Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Kemiripan yang Aneh



Kemiripan yang Aneh

0Anya menggigit bibirnya dan berhenti. Kemudian ia melirik ke arah Aiden dengan gelisah.     
0

"Kalian bicaralah dulu. Aku akan menunggu di luar," Aiden memahami arti tatapan Anya dan langsung keluar dari ruangan tersebut.     

Diana mengerutkan keningnya. "Mengapa kamu tidak bisa menanyakannya di depan Aiden?"     

"Ibu, aku sangat mirip dengan putri Paman Galih. Bukan hanya ayah saja yang mencurigainya, tetapi istri Paman Galih juga. Tentu saja aku percaya pada ibu, tetapi …"     

Diana menyelanya dengan tatapan serius. "Apakah kalian berdua semirip itu?"     

"Aku akan menunjukkan fotonya padamu," Anya langsung mengingat saat Keara meminta untuk berfoto bersamanya di pesta ulang tahun Bima. Ia mencari foto itu di ponselnya dan langsung menunjukkannya pada ibunya. "Sebenarnya kalau dilihat baik-baik, kami tidak semirip itu, tetapi sekilas …"     

Melihat foto tersebut, Diana juga terkejut. "Kenapa bisa wajahmu mirip dengannya? Tetapi aku memang benar-benar tidak ada hubungan apa pun dengan Galih."     

"Apakah Paman Galih menanyakannya padamu?" tanya Anya.     

"Iya. Ia bertanya padaku apakah ada sesuatu yang terjadi di antara kami saat kami bertemu dan minum-minum sehari sebelum aku menikah. Ia juga curiga bahwa kamu adalah putrinya," Diana menatap foto di ponsel Anya. semakin ia melihatnya, ia menjadi semakin bingung.     

"Kalau kalian berdua tidak mengenal satu sama lain dan tidak berteman, tidak akan ada yang berpikir macam-macam. Tetapi kebetulan ini sungguh aneh," kata Anya.     

"Tidak heran ayahmu juga curiga padaku. Tetapi tidak ada yang terjadi di antara aku dan Galih. Malam itu, setelah ia mabuk, Indah sendiri yang membawanya pulang," kata Diana, menyebutkan nama istri Galih saat ini.     

Anya memegang tangan ibunya dan berkata, "Ibu, aku tidak berniat mencurigaimu. Tetapi aku hanya ingin tahu kebenarannya dan memberitahumu masalah ini supaya kamu tidak terkejut kalau ada yang menanyakan hal ini nantinya."     

"Aku mengerti. Jangan khawatir. ibumu ini tidak akan pernah melakukan perbuatan buruk semacam itu. Kamu juga harus berani membela dirimu. Kita tidak melakukan kesalahan apa pun. Jangan takut dengan perkataan orang lain," kata Diana dengan lembut.     

"Baiklah kalau begitu. Aku akan mengurus semuanya sesuai dengan pengaturan ibu. Setengah uang dari rumah untuk ayah dan setengahnya untuk membayar Paman Galih. Aku juga akan menjual rumah kecil kita kepada paman penjual sayur agar kita bisa membeli taman baru," kata Anya, mengulang lagi semua perintah ibunya. "Aku sudah menggunakan resep ibu untuk membuat produk baru. Tetapi aku masih berusaha mengembangkannya.     

Diana mengangguk. "Ada satu lagi. Kalau kamu berencana untuk punya anak, kamu harus mulai mempersiapkan diri untuk kesehatanmu dan kesehatan anakmu. Karena aku tidak mau berhenti bekerja saat hamil, tubuhmu menjadi lemah sejak kecil. Semua itu salahku."     

"Ibu, apakah aku tidak terlihat sehat sekarang?" Anya memegang tangan ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. "Ibu, aku sama sekali tidak menyalahkan ibu. Aku benar benar bersyukur ibu telah memberiku kehidupan ini."     

Mata Diana ikut panas mendengar kata-kata putrinya. "Kamu harus tetap sehat dan hidup bahagia. Karena hanya kamu satu-satunya yang ibu miliki di dunia ini."     

"Aku sangat bahagia, Bu. Bulan oktober nanti, aku akan meluncurkan produk baruku. Aku membuatnya berdasarkan formula ibu. Parfum ini tidak akan kalah dari Imel," kata Anya dengan penuh percaya diri.     

"Ibu percaya padamu. Putri ibu memang yang terbaik," Diana tersenyum dan mengelus kepala putrinya.     

"Sayang sekali malam ini aku harus makan bersama keluarga Aiden. Jadi aku tidak bisa menemani ibu. Aku akan kembali lagi besok. Ibu beristirahatlah!" kata Anya.     

"Kamu tidak perlu datang ke sini. Besok adalah hari sabtu. Kamu dan Aiden juga harus beristirahat. Pergilah bersenang-senang dan datanglah lagi hari senin," kata Diana sambil tersenyum.     

"Bagaimana ibu bisa tahu besok hari sabtu?" tanya Anya dengan terkejut.     

Diana mengangkat kepalanya, menunjuk ke arah sebuah jam dinding. "Itu ada tanggalnya."     

Anya tertawa mendengarkan jawaban ibunya. "Aku akan kembali kuliah mulai minggu depan. Aku tidak akan punya banyak waktu untuk menemani ibu. Jadi besok …"     

"Apakah aku tidak bisa tidur dengan tenang selama satu atau dua hari saja? Selama aku koma, aku selalu mendengar celotehanmu di telingaku. Pergilah dan bersenang-senanglah. Tidak usah mengkhawatirkan ibu. Ibu baik-baik saja," kata Diana, setengah menggoda putrinya.     

"Apa ibu yakin tidak membutuhkan aku?" tanya Anya dengan khawatir.     

"Kamu baru saja menikah. Suamimu jauh lebih membutuhkanmu daripada ibumu. Melihat kalian berdua memiliki hubungan yang sangat mesra, sepertinya ibu akan segera melihat cucu. Aku tidak siap untuk memiliki cucu, aku akan terlihat tua," goda Diana.     

Wajah Anya sedikit merona saat ia menoleh ke arah pintu kamar ibunya. Aiden sedang memegang ponselnya dan berbicara sesuatu di telepon.     

"Aku pikir dulu Tuhan menutup matanya dan tidak ingin kita hidup bahagia. Ibu telah kehilangan segalanya dan bahkan kesehatannya sehingga kita hidup dengan menderita. Tetapi sekarang aku menyadari bahwa Tuhan masih menyayangi kita. Aku sangat senang sekarang. Ibu harus segera pulih agar kita bisa pulang!" kata Anya sambil tersenyum.     

"Semuanya akan baik-baik saja," Diana merasa sedikit lelah sehingga ia memejamkan matanya. "Pulanglah. Ibu juga ingin beristirahat."     

"Kalau ada sesuatu, hubungi aku. Ngomong-ngomong, ada cermin kecil di laci sebelah tempat tidur ibu. Ibu bisa melihatnya," kata Anya sambil mengedipkan matanya.     

Anya tidak memberitahu bahwa bekas luka di wajah ibunya telah jauh berkurang setelah menggunakan obat dari Aiden.     

Saat ini, kulit di wajah ibunya masih terlihat sedikit cokelat. Dulunya, mereka pikir mustahil wajah ibunya akan kembali seperti normal. Tetapi sekarang, keadaannya sudah jauh lebih baik.     

Ibunya pasti akan sangat senang melihat wajahnya mulai kembali seperti dulu!     

"Setelah beristirahat hari ini, besok ibu akan meneleponmu," kata Diana.     

"Kalau begitu aku akan pergi. Beristirahatlah," Anya membetulkan selimut ibunya dan keluar dari ruangan tersebut.     

Aiden sedang berdiri di depan jendela besar. Tidak tahu apa yang ia bicarakan di telepon, tetapi wajahnya tampak sangat tegas.     

"Seharusnya ia sudah tahu apa konsekuensinya saat ia berani memasukkan obat ke dalam minumanku. Selama ia masih bernapas, jangan harap ia bisa keluar dari penjara. Kalau memang ia mau keluar, biarkan ia mati terlebih dahulu. Baru kamu bisa membawa mayatnya keluar," kata Aiden dengan suara dalamnya.     

Anya bisa mendengar apa yang Aiden katakan dan kakinya berhenti melangkah beberapa meter darinya. ia bisa menebak bahwa Aiden sedang membicarakan mengenai Raisa.     

Raisa sudah berada di dalam penjara selama beberapa hari. Raisa yang seperti seorang tuan putri, hidup dimanja dan selalu dituruti, merasa satu hari yang ia lalui di dalam sel penjara sama seperti satu tahun. Setiap menit ia menderita dan sudah tidak tahan lagi.     

"Paman, Raisa digigit nyamuk dan terkena demam berdarah. Kalau ia tidak segera dirawat, ia akan benar-benar mati," Nico benar-benar gelisah seperti panci mendidih yang terus bergoyang ke sana kemari. Ia takut adik temannya itu benar-benar akan mati.     

Aiden langsung segera memberikan persyaratan baru. "Katakan pada Raka, kalau ia tidak mau adiknya mati, ia harus menjual tanah yang dimiliki oleh perusahaannya yang terletak di tengah kota."     

"Tengah kota? Apakah yang paman maksud tanah di tengah pusat komersial? Raka tidak akan mau menjualnya," kata Nico.     

"Kalau begitu biarkan saja Raisa mati," Aiden menutup teleponnya dengan dingin.     

Anya melihat Aiden menutup teleponnya dan langsung menghampirinya. "Ibuku sedang beristirahat."     

"Ayo kita pergi" Aiden menyuruh salah satu pengawalnya untuk berjaga di depan pintu dan memberitahu pegawai rumah sakit agar tidak membiarkan siapa pun selain keluarga mengunjungi Diana.     

Aiden menggandeng tangan Anya dan pergi menuju ke lift. Ketika menunggu lift, Anya menatap Aiden dengan ragu. "Apakah Raisa ingin keluar dari penjara?"     

"Hmm … Ponselmu berbunyi," Kemudian Aiden mengingatkan dengan satu kalimat. "Mungkin Raka yang meneleponmu."     

Anya terdiam sejenak dan mengeluarkan ponselnya dari tas. Sesuai dengan yang Aiden katakan …     

"Tuan Atmajaya, tebakanmu sangat benar. Kalau ia memohon agar aku membantunya mengeluarkan Raisa dari penjara, apa yang harus aku katakan?" tanya Anya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.