Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Sengaja Melukai



Sengaja Melukai

"Hari ini, aku tidak minta pendapat kalian. Meski kalian tidak senang sekali pun, aku akan tetap menikahi Imel," kata Bima dengan tegas. Ia bersikeras ingin menikahi Imel dan memberi nama belakangnya.     

"Ayah, aku harap ayah berpikir matang-matang. Saat ini, Ivan masih belum menikah dan Nico bahkan masih belum memiliki kekasih. Kalau ayah mendahulu mereka untuk menikah dan memiliki istri baru, apa kata orang nanti? Bagaimana Nico bisa menikah nantinya?" kata Maria dengan tidak senang.     

Bima merasa sedikit malu setelah dinasehati oleh menantunya. Ia memegang tangan Imel. "Imel, Nico akan dijodohkan dengan Lisa, putri dari Keluarga Srijaya. Ibunya yang mengatur semuanya. Aku khawatir kita malah akan menghalangi hubungan generasi yang lebih muda. Aku hanya bisa membuatmu menunggu sedikit lebih lama."     

Kilau dingin terlihat di mata Imel, tetapi hanya berlalu sebentar saja. Ia langsung menyunggingkan senyum ramahnya. "Bima, selama aku bisa bersama denganmu, aku tidak peduli apa pun. Pernikahan Ivan dan Keara juga sudah dekat. Aku juga tidak mau menghalangi pernikahan putraku dan membuatnya malu."     

"Kalau kamu memang tahu malu, seharusnya sejak awal kamu tidak melakukan hal yang memalukan seperti ini," kata Aiden dengan sinis.     

"Apakah seperti itu caramu berbicara pada orang tua? Apakah aku harus mati dulu sebelum bisa berbicara baik-baik denganmu," Bima mengambil gelas teh yang ada di meja dan melemparkannya pada Aiden.     

Aiden memeluk tubuh Anya dan langsung menghindarinya.     

Tetapi sayangnya, gelas itu malah mengenai kepala Nico.     

"Aduh!" teriak Nico. Untung saja gelasnya bukan terbuat dari kaca sehingga lukanya tidak terlalu serius.     

Namun, karena lemparannya cukup keras, semua orang di ruangan langsung terkejut. Selain itu, Nico berakting dan melebih-lebihkan reaksinya, membuat suasana di ruangan itu semakin menegangkan ...     

"Nico!" seru Maria, bergegas menghampiri putranya.     

"Ibu, kakek ingin membunuh cucunya sekarang. Nasibku sungguh menyedihkan. Ayahku mati muda dan kakekku melukaiku untuk seorang wanita. Lebih baik aku mati saja!" Nico menangis dan berteriak dengan keras, berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan pertunjukkan yang menarik.     

Di momen-momen yang luar biasa ini, ia memaksakan matanya untuk mengeluarkan setetes dua tetes air mata untuk membuat suasananya semakin berlebihan.     

Tetapi setelah melihat Anya yang berusaha menyembunyikan senyumnya, air matanya sama sekali tidak bisa keluar!     

'Bibinya sudah merusak aktingnya yang luar biasa!' pikir Nico dalam hati.     

"Ayah, jangan marah. Kita semua kan keluarga. Lebih baik kita membicarakannya baik-baik."     

"Di keluarga ini, karena ada banyak orang-orang sepertimu membuat rumah ini terasa tidak nyaman," mata Aiden penuh dengan kebencian saat menatap Ivan.     

Ivan tidak tersinggung. Ia hanya membalas sambil tersenyum. "Aku minta maaf. Semua ini adalah salahku. Nico dan Lisa sedang membicarakan mengenai pernikahan. Kalau begitu, mari kita tunggu perjodohan Nico terlebih dahulu, baru membicarakan pernikahanku."     

"Ivan …" Imel merasa kesal mendengar putranya mengalah seperti itu.     

Mengapa harus putranya yang mengalah? Keara berniat untuk membatalkan pertunangannya. Jadi, akan lebih baik kalau pernikahan ini segera dilangsungkan.     

Apa hanya karena Nico sedang dijodohkan, berarti Nico harus bertunangan terlebih dahulu?     

"Kepalaku sangat sakit. Keningku bengkak dan sakit sekali! Sepertinya aku akan mati!" Nico masih menangis kesakitan, sama sekali tidak peduli dengan apa yang Ivan katakan.     

"Ibu, Keara adalah gadis yang pengertian. Ia akan memahaminya. Ditambah lagi, dengan kondisiku saat ini, aku tidak bisa melangsungkan pernikahan. Lebih baik membiarkan Nico bertunangan terlebih dahulu. Aku akan mempersiapkan pernikahan setelah aku sembuh," senyum di wajah Ivan selalu terlihat hangat.     

Sepuluh tahun lalu, Anya sudah tidak berhubungan dengan Ivan lagi. Ia baru tahu kalau Ivan yang ia kenal ternyata adalah putra kedua dari Keluarga Atmajaya.     

Selama bertahun-tahun, ia telah tinggal dan menjadi bagian dari Keluarga Atmajaya. Seperti inikah kehidupannya?     

Ivan selalu bersabar dalam menghadapi apa pun, termasuki hinaan dari Aiden. Anya juga tidak melihat kasih sayang Bima padanya.     

Anya tidak tahu apakah ini hanya perasaannya saja atau tidak. Tetapi mengapa ia merasa bahwa Bima sebenarnya tidak ingin menikah dengan Imel?     

"Ada masalah apa? Mengapa aku mendengar suara Nico begitu aku masuk dari pintu?" tanya Tirta, kakek Tara. Ia dan Tara baru saja masuk ke dalam rumah ketika mendengar suara ribut dari dalam.     

Ketika mendengar suara Tirta, mata Nico langsung berbinar dan berkata, "Dokter Tirta, kamu datang tepat waktu! tolong aku. Aku merasa pusing. Jantungku berdebar dengan sangat cepat dan seluruh tubuhku sakit. Apakah aku mengalami gegar otak?"     

"Bima, mengapa Nico bisa terluka seperti ini? Seharusnya kamu menahan emosimu," begitu mendengar apa yang dialami Nico, ia langsung tahu bahwa Bima lah yang melakukannya.     

Maria begitu mencintai Nico sehingga tidak mungkin ia yang melakukan hal ini pada putranya sendiri.     

Walaupun Aiden dan Nico adalah paman dan keponakan, mereka tumbuh besar bersama-sama dan sudah seperti saudara. Ia memang akan mengajari Nico dan menasihatinya ketika melakukan kesalahan, tetapi Aiden tidak akan pernah memukul Nico hingga separah ini.     

"Aku … Aku tidak sengaja. Ini adalah kesalahan," kata Bima.     

Tara menghampiri Nico dan melihat posisinya saat ini. Ivan dan Imel sedang duduk di sofa. Kalau Bima tidak sengaja melakukan hal ini, apakah itu artinya sebenarnya Bima ingin memukul Aiden? Tetapi ia salah sasaran dan mengenai Nico …     

Matanya tertuju pada Anya untuk mencari jawaban, mendapatkan jawaban anggukan dari Anya. setelah itu, Anya memandang ke arah Aiden, membuat dugaan Tara menjadi semakin kuat.     

"Kakekku memukul kepalaku dengan cangkir teh. Aku pasti gegar otak dan ini pasti sangat serius!" kata Nico sambil memiringkan kepalanya untuk bersandar di bahu Tara.     

"Tara, sepertinya aku akan pingsan."     

Tara langsung merasa malu melihat tingkah Nico. Ia mendorong kepala Nico dari bahunya, "Nico, berdirilah dengan benar!"     

"Aku pusing dan kepalaku gegar otak. Aku tidak bisa berdiri sendiri," Nico terus berpura-pura.     

"Bantu Nico untuk duduk di sofa," kata Tirta pada cucunya. Ia berpura-pura tidak melihat Nico sedang mengganggu Tara.     

Semua orang yang ada di ruangan itu bisa melihat betul bahwa Nico sedang berpura-pura, tetapi tidak ada satu orang pun yang bisa mengungkapkannya.     

Imel menghadap ke arah Tirta dan berkata dengan sopan. "Dokter Tirta, hari ini aku mengundangmu ke sini karena penyakit Ivan. Ketika masih muda, putraku pernah mengalami kecelakaan dan membuat punggungnya terluka. Bisakah kamu memeriksanya dan memberi solusi untuk penyakitnya ini."     

Mendengar hal ini, Aiden langsung menatap ke arah Anya. Tetapi ia menemukan bahwa Anya sedang memandang ke arah Ivan.     

Ivan menatap Anya sambil tersenyum. Meski ia tidak mengatakan apa pun, Anya bisa memahami dari tatapan matanya saja.     

Ivan tidak menyalahkannya dan memintanya untuk tidak menyalahkan dirinya.     

Seperti ini lah Ivan. Ia selalu memperhatikan semua orang dan menanggung bebannya sendirian. Ia memberikan kehangatan pada semua orang yang dikenalnya.     

Ia memeriksa Ivan dan kemudian berkata, "Setelah dioperasi, sebaiknya ia merawat dirinya dan melakukan rehabilitasi pemulihan agar tidak kambuh lagi." Setelah itu, ia memeriksa Nico dengan hati-hati.     

Ia memeriksa denyut nadi Nico dan kepalanya, memeriksa apakah Nico mengalami trauma atau gegar otak. Tetapi ia hanya bisa menyimpulkan satu hal, Nico hanya berpura-pura!     

Kulitnya memang sedikit terluka, tetapi hanya meninggalkan bekas kecil. Cangkir yang dilempar oleh Bima tidak akan bisa melakukan apa pun pada kulit tebal Nico.     

Ditambah lagi, dengan kemampuannya, seharusnya Nico bisa menghindarinya. Tetapi ia memilih untuk tidak melakukannya. Tirta bisa memperkirakan bahwa Nico sengaja membiarkan Bima memukulnya agar Bima merasa bersalah.     

"Tirta, apakah Nico terluka parah?" tanya Bima dengan khawatir.     

"Hanya goresan kecil. Tidak ada yang serius," jawab Tirta.     

"Dokter Tirta, mungkin aku mengalami luka dalam yang parah, yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Tolong periksa aku lagi baik-baik," Nico terus berusaha membujuk Tirta dan bersikap memelas di hadapannya.     

Tirta hanya bisa menghela napas panjang dan mengikuti drama yang diciptakan oleh Nico. "Bima, mengapa kamu harus memukul anak kecil seperti ini? Cucumu sangat tampan, bagaimana kalau ketampanannya hilang karena bekas luka di wajahnya?" Tirta menoleh dan menatap Maria. "Maria, tolong ambilkan es batu untuk mengurangi bengkak di dahi Nico."     

"Aku tidak secerdas pamanku. Kalau aku terluka dan tidak bisa bertunangan, kakekku bisa mengabaikan perjodohanku dan menikah dengan kekasihnya," gumam Nico dengan tidak senang. "Siapa yang tahu kalau ia sengaja melukai aku seperti ini!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.