Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Cincin Berlian



Cincin Berlian

0Bagaimana cara mengambil resep itu dari tangan ayahnya?     
0

Apakah ia harus menelepon polisi, memaksa agar ayahnya menyerahkan resep itu? Tetapi bagaimana kalau ayah tidak mengakui bahwa resep itu berada di tangannya?     

"Ah …" Anya terus berguling-guling di atas tempat tidurnya, tidak bisa terlelap sedikit pun. "Aiden, apa yang harus aku lakukan?"     

Tiba-tiba saja, ponsel Anya berbunyi. Ia mendapatkan sebuah pesan suara dari Aiden.     

Bukankah Aiden sedang di pesawat? Bagaimana ia bisa menghubunginya?     

Anya membuka pesan suara itu dan suara Aiden yang dalam terdengar, "Apakah kamu sudah tidur?"     

Itu benar-benar suara Aiden!     

Aiden seolah tahu ia sedang tidak bisa tidur. Anya segera membalas pesan itu. "Aku tidak bisa tidur tanpamu …"     

Namun, Anya menunggu jawaban yang tidak kunjung datang. Ia segera menelepon Harris, tidak sadar bahwa jam sudah menunjukkan tengah malam.     

Sebagai seorang asisten, Harris sangat siaga meski dalam keadaan tidur sekali pun. Ia segera mengangkat panggilan Anya seolah ia sedang terjaga.     

"Harris, apakah Aiden benar-benar pergi ke luar negeri?" tanya Anya.     

"Benar, Nyonya. Tuan sedang berada di dalam pesawat," kata Harris.     

"Tetapi Aiden baru saja mengirimkan pesan suara padaku. Apakah ia bisa menggunakan ponselnya di atas pesawat?" tanya Anya dengan curiga.     

"Di atas pesawat ada sinyal internet, tetapi kecepatannya jauh lebih lambat. Untuk mengirimkan pesan suara membutuhkan waktu yang lebih lama, tetapi pesan biasa bisa tiba lebih cepat. Pesan suara yang Anda terima mungkin sudah dikirimkan beberapa menit yang lalu" jawab Harris.     

"Apakah Aiden bisa melihatnya jika aku mengirimkan pesan?" tanya Anya.     

"Pengawal Tuan akan membantunya untuk membacakannya. Setelah mendarat, akan ada asisten dari perusahaan cabang asing yang akan membantunya di bandara. Jangan khawatir," kata Harris. Untung saja ia tidak keceplosan, mengatakan bahwa Aiden bisa membacanya sendiri.     

Ia hampir lupa kalau Tuannya itu masih berpura-pura buta!     

"Baiklah, terima kasih! Maaf aku mengganggu tidurmu malam-malam," Anya segera menutup telepon tersebut dan menuliskan pesan untuk Aiden.     

'Aku tidak bisa tidur tanpamu!'     

Seperti kata Harris, pesan itu tiba dengan cepat dan mendatangkan jawaban sama cepatnya.     

'Aku punya hadiah untukmu di laci nakas!'     

Anya langsung membuka laci nakasnya setelah membaca pesan tersebut. Ia melihat sebuah kotak perhiasan yang sangat indah. Kotak itu terbuat dari kaca dan terlihat sangat rapuh hingga tangan Anya sedikit gemetaran saat menyentuhnya. Di kegelapan malam pun, kotak itu terlihat berkilau.     

Anya membuka kotak tersebut dan melihat sebuah cincin berlian di dalamnya. Berlian itu tidak berukuran sangat besar dan terlihat berlebihan. Berliannya terlihat manis dan sangat indah. Dengan melihatnya saja, Anya bisa tahu bahwa Aiden memilihnya dengan hati-hati. Aiden tidak hanya melemparkan uang dan memilih berlian terbesar dan termahal, tetapi ia mencari berlian yang paling indah untuknya.     

'Aku melihat sebuah cincin. Apakah ini untukku?'     

Anya melihat sebuah tulisan terukir pada cincin tersebut.     

Iris …     

Balasan Aiden datang dengan cepat. 'Apakah kamu menyukainya?'     

'Indah sekali …' jawab Anya.     

'Untukmu,' balas Aiden dengan singkat.     

Anya tersenyum seorang diri seperti orang bodoh saat berbalas pesan dengan Aiden. Apakah cinta bisa membuat seseorang menjadi bodoh seperti ini?     

'Bisakah kamu memasangkan cincin ini di jariku?' tanya Anya.     

'Jika itu yang kamu mau, tidak ada yang tidak bisa kulakukan untukmu,' jawab Aiden.     

Meski mereka tidak sedang bersama, Anya seakan bisa mendengar Aiden mengatakan hal itu dengan suaranya yang dalam dan menghipnotis. Ia merasa tubuhnya bergidik dan hatinya seperti berdesir.     

'Aku akan menunggumu pulang dan memasangkan cincin ini pada jariku,' jawab Anya sambil tersenyum.     

'Hmm … Tidurlah. Selamat malam!'     

"Selamat malam, Aiden!" kali ini, Anya tidak mengirimkan pesan biasa, melainkan pesan suara. Meski pesan itu tiba agak terlambat, pesan suara itu membuat hati Aiden terasa luluh. Ia menyimpan pesan suara itu di ponselnya dan bibirnya masih tersenyum tipis saat kembali memejamkan matanya.     

Sementara itu, Anya berbaring di tempat tidurnya. Kali ini, senyum menghiasi wajahnya saat mimpi mulai menyelimutinya …     

…     

Keesokan harinya, Anya bangun lebih awal. Ia sudah berusaha memikirkan berbagai cara untuk mengambil resep itu dari ayahnya, tetapi tidak menemukan satu solusi pun.     

Deny hanya memiliki satu permintaan jika Anya benar-benar menginginkan resep itu. Ia meminta agar Aiden menanamkan modal agar tanah milik Keluarga Tedjasukmana bisa dikembangkan. Namun, Anya tidak mau membuat Aiden malu. Ia tidak mau kalau Aiden ikut terlibat dengan ayahnya hanya karena dirinya.     

Anya melihat wajahnya di cermin. Wajah dan bibirnya terlihat pucat, sementara kantung mata yang gelap menggantung di bawah matanya. Ia benar-benar terlihat seperti hantu.     

Setelah mandi, ia bergegas mengenakan riasan dan menutupi lingkaran hitam di bawah matanya.     

"Anya, apakah kamu baik-baik saja? Kamu terlihat pucat," kata Hana dengan khawatir saat mereka sedang sarapan.     

"Aku tidak bisa tidur," kata Anya dengan lelah. Kemarin malam, meski ia bertukar pesan dengan Aiden dan suasana hatinya sedikit membaik, sepertinya resep milik ibunya yang berada di tangan ayahnya itu tidak bisa pergi dari benaknya. Ia terus memikirkannya, mencari cara untuk mendapatkannya kembali.     

Anya mengambil makanan dan hendak menyendokkannya ke piring Aiden, tidak sadar kalau Aiden tidak berada di meja makan yang sama dengannya. Ia sudah terbiasa melakukannya untuk Aiden sehingga tangannya seolah bergerak dengan sendirinya meski Aiden tidak berada di sana.     

Hana terkekeh saat melihat tindakan Anya. "Anya, Aiden tidak ada di sini. Apakah kamu merindukannya?"     

Anya tertawa dan malu dengan tindakannya sendiri. Wajahnya sedikit memerah saat ia berkata, "Hmm … Aku memimpikannya kemarin malam."     

"Mimpi apa?" tanya Hana sambil tersenyum.     

"Aku bermimpi ia berlutut di tengah taman yang penuh dengan bunga. Sebuah kotak perhiasan berisi cincin berlian ada di salah satu tangannya sementara tangannya yang lain memegang tanganku. Ia melamarku," kata Anya sambil tersenyum. "Itu hanya mimpi. Aiden tidak akan melakukan hal seperti itu."     

Mengingat sifat Aiden yang dingin, sepertinya hal itu memang kedengaran sulit. Tetapi itu bukanlah hal yang mustahil bagi Hana. "Itu memang kedengaran sulit, Anya, tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Ayo kita buat mimpimu menjadi kenyataan!" kata Hana dengan penuh semangat.     

Anya hanya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak berani berharap!" katanya sambil terkekeh.     

Hana hanya tersenyum saat mendengar jawaban Anya dan mereka segera melanjutkan makan. Tidak tahu apakah karena ia tidak bisa tidur dengan tenang, Anya juga tidak nafsu makan.     

"Baunya enak sekali. Apa menu sarapan hari ini?" sebelum batang hidung Nico terlihat, suaranya sudah terdengar dengan keras.     

"Bubur ayam dan jamur, telur mata sapi setengah matang, roti dan selai stroberi. Susu kedelai atau susu murni, Tuan Nic?" tanya Hana sambil tersenyum.     

"Terserah saja. Aku suka keduanya," Nico bisa makan semuanya. Ia bukan orang yang pemilih.     

Anya sedikit terkejut melihat kedatangan Nico pagi-pagi sekali. "Nico, apakah kamu tidak pulang semalam?" tanyanya. Nico datang sepagi ini, tetapi ia sudah terlihat rapi. Rambutnya sudah disisir ke belakang dengan menggunakan gel rambut. Ia juga sudah mengenakan kemeja untuk pergi bekerja.     

"Bibi, untuk menjagamu selama Paman pergi, aku pindah ke rumahku di sebelah rumah ini. Aku tidak punya makanan di rumahku. Apakah kamu keberatan jika aku menumpang sarapan?" tanyanya.     

Nico tidak menunggu jawaban Anya. Ia langsung menarik kursi di sebelah Anya dan duduk untuk makan.     

"Tentu saja aku tidak keberatan. Semakin banyak orang, suasananya pasti akan semakin menyenangkan!" kata Anya sambil mengambilkan bubur untuk Nico. "Makanlah!"     

"Bu Hana, bisakah kamu membantuku untuk membungkusnya?" tanya Nico.     

Harris yang baru saja datang ke ruang makan, mendengar apa yang Nico katakan. Ia langsung bertanya. "Tuan Nico, untuk siapa makanan bungkusan itu? Apakah Anda menyembunyikan wanita di rumah Anda?"     

"Tidak!" Nico hampir saja tersedak mendengar pertanyaan itu.     

"Lalu untuk siapa makanannya?" tanya Hana dengan penasaran.     

"Bukan wanita, tapi pria," kata Nico. Anya tidak sengaja menjatuhkan sendoknya ketika mendengar jawaban Nico.     

Nico membawa seorang pria untuk tinggal di rumahnya. Ia tidak membawa seorang wanita, tetapi pria.     

Apakah Nico …     

"Nico, apakah Pamanmu tahu?" tanya Anya dengan suara pelan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.