Anya, mengulurkant angan besarnya untuk memeluk pinggang Anya. "Apakah kamu ingin menguping bersama-sama?"     

Anya mengedipkan matanya berulang kali. Menguping?     

Ia berpikir dengan matang-matang. Bagaimana kalau ibunya dan Paman Galih membicarakan masalah yang penting. Aiden tidak boleh mendengarnya, karena Aiden adalah menantu.     

Ia langsung menghentikan Aiden, "Lebih baik kita menunggu saja."     

"Kamu tidak ingin tahu apa yang mereka bicarakan?" tanya Aiden dengan lembut.     

"Aku lebih ingin tahu apa yang ibuku ceritakan saat aku pergi," kata Anya.     

"Duduklah di sini. Aku akan memberitahumu," Aiden menggandeng tangan Anya dan duduk di sebuah kursi tunggu yang menghadap ke arah jendela.     

Mereka duduk berdampingan. Pemandangan di luar jendela langsung menuju ke arah taman rumah sakit yang penuh dengan bunga-bunga, mengelilingi sebuah air mancur.     

"Bagaimana kamu bisa membujuk ibuku untuk percaya padamu?" Anya masih ingat betul ketika ibunya bangun dan memaksanya untuk bercerai.     

"Ibumu hanya khawatir kamu akan direndahkan oleh Keluarga Atmajaya. Selain itu, ia juga khawatir karena Imel adalah pasangan ayahku. Ibumu tidak mau kamu memiliki ibu mertua yang kejam. Ia juga khawatir kalau aku tidak benar-benar mencintaimu dan hanya menginginkan tamanmu. Aku sudah mengatakan yang sejujurnya kepadanya dan ibumu telah menerima semuanya. Mana ada orang tua yang tidak ingin anaknya bahagia? Selama aku memperlakukanmu dengan tulus, ibumu sudah cukup puas," Apa yang Aiden katakan sangat sederhana.     

Padahal, sebenarnya saat Anya pergi, semua kata-kata yang terlontar dari bibir Diana sangatlah tajam dan kejam. Ia seperti ibu beruang yang sedang melindungi bayinya, sehingga akan melakukan apa pun untuk melawan Aiden meski ia baru saja bangun dari tidur panjangnya.     

Alasan utama Diana menerimanya adalah karena ia telah menyelamatkan Anya tanpa memedulikan bahaya.     

Diana juga pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi korban ledakan sehingga ia bisa merasakan rasa sakit yang sama dengan yang Aiden rasakan.     

Aiden adalah pria yang kuat. Ia bisa kembali berdiri dari kursi rodanya dengan upayanya sendiri meski para dokter pun sudah menyerah.     

Sebelum ia pulih, ia tidak mencari Anya karena ia tidak ingin meminta balasan apa pun meski sudah menyelamatkannya.     

Ia sama sekali tidak tahu kalau Anya hilang ingatan.     

Hingga saat ini, ia bersembunyi dari Anya karena takut Anya akan terluka.     

Bagaimana mungkin pria seperti itu tidak menggerakkan hati orang lain. Tentu saja Diana akan menerima pria semacam ini untuk putri kesayangannya.     

Anya memeluk lengan Aiden dan menyandarkan kepalanya di bahu Aiden. "Apakah kamu tahu? Saat aku pergi, aku benar-benar takut kalian berdua akan bertengkar. Aku takut aku akan kehilangan dirimu dan aku takut harus memilih salah satu di antara kalian. Aku benar-benar lega saat menemukan kalian berdua berbincang-bincang dengan senang. Terima kasih, suamiku."     

"Terima kasih untuk apa?" tanya Aiden.     

"Terima kasih karena sudah bersabar membujuk ibuku hingga membuatnya mau menerimamu," kata Anya. Ia benar-benar tersentuh karena Aiden mau melakukan semua ini untuknya.     

"Untuk mendapatkan persetujuan ayahku, kamu bahkan menandatangani surat perjanjian untuk memberikan tamanmu dan keluar tanpa membawa apa pun kalau kamu bercerai denganku. Apa yang aku lakukan ini bukanlah apa-apa," kata Aiden sambil memeluk Anya dengan erat di pelukannya.     

Anya terkejut. "Bagaimana kamu bisa tahu?"     

"Pada saat pesta ulang tahun, kita menginap di rumah Keluarga Atmajaya. Semua pelayan di rumah memanggilmu dengan sebutan Nyonya dan mengakui identitasmu sebagai menantu di rumah tersebut. Ayahku juga tidak menghentikanku dan menyebutmu sebagai istriku. Aku menebaknya dan kemudian bertanya pada Harris," Aiden mengecup rambut Anya dengan lembut, "Anya, apakah kamu tahu berapa banyak kerugian yang kamu alami setelah menandatangani perjanjian itu?"     

Anya mengangkat kepalanya dan berkata, "Selama aku memilikimu, aku akan merelakan semuanya. Hanya kamu yang aku butuhkan."     

Aiden tersenyum mendengarnya. "Semua milikku juga adalah milikmu. Tidak peduli kamu menginginkannya atau tidak, semuanya adalah milikmu."     

"Aku hanya menginginkanmu," Anya balas menatap Aiden dengan tersenyum. "Aiden, dengarkan aku baik-baik. Kalau kamu bukan milikku, apa gunanya uang dan harta? Aku hanya butuh kamu. Jadi, aku tidak mengalami kerugian apa pun saat menandatangani surat perjanjian itu."     

Tatapan Aiden tampak penuh dengan cinta. "Kamu juga dengarkan aku baik-baik. Hanya kamu yang aku inginkan. Tidak peduli apa pun yang terjadi, tidak peduli siapa pun yang berusaha untuk memisahkan kita, kita akan selalu bersama."     

"Aku ingat," Anya mengangguk.     

Senyum merekah di wajah mereka berdua. Semuanya terasa jauh lebih mudah saat mereka berkomunikasi dengan jujur seperti ini!     

Pada saat ini, tiba-tiba saja ponsel Aiden berdering. Nico yang meneleponnya.     

"Paman, Paman Ivan sudah pulang. Kakek memintamu untuk mengajak bibi makan malam bersama di rumah malam ini. Kakek juga mengundang Imel dan Keara," kata Nico dari telepon.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.