Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Pria dengan Operasi Plastik



Pria dengan Operasi Plastik

0"Setelah mendapatkan foto ini, aku langsung menyuruh orangku untuk memeriksa alamat IPnya. Foto ini dikirim dari rumahmu. Apakah ada penjelasan darimu?"     
0

"Aku tidak mengirimnya!" Anna langsung mengalihkan pandangannya pada manajernya.     

Manajer itu juga langsung menggelengkan kepalanya. "Bukan aku. Aku juga tidak mengirimnya!"     

"Di rumah ini hanya ada tiga orang hari ini. kalau bukan aku dan manajerku, berarti Stanley sendiri yang mengirimnya," Anna langsung terlihat sangat shock dan ngeri setelah mengatakannya. "Sabrina, kamu baru saja kembali ke Indonesia, jadi tidak mungkin kamu berhubungan dengan Stanley akhir-akhir ini kan? Apakah pria tiga tahun lalu itu adalah Stanley?"     

Sabrina saling bertukar pandang dengan Maya dan jelas bahwa mereka berdua tidak mempercayai Anna.     

Tiga tahun lalu, orang yang memindahkan Sabrina ke kamar lain adalah Anna. Dan ternyata pria yang bersama dengan Sabrina itu adalah teman Anna.     

Bagaimana pun juga, situasi ini akan membuat semua orang merasa curiga.     

Anna bersikeras saat ia menemukan Sabrina, ia tidak melihat adanya pria.     

Dan saat menyadari bahwa pria yang bersama dengannya tiga tahun lalu kemungkinan bukanlah Arka, Aksa dan Mason, tetapi pria yang melakukan operasi plastik itu, Sabrina merasa sangat buruk.     

"Anna, tiga tahun lalu, kamu memindahkan aku ke kamarmu tanpa seijinku dan juga menutupi bahwa ada pria di kamarku. Apakah kamu pikir aku benar-benar tidak ingat apa pun? Apakah kamu pikir aku akan percaya kalau kamu menyebut sembarangan pria?" Sabrina memandangnya dengan dingin.     

"Sabrina, kamu benar-benar salah paham. Kita adalah teman baik, kan? Pada saat itu, saat aku memindahkanmu, aku takut akan ada orang lain yang melihatmu. Aku bisa bersumpah bahwa saat itu memang tidak ada siapa pun di kamar itu," mata Anna memerah, seolah ia merasa sangat sedih karena dituduh sembarangan.     

Maya merasa semakin kesal melihat penampilannya.     

Memang benar Anna adalah seorang aktris. Lihat saja kemampuan aktingnya, ia bahkan bisa meneteskan air mata dengan mudah.     

Tetapi Maya sudah lelah melihat akting Anna dan berkata dengan dingin. "Anna, kamu yang telah melanggar kontrak kerja sama dengan Mawardi Group dan menyebabkan kerugian besar terjadi pada kami. Kami tidak bisa membantumu menyelesaikan semuanya dengan cuma-cuma. Kamu harus membayarnya sendiri. Selain itu, kamu juga harus menghadapi konferensi pers. Mengenai uang iklan yang akan kamu terima, kamu akan menerimanya setelah dikurangi dengan biaya publik relasi."     

"Aku akan memberikan USB nya padamu, kamu … selesaikan semuanya sendiri," Sabrina pergi dengan marah dan melewati meja tempat Stanley meninggalkan kartu namanya.     

Anna mengejarnya hingga ke depan pintu dan berbisik. "Aku tidak akan memberitahu Arka mengenai masalah kamu dan Stanley."     

Sabrina mengepalkan tangannya dengan erat-erat. Ia tahu bahwa ini adalah ancaman Anna padanya.     

"Terima kasih," Sabrina menggertakkan giginya.     

Setelah memasuki lift, Maya berkata dengan suara pelan. "Anna berbohong."     

"Maya, apakah benar pria itu … pria itu yang bersamaku tiga tahun lalu … Aku tidak bisa hidup lagi," Sabrina akhirnya tidak bisa menahan diri dan kakinya terasa benar-benar lemas hingga ia terduduk di lantai lift.     

"Tidak. Jangan pikirkan itu," Maya tidak pandai menghibur orang lain. Tetapi melihat Sabrina seperti ini, ia juga merasa tertekan.     

"Maya, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?" Sabrina memeluk lututnya seperti anak kecil yang tidak berdaya.     

"Kak, jangan khawatir. Masih ada aku!" Maya menepuk pundaknya.     

Lift itu berhenti di lantai satu dan Sabrina langsung banngkit berdiri.     

"Maya, tolong bantu aku mencari Stanley. Aku ingin membandingkannya dengan pria yang berada di foto itu."     

Maya mengambil kartu nama yang dipegang oleh Sabrina. "Kalau tebakanku tidak salah, pria itu pasti sedang menunggumu. Mungkin tidak jauh dari sini."     

"Si brengsek itu. Ia benar-benar cari mati!" Sabrina merasa sangat marah.     

"Telepon dia dan suruh dia datang," kata Maya dengan tenang.     

Sabrina menarik napas dalam-dalam dan menghubungi nomor Stanley yang tertera di kartu namanya itu.     

Tidak disangka, ia benar-benar masih di dekat tempat ini. Dan ia bergegas datang setelah mendapatkan panggilan dari Sabrina.     

Maya mengendarai mobilnya, menjemput Stanley di sebuah persimpangan dan lanjut menyetir kembali.     

"Dua cantik, kita mau ke mana?" tanya Stanley sambil tersenyum.     

"Aku punya apartemen di dekat sini. Apakah kamu mau ke tempatku untuk mengobrol sambil minum kopi? Apa yang akan kita bicarakan tidak bisa dibahas di tempat umum," kata Maya dengan tenang.     

"Kalau wanita cantik yang mengundangku, mana mungkin aku menolak. Ayo kita berangkat," Stanley duduk di kursi belakang dengan ekspresi santai di wajahnya.     

Sabrina yang berada di kursi penumpang depan hanya diam saja. Kalau saja kepalanya bisa mengeluarkan asap karena begitu panasnya, mungkin mobil itu sudah penuh dengan asap.     

Sepuluh menit kemudian, mobil mereka berhenti di lobby sebuah apartemen mewah di tengah kota.     

Dengan pemindai wajah, Maya mengantar Sabrina dan Stanley ke dalam apartemennya.     

Alasan Maya berani membawa Stanley ke tempat tinggalnya karena apartemen mewah yang ia tinggali ini sangat ketat. Untuk masuk ke dalam, perlu adanya pemindai wajah. Untuk naik ke lantai atas, perlu adanya kartu.     

Pintu apartemennya juga menggunakan kunci sidik jari.     

Oleh karena itu, Maya tidak perlu takut Stanley akan memasuki rumahnya meski ia tahu di mana tempat tinggalnya.     

"Sistem penjagaan di tempat ini sangat ketat, ya. Pasti sangat aman tinggal di sini," kata Stanley.     

Maya hanya tersenyum tanpa mengatakan apa pun, sama halnya dengan Sabrina. Ia berusaha untuk menahan diri agar tidak memukul kepala pria itu dengan keras.     

Saat liftnya naik ke atas, Sabrina berdiri di belakang sambil memandang belakang kepala Stanley. Dan kemudian, ia melihat foto yang Maya dapatkan dari emailnya.     

Ia melihatnya berulang kali, tetapi tidak ada kesamaan di antara keduanya.     

Setelah memasuki apartemen, Maya langsung menuju ke dapur untuk membuat kopi. Sementara itu Sabrina dan Stanley duduk di sofa, saling berpandangan.     

"Kalau kamu terus memandangku seperti itu, apakah salah kalau aku merasa kamu tertarik padaku?" tanya Stanley dengan tidak tahu malu.     

"Memang gonggongan anjing terdengar sangat keras," kata Sabrina dengan marah.     

"Mengapa wanita secantik kamu mengeluarkan kata-kata kasar seperti itu? Apakah aku pernah berbuat salah padamu?" Stanley terlihat tenang.     

"Teruslah berpura-pura," Sabrina mendengus dingin, tidak mau mengatakannya.     

Maya keluar sambil membawa tiga es kopi. Ia meletakkannya di atas meja, satu di depan Sabrina, satu di depan Stanley, dan satu lagi untuknya.     

Sabrina memegang sedotan untuk mengaduk kopi tersebut dan kemudian menggigitnya sebelum menyesap kopi tersebut. Esnya masih belum tercampur sepenuhnya sehingga kopi itu terasa sedikit hangat.     

Stanley mengambil gelas itu dan mengaduknya sambil berkata dengan senyuman. "Apakah ada obat di kopi ini? Setelah meminumnya, apakah kamu akan melakukan sesuatu kepadaku? Membuat film mungkin …"     

"Apakah kamu mau menukar kopinya dengan milikku?" kata Maya.     

"Aku ingin kopimu," Stanley menunjuk ke arah kopi Sabrina.     

"Aku sudah meminumnya. Kalau kamu tidak keberatan, kamu bisa mengambilnya," Sabrina mengeluarkan sedotannya dan memberikan gelas kopinya ke hadapan Stanley.     

Stanley tertawa mendengarnya. "Mengapa aku harus keberatan? Kita sudah melakukan sesuatu yang lebih jauh dari ini …"     

"Dasar brengsek!" Sabrina bangkit berdiri dari sofa dan mengangkat bantal, ingin memukuli pria di hadapannya.     

Maya langsung mengambil bantal itu. "Kak, tenanglah."     

Sabrina menatap Stanley dengan tatapan tajam. Ia duduk dengan perasaan yang sangat kesal, tidak mengatakan apa pun lagi.     

Stanley mengambil gelas kopi yang sudah Sabrina minum dan menyesapnya. "Kopi yang sudah kamu minum ini wangi."     

"Bisakah kamu tidak berbuat sesuatu yang menjijikkan?" kata Sabrina dengan marah.     

"Stanley, kamu bersedia untuk ikut bersama kami, itu artinya kamu mau menyelesaikan masalahnya bersama-sama, kan? Kakakku ini sangat dimanja oleh kedua orang tuanya sejak kecil dan sifatnya memang sedikit pemarah. Kalau kamu terus membuatnya kesal, aku tidak mau ikut campur terhadap apa yang terjadi kepadamu," Maya tetap terlihat sangat tenang, tidak menunjukkan emosi apa pun di wajahnya dari awal hingga akhir.     

Sementara itu, Sabrina sudah berada di ambang batas. Ia benar-benar ingin menelan Stanley hidup-hidup.     

"Sabrina memiliki hubungan yang baik dengan tiga tuan muda Keluarga Atmajaya. Bagaimana kalau sedikit menyebutkan namaku di hadapan mereka?" tanpa malu-malu, Stanley langsung menunjukkan niatnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.