Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Hati yang Hancur



Hati yang Hancur

0"... Tetapi yang membuatku lebih sakit adalah perhatianmu pada Raka. Aku sangat marah. Aku marah karena kamu terlalu peduli pada Raka dan itu menyakiti hatiku!" kata Aiden.     
0

Dari kata-kata Aiden, Anya baru memahami betapa sakitnya hati Aiden ketika melihatnya bersama dengan Raka. Matanya kembali basah saat memikirkan hal itu     

"Aiden, aku tidak berniat menyakitimu," tenggorokannya tercekat saat mengatakannya. Ia tidak berniat menyakiti Aiden. Ia memang terlalu bodoh sehingga bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.     

"Sekarang kamu tahu kan seberapa besar kesedihan yang aku rasakan? Di hatimu, aku tidak bisa dibandingkan dengan Raka. Aku tidak akan pernah bisa menggantikannya," Aiden mengatakannya dengan tenang, tetapi wajahnya terlihat tegang dan dingin. Tidak ada kelembutan seperti biasanya. Tidak ada tatapan sayang saat ia memandang Anya seperti biasanya. Matanya terlihat dingin seolah rasa sakit telah membekukan semua perasaannya ...     

"Tidak. Tidak seperti itu," air mata mulai mengalir di wajah Anya. "Aku peduli padamu. Kamu ribuan kali lebih penting daripada dia."     

"Ribuan kali? Sebanyak itu?" tanya Aiden. Ia ingin menertawakan jawaban itu. Seperti lelucon yang terdengar garing ...     

"Iya," jawab Anya. Ia mengangguk dengan serius namun Aiden tetap tidak bisa mempercayainya.     

"Apa lagi yang kalian lakukan selain berciuman?" tanya Aiden dengan suara dingin.     

Wajah Anya langsung memucat mendengarkan pertanyaan itu. Apakah Aiden marah karena ia pernah berciuman dengan Raka? Apakah ia sudah tidak pantas bersama dengan Aiden lagi?     

Ia terlihat gelisah saat memandang wajah Aiden. "Apakah kamu keberatan jika aku tidak memiliki ciuman pertamaku lagi?"     

"Bagaimana denganmu? Apakah kamu keberatan jika aku mencium wanita lain dan kemudian menciummu?" tanya Aiden.     

"Tentu saja aku keberatan," suara Anya semakin melemah.     

"Aku tidak akan menciummu lagi," wajah Aiden terlihat dingin dan tanpa ekspresi, tidak menunjukkan perasaannya saat ini. Namun, matanya terlihat dalam dan penuh luka.     

Anya hanya bisa menangis. Aiden tidak mau menciumnya lagi. Aiden sudah membencinya ...     

"Apakah kamu sudah tidak menginginkan aku lagi?" tanya Anya dengan suara pelan.     

"Aku butuh waktu untuk berpikir. Mulai malam ini, kamu pindah ke kamar tamu," kata Aiden dengan tegas.     

"Kamu tidak menginginkanku lagi. Kamu tidak menyukaiku lagi. Kamu ingin membuangku," bisik Anya. Bahunya gemetaran saat ia terisak     

Aiden tidak menjawab, tetapi ia mendengar Anya menangis. Wajahnya terlihat tidak sabar.     

"Apakah kamu menangis lagi? Aku akan melemparkanmu ke jalan kalau kamu menangis lagi," kata Aiden dengan suara dingin. "Semua ini adalah kesalahanmu, tetapi kamu yang menangis lebih keras. Bukankah seharusnya aku yang merasa sedih."     

Jika Anya tidak terluka, mungkin Aiden benar-benar tega meninggalkannya. Ia butuh waktu untuk menjauh dari Anya karena bersama dengan Anya membuatnya tidak bisa berpikir jernih.     

"Aiden, aku tahu aku salah. Tapi tolong jangan usir aku ke kamar tamu. Aku tidak akan mengganggumu. "     

Pindah ke kamar tamu sama saja seperti dibuang, ditinggalkan sendirian di tempat yang dingin.     

Mungkin ia tidak akan pernah kembali ke kamarnya. Setelah pindah ke kamar tamu, mungkin Aiden akan membuangnya dan mengusirnya dari rumah.     

Dalam hati, Aiden ingin tertawa. Dulu, Anya yang ingin menjauh darinya. Anya yang ingin tidur di kamar tamu, berpisah darinya. Namun sekarang, keadaannya sudah berubah.     

Anya memohon padanya agar Aiden tidak mengusirnya ke kamar tamu.     

"Kamu duduklah di depan. Aku tidak mau duduk denganmu," kata Aiden sambil menurunkan Anya dari gendongannya.     

Anya menahan rasa sakit di kakinya dan bergegas memasuki kursi tengah mobil. Ia masuk ke bagian paling dalam agar Aiden tidak mengusirnya. "Aku tidak akan makan tempat. Aku tidak akan membuatmu kesempitan," kata Anya.     

Aiden hanya menggerutu dengan kesal, "Jangan bicara padaku. Aku tidak ingin mendengar suaramu."     

Anya hanya bisa menutup mulutnya dan diam.     

Diam-diam, ia melirik ke arah Aiden saat pria itu sedang bersandar di kursi dan memejamkan matanya. Ia ingin menanyakan bagaimana hasil konsultasi ibunya, tetapi dilihat dari raut wajahnya, Aiden tidak mungkin mau menjawabnya.     

Ia akan menunggu sampai di rumah dan bertanya pada dokter rumah sakit yang menjaga ibunya.     

Ia terus melirik ke arah Aiden, ingin meminta maaf padanya. Tetapi semakin ia meminta maaf, sepertinya Aiden semakin marah kepadanya.     

Aiden adalah suami yang sangat baik. Anya tahu Aiden pasti sangat sibuk, tetapi ia rela menemani Anya utnuk mengunjungi rumah sakit. Namun, apa yang didapatnya? Ia pulang dengan hati yang berdarah.     

Aiden begitu baik kepadanya sehingga Anya merasa semakin bersalah. Aiden adalah orang terakhir yang ingin ia sakiti. Ia ingin menjadi lebih baik untuknya, menjadi istri yang berguna. Ia ingin hidup bersamanya hingga akhir hayatnya.     

Perasaan yang seharusnya membuat hatinya hangat itu malah meretakkan perasaannya. Apakah Aiden tidak menginginkannya lagi?     

Ia menutup mulutnya berusaha untuk tidak bersuara. Tetapi kesedihan yang ia rasakan membuatnya terisak.     

Aiden hanya mengerutkan keningnya. Anya menangis dengan begitu sedih. Apa yang membuatnya sedih seperti ini? Bukankah seharusnya ia yang menangis? Bukankah ia yang seharusnya paling sakit hati?     

"Mengapa kamu menangis lagi?" tanya Aiden.     

"Ak-, aku ... Aku telah membuatmu sedih, padahal kamu memperlakukanku dengan sangat baik. Aku benar-benar tidak tahu diri. Aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf," suara Anya benar-benar penuh penyesalan. Ia tidak tahu bagaimana agar Aiden tidak marah lagi padanya.     

Aiden tersenyum tetapi senyum di wajahnya terlihat pahit. "Apakah kamu benar-benar merasa bersalah."     

Anya mengangguk sambil mengedip, mengusir air mata yang terus menggenang di kelopak matanya dan mengaburkan pandangannya. "Apa yang harus aku lakukan agar kamu memaafkanku?"     

"Apa gunanya meminta maaf kalau kamu tidak akan pernah berubah," kata Aiden dengan suara datar.     

Anya hanya bisa menutup bibirnya rapat-rapat. Wajahnya terlihat murung saat mengetahui Aiden tidak mau memaafkannya. Ia tahu bahwa Aiden adalah seorang pria yang tegas dan tidak mudah dibujuk. Selama ini, Aiden memanjakannya sehingga ia tidak pernah merasakan kesulitan.     

"Hari ini aku melakukan kesalahan. Seharusnya aku tidak mempercayai Raisa. Aku baru saja berurusan dengannya hingga ke kantor polisi sehingga ia pasti merasa dendam padaku. Aku yang bodoh karena tidak berhati-hati saat bersamanya. Aku yang bodoh karena terus terjatuh di perangkap yang sama. Natali juga tiba-tiba muncul dan membawamu ke kamar Raka. Itu artinya Raisa dan Natali bekerja sama untuk menjebakku. Tetapi aku yang bodoh karena terjebak untuk kesekian kalinya," bisik Anya.     

"Akhirnya kamu memahaminya. Tetapi apa gunanya kalau semua sudah terlambat?" kata Aiden. "Apakah Raka juga terlibat dalam hal ini?"     

"Raka seharusnya tidak tahu, tetapi ia mengikuti alur yang sudah ada. Ia sengaja memicumu dan memaksamu untuk menceraikan aku," kata Anya.     

"Kamu dan Raisa diserang secara bersama-sama, tetapi kamu pingsan, sementara ia muncul di luar koridor dengan sehat dan aman. Untuk membuktikan bahwa kamu tidak bersalah, kamu ingin memanggil Raisa. Menurutmu, mengapa aku menghentikanmu?" tanya Aiden.     

Anya berpikir sejenak dan kemudian berkata, "Apakah kamu takut Raisa akan mengatakan sesuatu yang malah merugikan aku?"     

"Bagaimana bisa kamu berpikir bahwa Raisa akan membelamu?" tanya Aiden dengan mata yang mengejek.     

Anya menggigit bibirnya dan menatap Aiden dengan polos. Ia baru menyadari bahwa ia memang benar-benar bodoh. Ia ingin meminta bantuan pada seseorang yang kemungkinan besar merencanakan semua ini. "Maafkan aku."     

"Sampai kapan kamu mau seperti ini?" tanya Aiden.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.