Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Jangan Menangis



Jangan Menangis

0"Apakah kamu takut aku akan membunuhnya?" kata Aiden sambil menoleh ke arah Anya.     
0

Anya mengatupkan bibir merahnya dan berbisik. "Membunuh orang itu melanggar hukum. Aku tidak mau kamu melakukannya."     

Mata Aiden terlihat bingung sejenak, namun kemudian ia mengerti. Ia memandang ke arah Anya. "Apakah kamu peduli padaku? Apakah kamu takut sesuatu terjadi padaku?"     

"Hmm ... Hasil kerja kerasku terselamatkan berkat kamu. Aku benar-benar berterima kasih," Anya membalas tatapan Aiden, memandang wajah suaminya yang tampan.     

Aiden memegang dagu Anya dengan lembut, "Bagaimana caramu berterima kasih padaku?"     

Anya mengedipkan matanya yang basah. Ia berpikir sejenak dan kemudian berkata, "Bagaimana kalau aku membuatkan es krim vanila setelah panen nanti?"     

Mata Aiden terlihat terkejut saat mendengarnya. Anya bilang saat panen, ia akan membuatkannya es krim vanila, padahal vanili itu masih membutuhkan waktu beberapa bulan lagi untuk panen setelah kejadian ini. Apakah itu artinya, Anya memutuskan untuk tetap tinggal di rumahnya dan tidak berniat untuk berpisah dengannya?     

"Aku menantikannya," kata Aiden dengan suara pelan. Apakah ia boleh berharap?     

Ketika mobil mereka berhenti di depan rumah, Hana bergegas keluar dan menyambut mereka. "Anya, kamu sudah kembali. Bagaimana keadaannya?"     

"Untung saja kita bisa menemukannya tepat waktu sehingga semuanya bisa terselamatkan." Kata Anya sambil tersenyum.     

"Anya, berikan aku sebagian vanilimu," kata Tara, mengikuti Hana untuk menyambut kedatangan sahabatnya.     

"Apakah kamu juga mau membuat es krim vanila?" tanya Anya.     

"Vanili tidak hanya digunakan untuk membuat es krim. Aku bisa membuat cokelat, toast, brownies, bolu kukus ..."     

"Berhenti memikirkan makanan. Nanti aku akan membaginya denganmu," Anya langsung menyela Tara. Kalau tidak dihentikan, Tara akan terus mengucapkan seluruh nama makanan di otaknya.     

Tara memang pecinta makanan sejati. Bahkan sebelum vanilinya panen, ia sudah memikirkan mengenai makanan apa yang bisa ia makan.     

"Kalian berdua, jangan pamer kemesraan di hadapan orang jomblo seperti kami. Apakah kalian tidak memikirkan bagaimana perasaanku dan Tara?" tatapan Nico terjatuh pada tangan Aiden dan Anya yang masih bertautan. Tangan itu saling menggenggam satu sama lain dengan erat dan tak terpisahkan.     

Apakah seperti ini pasangan yang akan bercerai?     

Anya langsung merona dan berusaha untuk menyingkirkan tangan Aiden. Namun, genggaman tangan Aiden semakin erat seolah ingin menyatukan tangan mereka selamanya.     

"Jangan banyak bicara. Kamu semakin cerewet saat lapar. Lebih baik kita segera makan," Aiden menatap Nico.     

Nico berlari ke dalam rumah sambil tersenyum, "Ibu, Paman dan Bibi sudah pulang. Ayo kita makan. Kalau tidak aku akan mati kelaparan."     

"Bukankah kamu sudah makan ubi panggang?" kata Maria sambil tersenyum.     

"Ubi panggang saja tidak cukup untuk perutku, Bu." Nico tertawa dan berlari ke dapur agar Maria bisa segera mengeluarkan masakannya.     

Anya masuk ke ruang makan dan tersentuh melihat berbagai makanan lezat di meja.     

Maria masih membawa beberapa masakan lagi dari dapur ketika melihat Anya. Ia langsung terseyum. "Terakhir kali kalian pergi ke rumah ayah, kalian tidak sempat makan. Hari ini kalian harus makan banyak!"     

"Terima kasih, Kak. Kamu sedang berkunjung tetapi kami malah merepotkanmu, membuatmu memasak begitu banyak makanan," Anya langsung mencuci tangannya dan pergi ke dapur untuk membantunya.     

"Kita semua adalah keluarga. Kalau kamu berterima kasih padaku, makanlah yang banyak!" kata Maria sambil tersenyum.     

Selama makan, Maria menyadari bahwa Anya membantu Aiden untuk mengambil makanan meski saat ini Aiden sudah bisa melihat. Sepertinya, Anya sudah terbiasa melakukannya ...     

Mereka berdua sama sekali tidak seperti pansangan yang mau berpisah.     

Tara mengedipkan matanya pada Maria. Saat ini, mereka tidak perlu membantu Aiden dan Anya untuk berbaikan. Sepertinya kedua orang ini sudah berbaikan dengan sendirinya.     

Itu semua karena mereka saling mencintai satu sama lain dan mereka tidak ingin berpisah.     

Tidak peduli seberapa keras ibu Anya berusaha untuk memisahkan mereka, atau seberapa besar rasa tidak suka Bima pada Anya, selama Aiden dan Anya tidak mau bercerai, tidak akan ada yang bisa memisahkan mereka.     

Setelah makan malam, Maria mencari alasan untuk pergi dengan membawa Nico dan Tara bersamanya.     

Anya menatap ke arah Aiden diam-diam, tetapi saat itu Aiden juga sedang menatap ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, senyuman tersungging di bibir mereka.     

"Aku baru saja kembali dari luar negeri dan masih ada banyak hal yang harus aku selesaikan sekarang. Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Aiden.     

"Aku menerima beberapa pesanan parfum khusus dari klien dan aku juga harus mencari inspirasi untuk parfum baruku," kata Anya.     

"Hmm ... Nanti aku akan ke tempatmu setelah selesai bekerja," Aiden bangkit berdiri dan naik ke ruang kerjanya.     

Sementara itu, Anya pergi ke dapur dan membuat dua cangkir teh. Saat ia membawakan teh itu ke ruang kerja Aiden, ia mendengar Aiden sedang menelepon seseorang.     

"Bagaimana kerja kalian? Bisa-bisanya kalian membiarkan dia kabur," kata Aiden dengan suara tajam.     

Anya berjalan ke dalam ruangan seolah tidak ada yang terjadi. Ia meletakkan cangkir yang dibawanya dan menunggu Aiden selesai telepon.     

Aiden mengulurkan tangannya dan memeluk pinggang Anya. Ia membawa tubuh Anya ke pangkuannya dengan lembut.     

Anya duduk di pangkuan Aiden tanpa bergerak atau pun mengeluarkan suara sedikit pun.     

"Tidak peduli bagaimana pun caranya, aku mau orang itu ditemukan. Kalau sampai ia tidak ditemukan, kalian tidak perlu kembali," Aiden menutup teleponnya dengan acuh tak acuh.     

Anya mengangkat kepalanya dan bertanya, "Apakah Dio melarikan diri?"     

Aiden mendekatkan wajahnya ke telinga Anya. "Aku akan menemukannya."     

Tanpa sadar Anya mengeratkan kepalan tangannya. Ia berkata dengan hati-hati. "Ayahku datang untuk menemui ibuku dan mengembalikan resep parfumnya kepadaku."     

Aiden tersenyum tipis, namun senyumannya terlihat menyimpan banyak arti. "Apakah kamu mau aku mengampuni ayahmu?"     

Anya mengangguk. "Aku tidak memahami masalah perusahaan, tetapi sepertinya ia mengalami kesulitan besar."     

"Apa ia mengatakan kalau Keluarga Tedjasukmana bangkrut dan pertunangan Natali gagal, Keluarga Atmajaya akan merendahkanmu?" Aiden menatap Anya sambil tersenyum.     

Mata Anya terbelalak lebar. "Bagaimana kamu bisa tahu?"     

Aiden tersenyum tipis tetapi tidak mengatakan apa pun. Istrinya tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya sejak kecil. Selama Deny mengatakan beberapa kata-kata lembut yang bisa menyentuh hatinya, Anya akan melupakan permasalahan di antara mereka.     

Deny sangat licik sehingga ia memanfaakan kelemahan Anya. Ia tahu bahwa Anya terlalu lembut dan baik hati.     

"Anya, aku hanya ingin mengambil kembali semua milikmu dan ibumu. Aku bahkan tidak memedulikan Keluarga Tedjasukmana. Aku hanya berniat untuk mengambil kembali properti milik ibumu. Bukan hak mereka untuk memilikinya." Aiden memeluk tubuh Anya dan mengecup keningnya. "Kalau saja Deny tidak mengambil vila itu, penyakit ibumu tidak akan seserius ini."     

Anya mengerutkan keningnya dan menguburkan wajahnya di pelukan Aiden, tetapi mulutnya tidak mengatakan apa pun. Aiden bisa merasakan pundak kecil Anya yang rapuh gemetaran.     

Selama sepuluh tahun, tidak hanya Anya yang berjuang seorang diri, tetapi juga neneknya. Tiga wanita hebat ini berjuang untuk bertahan hidup, hingga satu per satu mulai meninggalkan Anya sebatang kara ...     

"Nenekku menjual rumah milik keluarganya dan sebelum ia meninggal, ia mendonorkan tubuhnya untuk menyelamatkan nyawa ibuku. Kalau saja ayahku tidak mengambil vila itu, mungkin nenek tidak perlu meninggal begitu cepat dan mungkin keadaan ibuku tidak seperti ini."     

Aiden merasakan bajunya mulai basah. Istrinya menangis lagi, membuat hatinya ikut sakit.     

"Anya, jangan menangis. Aku tidak akan membiarkan siapa pun melakukan hal ini lagi kepadamu," kata Aiden dengan lembut.     

"Aiden, aku ingin bersama denganmu selamanya. Mungkin jika kamu membantu ibuku untuk mendapatkan kembali vilanya, ia akan menerimamu," kata Anya dengan penuh air mata.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.