Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Kebun Apel



Kebun Apel

0"Tidak. Kamu yang milikku!" kata Anya sambil mengulum bibir Aiden dengan lembut.     
0

Aiden tertawa mendengarnya dan membalas ciuman Anya. "Iya, benar. Aku adalah milikmu."     

Malam itu, Anya merasa malamnya sangat manis. Ia serasa melayang, melayang di atas awan-awan yang lembut seperti marshmallow. Di bawah langit malam yang berbintang hingga matahari mengintip di balik awan biru.     

Tidak sekali pun malam itu Anya menginjakkan kakinya di tanah. Aiden terus menerus membayanya melayang.     

Aiden melihat istrinya sudah tekulai lemah. Anya bahkan tidak sadar saat Aiden memandikannya.     

Ketika bangun keesokan harinya, matahari sudah tinggi di langit.     

Aiden sudah pergi ke kantornya pagi sekali. Sementara itu, Diana sudah pergi ke taman bersama dengan Hana.     

Ketika Anya tahu bahwa ibunya dan Hana pergi ke taman, ia segera sarapan dengan cepat dan menyusul mereka.     

Diana melihat semua bunga-bunga yang tumbuh di tamannya dengan senang. Wajahnya memancarkan senyuman bahagia saat melihat taman ini.     

Mengetahui bahwa Diana adalah ibu Anya, karyawan Anya yang bertugas untuk menjaga taman langsung menemaninya untuk berkeliling dan membantunya untuk mendorong kursi rodanya.     

"Ibu …" Anya datang saat ibunya sedang berkeliling.     

"Akhirnya kamu datang. Aku bilang pada Hana ingin mengunjungi kebun buah-buahan di dekat sini. Tio katanya ingin menyewakan kebunnya setelah ia panen apel. Aku ingin tahu apakah ia bersedia untuk menjual sebagian kebunnya itu pada kita," kata Diana sambil tersenyum.     

Anya menggelengkan kepalanya dan berkata, "Kebun apel paman Tio tidak terlalu besar dan pohon apelnya masih belum dewasa. Kalau ibu ingin menjual apel untuk menghasilkan uang, ibu harus menunggu tiga hingga lima tahun. Kurasa bukan ide yang bagus untuk membeli kebun apel itu."     

"Kita bisa menyimpan apel itu jika pohonnya tidak tumbuh besar atau hasil panennya tidak banyak. Di antara pohon-pohon itu ada ruang yang cukup untuk menanam bunga. Kita bisa tetap menjual bunga hingga apelnya tumbuh, kata Diana.     

"Kalau bunga-bunga itu mengambil nutrisi dari apel, pohon apel itu akan lebih sulit lagi untuk tumbuh," kata Anya.     

"Aku hanya berencana memindahkan bunga mawar dan menanam beberapa lili dan iris untuk kita gunakan sendiri. Pohon bergamotnya bisa kita pindahkan ke rumah dan semua bibit bunga lainnya bisa kita jual," kata Diana.     

"Apakah kita akan menjual semua bunga ini?" mata Anya terbelalak lebar.     

"Bunga aster, bunga matahari, bunga anyelir dan bunga-bunga lainnya bisa dipindahkan. Atau kalau tidak, kamu bisa langsung menjual semuanya. Aku sudah terlalu tua untuk menanam bunga sebanyak ini. Selain itu, kamu juga sudah berkeluarga dan harus bekerja. Kamu tidak perlu menghabiskan waktu untuk mengurusi taman," di perjalanan ke taman, Diana sudah merencanakan semuanya.     

"Kalau ibu sudah memutuskan, aku hanya bisa mengikuti ibu menuju ke kebun apel," Anya memutuskan untuk menghormati keputusan ibunya.     

Ia tahu bahwa ibunya melakukan semua ini demi kebaikannya.     

Di perjalanan menuju ke kebun apel, Anya mendorong kursi roda ibunya sambil menemaninya untuk berbicara.     

Karena jalan mereka tidak bisa terlalu cepat, butuh waktu satu jam untuk tiba di tempat tersebut. Anya merasa sangat lelah.     

Tentu saja, rasa sakit di pinggangnya bukan karena ia mendorong kursi roda ibunya. Tetapi karena ia bercinta dengan Aiden semalaman.     

Hana sudah memberitahu Harris bahwa mereka akan pergi ke kebun apel dan Harris sudah mendahului mereka untuk bernegosiasi harga dengan pemilik kebun apel tersebut.     

"Paman Tio, apakah kamu ada di sini?" Anya berdiri di depan gerbang kebun apel dan berteriak dengan sedikit keras.     

"Masuklah!" balas Tio sambil membukakan gerbang. "Aku sudah menunggumu. Kamu ingin membeli kebun apelku, kan? Pemuda ini sudah berbicara denganku."     

"Siapa?" Anya melongok dengan penasaran dan melihat Harris sedang mencabuti tanaman liar dengan sebuah sabit kecil.     

"Paman Tio meminta saya untuk mencabuti rumput ini dan ia setuju untuk menjual kebun ini kepada kita," kata Harris dengan canggung.     

Tio tertawa terbahak-bahak. "Pemuda ini terlalu kurus dan kecil. Ia pasti jarang berolahraga. Aku ingin melatihnya."     

Anya tertawa melihatnya. "Paman, jangan begitu. Harris terlalu sibuk bekerja. Biarkan aku yang mencabuti rumputnya.     

"Tidak usah. Biar saya saja. Sudah tinggal sedikit," mana mungkin Harris berani membiarkan Anya untuk mencabuti rumput, menggantikan dirinya? Kalau sampai Aiden tahu, ia pasti akan kehilangan semua gajinya!     

Harris tidak mau mengikuti jejak Nico. Nico masih belum bisa mendapatkan persetujuan untuk bekerja sama dengan Keluarga Mahendra sehingga kartu kredit perusahaannya telah disita. Bahkan gajinya bulan ini dikurangi karena performa yang tidak baik.     

Akhir-akhir ini, Nico terus mendesak dan mengganggu Raka. Bisa dibilang, ia tidak pernah pergi jauh dari Raka. Itu karena hanya Raka yang bisa membantunya untuk mendapatkan gajinya dan kartu kreditnya kembali.     

Keluarga Mahendra sudah kehilangan satu tanah di pusat komersial untuk membebaskan Raisa dari penjara. Kalau mereka memang memiliki uang untuk menjalankan proyek, mana mau mereka bekerja sama dengan Atmajaya Group?     

Nico sangat kasihan. Aiden sengaja memberinya perangkap, tetapi Nico langsung melompat ke dalamnya dengan polos dan tanpa tahu apa-apa. Sekarang, saat ia ingin keluar, Aiden tidak membiarkan siapa pun memberikan tali untuknya. Hanya Raka satu-satunya pemegang tali itu.     

Sebelum makan siang, Diana sudah menandatangani perjanjian dengan pemilik kebun apel tersebut dan membayar uang mukanya.     

Harris membantunya untuk menyelesaikan prosedur selanjutnya.     

Anya sudah menjual rumah Keluarga Tedjasukmana dan rumah kecil ibunya sehingga sekarang ibunya tidak memiliki apa-apa. Jadi, Anya bersikeras untuk menggunakan nama Diana pada kebun apel ini.     

Di perjalanan ke rumah, Anya memberitahu Diana bahwa ia memberikan setengah uang hasil penjualan taman kepada Galih, tetapi Galih menolaknya.     

"Ibu, Paman Galih hanya mau menerima uang yang ia pinjamkan kepadamu, tanpa bunga sedikit pun," kata Anya.     

"Ia ingin aku berhutang budi padanya," Diana menghela napas panjang. "Bagaimana dengan rumah Keluarga Tedjasukmana?"     

Anya melirik ke arah wajah Diana diam-diam dan melanjutkan ketika melihat wajah ibunya tenang. "Setengah dari uang hasil penjualan rumah itu telah aku berikan kepada ayah, setelah aku mengurangi dengan biaya perawatan dan renovasinya. Bu Mona mengambil uang itu di depan ayah dan ayah tidak mengatakan apa pun."     

"Biarkan saja mereka mengambilnya. Aku tidak mau berhutang apa pun padanya dan tidak mau berhubungan lagi dengannya," wajah Diaan tampak sangat tenang seolah tidak ada kekhawatiran.     

"Rumah kecil kita juga sudah terjual. Setelah membeli kebun apel, ayo kita beli rumah yang lebih bagus untuk kita tinggali. Sebenarnya, Aiden sudah memesan satu rumah di proyek pembangunan Atmajaya Group. Taman rumah itu langsung terhubung dengan Taman Vanili kita," kata Anya sambil menggigit bibirnya dan menundukkan kepalanya, seolah ia sedang membuat keputusan besar. "Ibu, aku rasa rumah itu terlalu mahal untuk kita terima secara cuma-cuma."     

"Aku juga tidak ingin Aiden memberikanku rumah semahal itu. Tetapi aku menyukai rumah yang memiliki akses langsung ke Taman Vanili kita. Coba tanyakan harganya, kita akan membelinya sendiri. Kalau kita tidak mempunyai cukup uang, kita bisa mencicil. Kita harus membeli rumah itu sendiri," kata Diana sambil tersenyum.     

Anya hanya bisa memeluk leher Diana dari belakang kursi rodanya. Ia benar-benar mencintai ibunya.     

Diana mengelus tangan putri kesayangannya. "Ibu tidak bisa memberimu apa-apa. Satu-satunya yang bisa ibu lakukan adalah tidak mempermalukanmu. Walaupun kamu sudah menjadi bagian dari Keluarga Atmajaya, setidaknya kita bisa memenuhi kebutuhan kita sendiri."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.