Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Pengakuan



Pengakuan

0Melihat wajah Deny yang semakin tidak sedap dipandang, Bima berpura-pura menegur Nico hanya atas dasar kesopanan. "Nico, apakah seperti itu caramu berbicara pada orang tua? Berdirilah di samping Ivan."     
0

Nico berjalan menuju ke tempat Ivan, bersandar di lengan sofa dan bertanya pada Ivan. "Paman, apakah Paman Deny memang sekurang ajar ini sebelumnya?"     

"Aku tidak tahu. Tetapi aku tahu bahwa dari dulu ia lebih menyayangi Natali dibandingkan Anya," bisik Ivan.     

"Nico adalah cucu pertama dari Keluarga Atmajaya. Aku selalu memanjakannya sejak kecil sehingga ia sedikit seenaknya. Tidak usah diambil hati," kata Bima. Ia mengatakannya seolah menegur Nico, tetapi nadanya terlalu santai seolah apa yang dikatakan Nico adalah hal yang biasa.     

"Tetapi memang benar saat itu kami membelinya dengan harga pasaran dan tidak mengambil keuntungan darimu. Alasan Keluarga Tedjasukmana bisa bangkit dari keterpurukannya adalah karena bantuan dari keluarga kami, karena putrimu bertunangan dengan putraku. Tetapi seharusnya putrimu sadar apa yang telah ia lakukan untuk menggagalkan pertunangannya dengan Aiden …"     

Bima tidak menjelaskannya secara rinci, tetapi semua orang di ruangan itu, selain Ivan, mengetahui apa yang telah terjadi.     

"Memang benar. Namun sekarang tidak banyak orang yang tahu bahwa keluargaku dan keluargamu sudah bersatu, karena tidak banyak orang di luar sana yang tahu bahwa Anya adalah putri sulung dari Keluarga Tedjasukmana. Beberapa orang juga mengatakan bahwa putriku hanyalah pengganti dari putri Keluarga Pratama. Aku mencintai putriku dan ingin putriku mendapatkan yang terbaik." Kemudian, Deny melanjutkan sambil memasang wajah setulus mungkin. "Anya memang tidak tumbuh besar bersamaku. Ia sudah menderita sejak kecil. Oleh karena itu aku tidak mau ia diperlakukan secara tidak adil seperti ini."     

"Paman Deny, ibu Anya masih di rumah sakit dan tidak bisa menghadiri pernikahannya. Apakah kamu tidak kasihan pada ibunya? Lagi pula, Aiden dan Anya tidak menginginkan pesta," kata Maria di samping Bima.     

Bima tidak mengatakan apa pun tetapi menatapnya dengan puas, seolah ingin Maria terus berbicara.     

Melihat Bima tidak menentang perkataannya, Maria melanjutkan. "Kami juga berniat menjaga harga dirimu karena kamu tidak bisa memberikan hadiah pernikahan yang layak untuk putri sulungmu. Bukankah kamu akan menjadi bahan bulan-bulanan bagi orang luar? Putri kedua dari Keluarga Tedjasukmana bertunangan dan mendapatkan hadiah sebuah tanah. Ketika putri sulungnya menikah, tentu saja ia harus mendapatkan hadiah yang lebih baik. Apakah kamu sanggup?"     

"Paman Deny hanya memiliki satu tanah tersisa, tetapi ia memiliki dua putri. Bukankah terlihat sekali siapa yang lebih ia sayangi?" kata Nico dengan sengaja.     

"Nico, jangan begitu. Karena Paman Deny sudah datang ke rumah kita, ia pasti sudah punya rencana lain," kata Maria sambil tersenyum. Ia terdengar membela Deny, tetapi sebenarnya ia sedang menyindirnya secara halus.     

"Tanah itu sudah dijual ke perusahaan Mahendra dan prosedurnya sedang dilangsungkan. Setelah mendapatkan uangnya, aku akan memberikan hadiah pernikahan untuk Anya," kata Deny. "Ibu Anya masih sakit. Ketika pesta pernikahannya dilangsungkan. Istriku bisa …"     

"Anya, apakah kamu setuju kalau istri Deny menggantikan ibumu saat pesta pernikahan?" Bima tidak membiarkan Deny menyelesaikan kalimatnya dan langsung menyela kata-katanya.     

Anya memikirkan mengenai apa yang selama ini Mona telah lakukan kepadanya. Mana mungkin ia membiarkan Mona datang ke pesta pernikahannya untuk mewakili ibunya?     

Apa Deny pikir ia sudah gila dan tidak punya otak?     

Ditambah lagi, Deny datang hari ini dan menuntut pesta pernikahan mereka bukan untuk kebaikan Anya. Semua ini ia lakukan agar Aiden mau melepaskan Mona atas alasan bahwa mereka adalah besan.     

"Aiden dan aku masih sibuk. Kami tidak berniat untuk mengadakan acara. Tidak usah menggunakan alasan pernikahanku untuk membebaskan istrimu," di saat-saat seperti ini, Anya sudah tidak bisa memperlakukan Deny dengan hangat lagi seperti dulu.     

"Ada masalah apa?" Bima berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.     

"Ayahku butuh operasi ginjal. Sebenarnya, Natali sudah melakukan tes dan ginjal mereka cocok, tetapi Keluarga Tedjasukmana tidak ingin membiarkan putri kesayangan mereka menderita. Sehingga akhirnya Bu Mona menculikku dan mengambil darahku secara paksa. Sudah dipastikan bahwa orang yang melakukannya adalah Bu Mona," Anya mengatakannya di hadapan semua orang dengan wajah datar.     

Wajah Bima langsung terlihat menyeramkan ketika mendengar hal itu. Ia menegur Deny dengan keras, "Mereka berdua adalah putrimu. Bagaimana bisa kamu memperlakukan mereka dengan berbeda. Ayah macam apa kamu? Lain kali, Keluarga Atmajaya yang akan mengurus Anya. Kamu tidak perlu ikut campur dalam hidup Anya lagi."     

"Tetapi kita adalah besan …"     

"Siapa yang mau memiliki besan sepertimu? Ketika pertunangan Aiden dan Natali berakhir, keluarga kita sudah tidak memiliki hubungan lagi. Ditambah lagi, setelah ibu Anya bercerai denganmu, kamu tidak pernah menjalankan tugasmu sebagai seorang ayah. Jangan ikut campur lagi dalam kehidupan Anya. Dan untuk istrimu, siapa yang memberinya keberanian begitu hebat sehingga berani menyentuh menantuku?" raung Bima dengan keras.     

Deny berdiri di tempatnya dengan kaku, jelas tidak menyangka bahwa semuanya akan menjadi seperti ini.     

"Paman Deny, Anya dan Natali adalah putrimu. Seharusnya kamu memperlakukan mereka setara. Apakah kamu merendahkan Keluarga Atmajaya ketika kamu lebih memilih Natali? Ketika kamu lebih memilih untuk menjual tanah itu kepada Keluarga Mahendra dibandingkan kepada kami …" suara Maria terdengar dingin.     

"Pelayan, tolong antarkan tamunya keluar," Aiden tidak memedulikan Deny lagi.     

Deny menganggap Natali akan segera menikah dengan Raka dan menjadi bagian dari Keluarga Mahendra. Untuk menyenangkan hati Keluarga Mahendra, ia menjual tanahnya 500 juta lebih murah dari pada harga sebenarnya.     

"Tuan Deny, mari saya antar!" salah satu pelayan bergegas datang dan menghampiri Deny. Deny terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya ia hanya bisa menutup mulutnya.     

Setelah Deny pergi, Anya mengambil inisiatif untuk menghampiri Bima dan membungkuk di hadapannya dalam-dalam.     

"Apa yang kamu lakukan?" Bima sedikit terkejut melihatnya.     

"Maafkan aku karena aku menyulitkan semua orang karena masalah keluargaku," kata Anya dengan menyesal.     

Aiden memandang ayahnya dalam-dalam. Jelas sekali ia tidak berniat untuk membantu ayahnya untuk keluar dari situasi yang canggung seperti ini.     

Bima memandang Anya yang meminta maaf dengan tulus di hadapannya.     

Gadis ini bahkan bersedia untuk menandatangani surat perjanjian demi bisa bersama dengan putranya. Bima tidak ingin memperpanjang masalah dan melambaikan tangannya. "Lupakan saja. Ini bukan salahmu. Apakah kamu baik-baik saja?"     

Anya merasa tersentuh dengan perhatian dari Bima. "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku."     

"Aku dengar dari Harris bahwa kamu sudah setuju untuk menjual tanahmu?" tanya Bima.     

"Benar. Ibuku bilang bahwa tanah itu seharusnya merupakan hadiah untukku dan seharusnya aku tidak meminta uang dari keluarga suamiku. Tetapi karena ternyata uang yang digunakan untuk membeli tanah itu adalah milik orang lain, aku harus mengembalikannya pada orang itu. Jadi …"     

"Kamu dan ibumu hanya bisa bergantung pada satu sama lain. Tanah itu sangat berharga. Kami tidak akan pernah mengambilnya secara cuma-cuma. Kita ikuti prosedur yang ada dan aku akan membayar harga tanah itu," kata Bima.     

Untuk pertama kalinya, Anya merasa bahwa Bima tidak seburuk itu. Setidaknya, ia adalah orang yang masuk akal, tidak seperti ayahnya …     

"Ayah, kamu pasti lelah dan haus. Aku akan mengambilkan cangkir tehmu," Maria mengambil cangkir dan teko berisi teh yang masih hangat, tetapi setelah itu ia memberikannya kepada Anya. "Tuangkan tehnya untuk ayah," Maria mengedipkan matanya pada Anya.     

Anya terdiam sejenak dan tanpa sadar menatap ke arah Aiden untuk menanyakan pendapat suaminya. Ia tidak tahu apakah Bima sudah mengakuinya sebagai menantu dan ia tidak mau bersikap tidak tahu diri. Bagaimana kalau ternyata Bima masih membencinya?     

Aiden sedikit menganggukkan kepalanya, memberikan dukungan pada Anya untuk menuangkan teh itu pada ayahnya.     

"Oh! Kakek akan meminum teh dari menantu barunya!" goda Nico dari pinggir, berusaha untuk mencairkan suasana.     

Ivan melihat tangan Anya sedikit gemetaran saat memegang teko teh tersebut. Melihat kegugupannya, Ivan langsung berusaha untuk membuat suasananya lebih tidak menegangkan. "Selamat ayah!"     

Melihat Anya yang penakut, Bima tahu Anya tidak berani mendekatinya hingga ia memberi ijin.     

Tetapi semua orang di ruangan itu mendukungnya. Bahkan Ivan yang dari tadi diam saja juga membantu Anya untuk berbicara. Bima tidak ingin mempermalukan Anya lebih lagi.     

Ia berdeham pelan, berusaha untuk menyembunyikan kecanggungannya. "Mengapa kamu tidak mau mendekat? Aku ingin minum teh."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.