Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Hadiah



Hadiah

0"Mengapa kamu tidak mau mendekat? Aku ingin minum teh," kata Bima sambil berdeham, menyembunyikan kecanggungannya.     
0

Anya menatap Bima dengan terkejut. Ia tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. Apakah Bima sudah mengakuinya sebagai menantu.     

"Silahkan tehnya, Ayah." Anya memberikan cangkir teh itu dengan sangat sopan, menggunakan kedua tangannya.     

"Hmm …" Bima bergumam tidak jelas, tetapi langsung meminum teh itu.     

"Kakek sudah meminum teh dari bibi dan mengakuinya sebagai menantu. Apakah kakek tidak ingin memberi hadiah pernikahan?" kata Nico dengan bersemangat.     

"Hadiah?" Bima mengerutkan keningnya. Terakhir kali ia memiliki menantu adalah saat Maria menjadi istri putra pertamanya, Ardan. Dan sudah 26 tahun berlalu sejak saat itu.     

"Tidak usah repot-repot!" Anya langsung bergegas menolak. Mendapatkan pengakuan dari Bima saja sudah menjadi hadiah terbaik untuknya.     

Maria ikut tertawa dan berkata pada Bima. "Itu sudah menjadi tradisi dari keluarga kami. Dulu, ibu yang memberiku hadiah. Tetapi karena sekarang ibu sudah tidak ada, ini menjadi tugas ayah."     

"Pelayan, tolong ambilkan buku cek kakekku!" kata Nico dengan sembarangan pada pelayan di belakang mereka.     

Tentu saja menurut Nico hadiah terbaik adalah uang!     

Ia baru saja membeli mobil baru dan sekarang uangnya menipis. Kalau saja ia juga bisa mendapatkan hadiah seperti bibinya …     

Bima melotot ke arah Nico dengan kesal karena Nico berbicara secara sembarangan hingga meminta buku ceknya. Ia benar-benar ingin menjitak kepala cucu kesayangannya itu …     

Setelah itu, ia menghadap ke arah Anya. "Tunggu di sini sebentar."     

"Ah?" Anya merasa bingung, tetapi akhirnya ia hanya bisa mengangguk dengan patuh.     

Sebenarnya, ia tidak memedulikan hadiah apa pun dari Keluarga Atmajaya. Hari ini sudah menjadi hari yang sangat menggembirakan untuknya. Ia mendapatkan pengakuan dari Bima dan ia bisa memanggil Bima sebagai ayah. Ia sudah sangat bersyukur.     

Ia hanya ingin hidup bahagia dengan Aiden. Itu sebabnya tidak ada hadiah yang lebih indah dibandingkan pengakuan dari Keluarga Atmajaya.     

Bima berjalan menuju ke ruang kerjanya. Setelah beberapa saat, ia keluar dari sana.     

Saat keluar, ia membawa sebuah kotak perhiasan di tangan kanannya. Bima kembali duduk di tempatnya dan menaruh kotak itu di atas meja.     

"Anya, ini untukmu. Aku harap kamu dan Aiden memiliki pernikahan yang bahagia," kata Bima dengan canggung. Terlihat jelas bahwa ia tidak terbiasa melakukan hal seperti ini.     

Anya melirik ke arah Aiden dan Aiden hanya tersenyum mendukungnya. Sekali lagi, ia menganggukkan kepalanya.     

Bima membuka kotak perhiasan itu dan menunjukkan sebuah gelang yang terbuat dari gabungan emas dan berlian. Dilihat dari penampilannya saja, semua orang bisa tahu bahwa gelang itu sangat berharga.     

"Bukankah ini gelang ibuku?" Nico mengenali gelang tersebut.     

"Penglihatanmu bagus!" puji Bima. "Gelang ini dan gelang ibumu sepasang. Sebelum meninggal, nenekmu bilang bahwa dua gelang ini ia siapkan untuk menantunya."     

Setelah itu, Bima mendorong kotak tersebut ke arah Anya. "Ambillah!"     

"Untukku?" Anya tidak berani menerima perhiasan yang sangat berharga itu.     

"Itu adalah gelang yang ditinggalkan ibu untuk menantunya. Kamu harus menerimanya dan mewariskannya kepada menantu perempuanmu nanti," kata Maria.     

Wajah Anya langsung memerah. Ia bahkan belum memiliki anak, mengapa ia sudah membahas mengenai menantu?     

"Terima kasih, Ayah!" Anya benar-benar tersentuh. Bukan karena harga dari perhiasan itu, tetapi karena arti dan sentimen di baliknya.     

Takut Ivan merasa kecewa, Bima langsung berusaha menghiburnya, "Ivan, ketika kamu menikah, aku akan membuatkan perhiasan baru untukmu."     

Ivan hanya mengangguk dan tersenyum. Ia tidak peduli dan juga tidak sakit hati.     

Sepasang gelang itu memang telah menjadi warisan dari Keluarga Atmajaya dan pada akhirnya jatuh ke tangan ibu Aiden.     

Ivan bukan putra dari ibu Aiden. Jadi, tidak ada salahnya memberikan gelang ini pada Anya, yang merupakan istri Aiden.     

"Jarang-jarang kita bisa berkumpul bersama hari ini. Sebelum kalian pulang, kita harus makan malam bersama," kata Bima.     

Ivan baru saja menjalani operasi dan masih dalam masa pemulihan sehingga ia langsung kembali ke kamarnya untuk beristirahat.     

Anya mengambil inisiatif untuk membantu Maria di dapur, menyiapkan makan malam.     

Sementara itu, hanya tersisa Bima, Aiden dan Nico di ruang keluarga.     

"Aiden, temani ayah main menghabiskan waktu," Bima mengatakannya sambil menatap Nico dengan jijik. "Nico tidak bisa bermain catur. Meski aku sudah berulang kali mengajarinya, ia masih bodoh."     

Nico menggaruk kepalanya. "Aku hanya tidak punya waktu untuk berlatih," elaknya. Sebenarnya memang ia tidak tertarik untuk bermain catur. Terkadang ia hanya bermain catur untuk menemani kakeknya.     

Terakhir kali Aiden bermain catur dengan ayahnya adalah saat ia masih duduk di bangku SD.     

Aiden menyadari bahwa saat ini ayahnya sedang berusaha untuk berbaikan dengannya dan menjalin hubungan yang lebih sehat dibandingkan sebelumnya     

Hari ini, Deny datang ke rumah Keluarga Atmajaya, tetapi Bima tidak mempermasalahkannya dan tidak menyalahkan Anya. Ia bahkan mengakui Anya sebagai menantunya di hadapan semua orang dan memberikan gelang warisan dari ibunya.     

Untuk pertama kalinya, Aiden merasa ia bisa memaafkan ayahnya atas apa yang ia perbuat selama ini.     

Ia duduk di depan meja catur, berhadapan dengan ayahnya.     

Aiden menggunakan bidak catur berwarna putih, sementara Bima menggunakan bidak berwarna hitam. Nico duduk di samping mereka, menyaksikan permainan itu dari pinggir.     

Biasanya, hanya butuh waktu 20 menit bagi Bima untuk mengalahkan Nico. Itu adalah rekor terlamanya …     

Tetapi ia tidak menyangka bahwa kakek dan pamannya ini akan bermain sangat lama. Ia bahkan sempat tertidur karena permainan mereka tidak ada akhirnya …     

Nico bilang ia akan menyaksikan permainan mereka dan belajar agar bisa mengalahkan kakeknya. Tetapi setelah beberapa saat, ia malah tertidur.     

Bima menendang kursi Nico dengan kesal, "Bangunlah! Katanya kamu ingin belajar. Bantu hitung skornya!"     

"Apakah sudah berakhir?" Nico menguap dan menatap papan catur tersebut. Sebelum ia bisa mengumpulkan semua nyawa-nyawanya yang melayang, ia mendengar Aiden berkata dengan santai, "Aku ingin makan."     

"Apakah makanannya sudah siap?" Nico langsung bersemangat. "Makan! Makan!"     

"Belum. Permainannya belum berakhir!" kata Bima dengan enggan.     

Nico melihat jam di pergelangan tangannya dan berseru. "Kalian sudah bermain lebih dari dua jam. Apakah masih belum ada pemenangnya?"     

"Itu sebabnya aku menyuruh kamu menghitung skornya …" kata Bima, tidak mau kalah.     

"Tidak usah dihitung. Aku menang," Aiden abngkit berdiri dan berjalan menuju ke ruang makan.     

"Kakek, apakah aku masih perlu menghitungnya?" Nico menatap Bima dengan basa-basi, berharap Bima mengatakan tidak usah dan mereka bisa langsung makan.     

"Hitung. Kamu harus membantuku menghitungnya!" kata Bima dengan kesal.     

Nico hanya bisa diam. Mengapa sekarang ia harus menjadi juri dalam permainan kakek dan pamannya? Hanya karena permainan mereka tidak berakhir dan tidak ada yang bisa menang dengan skakmat, akhirnya Nico harus menjadi juri dadakan.     

Tiba-tiba saja, suara bel berbunyi. Salah seorang pelayan menghampiri pintu depan dan melihat Imel dari interkom.     

"Tuan, Nyonya Imel datang," kata pelayan tersebut dengan hati-hati.     

"Siapa yang memberitahunya?" tanya Bima dengan dingin.     

"Tidak ada yang memberitahunya. Mungkin Nyonya Imel datang untuk mengunjungi Tuan Ivan," suara pelayan itu sedikit gemetaran.     

Ini adalah makan malam keluarga, tetapi Imel tiba-tiba saja datang dan ingin mengacaukan suasana.     

Bima berpikir bahwa hubungannya dengan Aiden baru saja kembali baik dan Imel malah akan mengacaukan semuanya. Ia tidak mau kalau sampai Aiden marah lagi kepadanya.     

Memang Bima tidak menyukai temperamen Aiden yang buruk, tetapi Aiden mendapatkan temperamen itu darinya.     

"Kakek, aku akan menyuruhnya pulang," Nico berjalan ke arah pintu dengan ekspresi dingin.     

"Tidak usah. Kamu tetap hitung dan lihatlah siapa yang menang, aku atau pamanmu. Aku akan membujuk Imel untuk pergi," Bima menghela napas panjang dan berjalan menuju pintu.     

"Siapa yang datang?" Maria mendengar suara bel pintu. Tetapi ia tidak melihat ada yang masuk dan malah melihat Bima pergi ke luar.     

Pelayan yang membukakan pintu menatap ke arah Anya dan berkata, "Nyonya Imel yang datang. Tuan Bima khawatir kalau Tuan Aiden tidak nyaman dengan kedatangan Nyonya Imel sehingga ia ingin memintanya untuk pergi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.