Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Bukan Aku



Bukan Aku

0"Sabrina memiliki hubungan yang baik dengan tiga tuan muda Keluarga Atmajaya. Bagaimana kalau sedikit menyebutkan namaku di hadapan mereka?" tanpa malu-malu, Stanley langsung menunjukkan niatnya.     
0

"Kamu salah orang. Perusahaan film dan televisi di bawah Atmajaya Group bukan perusahaan milik mereka bertiga. Saat ini, pamanku, Nico Atmajaya, yang memimpin perusahaan itu. Bukankah akan lebih cepat untuk mencapai keinginanmu kalau kamu memanfaatkan Madison?" cibir Maya.     

"Aku juga ingin menemui Madison dengan cara pergi ke dokter giginya. Ia sudah mencabut dua gigiku dan membuatku mati rasa. Sekarang ada satu gigiku yang goyang. Aku bahkan belum bisa berteman dengannya, tetapi ia sudah membuatku mati," kata Stanley dengan tidak berdaya.     

Memang benar, di benak Maya dan Sabrina, memang seperti itulah Madison. Madison adalah wanita yang sangat keras dan dingin, sama seperti ibunya. Tidak mudah untuk menggoda atau merayu Madison.     

"Jadi, kamu memilih untuk memanfaatkanku? Kalau memang itu mau-mu, mengapa kamu baru menemuiku setelah tiga tahun?" Sabrina memandangnya dengan curiga.     

Stanley terkekeh. "Setelah berkenalan denganmu, aku langsung menjalankan operasi plastik. Aku ingin sempurna saat tampil di televisi. Tetapi siapa sangka, saat aku selesai pemulihan operasi, kamu sudah pergi ke luar negeri."     

"Aku memiliki hubungan yang baik dengan kakakku. Paman Arka dan sepupuku, Mason, bertanggung jawab untuk mengurus masalah perusahaan. Pamanku yang lainnya, Paman Aksa bertanggung jawab atas bisnis dan operasi. Kalau kamu ingin perusahaan film dan televisi Atmajaya Group merekrutmu, kamu tetap harus melewati Madison. Bagaimana kalau mencabut beberapa gigi lagi? Terutama gigimu yang goyang tadi. Mungkin dengan itu, Madison akan mengenalmu," saran Maya.     

Sabrina menarik napas dalam-dalam. "Tidak ada gunanya mencariku. Aku tidak bisa membantumu."     

"Kalau aku tidak bisa berteman dengan Madison, aku hanya bisa bergantung padamu. Kamu harus membantuku. Kita sudah pernah menghabiskan malam bersama. Jangan terlalu kejam padaku," suara Stanley terdengar manja, membuat bulu kuduk Maya berdiri.     

Sabrina merasa mual. Seumur hidupnya, tidak pernah ia menemukan seorang pria yang begitu menjijikkan seperti ini. Rasanya sungguh-sungguh memuakkan.     

"Maya, apakah waktunya sudah habis?" Sabrina mengangguk.     

Maya melirik ke arah jam di dinding dan mengangguk.     

"Apa artinya itu? Apa yang kalian lakukan?" Stanley merasakan firasat buruk.     

"Jangan hentikan aku. Aku akan membunuhnya!" Sabrina menggila. Ia bergegas menuju ke arah ruang kerja di apartemen Maya dan menemukan raket tenis milik Maya.     

Setelah itu, ia menggunakan raket tenis itu untuk memukul kepala dan wajah Stanley.     

"Ahh! Apa yang kamu lakukan padaku?" teriak Stanley.     

"Apakah kamu belum bisa menebaknya?" Sabrina mencibir. "Tiga gelas kopi itu memang tidak ada obatnya sama sekali. Tetapi kamu sok pintar dan menginginkan gelas kopiku. Saat aku memberikannya padamu, aku memasukkan obatnya dari cincin di tanganku. Sekarang, kamu merasa lemah, panik dan kesulitan bernapas kan? Jangan khawatir, kamu tidak akan mati!"     

Stanley ingin menangis saat mendengarnya. Melihat Sabrina yang mengangkat raket tenis itu, ia langsung memohon, "Tolong jangan lukai wajahku."     

"Kak, jangan buat wajahnya hancur. Kita harus membandingkan foto milik kita dengan wajahnya," kata Maya.     

"Baiklah, kita bisa bermain lagi nanti," Sabrina meletakkan raket tenis di atas meja dan kemudian mendorong Stanley ke sofa.     

Stanley yang sudah tidak berdaya sama sekali tidak bisa berbuat apa pun saat dipegangi oleh kedua wanita itu. Maya dan Sabrina langsung mengambil banyak foto wajahnya.     

Setelah membandingkannya satu per satu, mereka berdua merasa bahwa pria di foto itu bukanlah Stanley.     

"Sepertinya kamu tidak akan jera kalau kamu belum melihat peti matimu. Katakan yang sejujurnya, siapa pria yang ada di foto ini? Apakah Anna memintamu untuk berpura-pura?" Sabrina mengangkat raket tenis itu lagi dan mengancamnya. "Kalau kamu tidak memberitahuku, aku akan memukul wajahmu hingga rusak."     

"Wajah bagus ini, aku tidak tahu berapa banyak operasi yang kamu jalankan, berapa banyak pisau bedah yang menyentuhnya untuk membuatnya sukses seperti ini. Sayang sekali kalau rusak," kata Maya dengan sengaja dari samping.     

Sabrina menyentuhkan raket yang ia bawa ke dahi Stanley dan berteriak dengan keras. "Kamu mau mengaku atau tidak?"     

"Pria di foto itu benar-benar aku! Bukankah aku sudah bilang padamu bahwa aku menjalani operasi plastik setelahnya. Wajah ini bagus, kan? Makanya, bantu aku untuk debut!" kata Stanley.     

Sabrina dan Maya saling berpandangan satu sama lain, setengah mempercayai kata-kata Stanley. Tetapi tetap mereka masih ragu.     

"Tiga tahun lalu, mengapa kamu bisa berada di sana? Klub kelas atas tempat kami bertemu memiliki sistem membership. Kamu tidak akan bisa masuk ke dalam," kata Sabrina.     

"Aku … Aku adalah pria sewaan di sana. Aku melihatmu mabuk dan pergi ke kamar hotel untuk beristirahat. Aku yang menemanimu. Saat itu kamu mabuk dan meminta air minum padaku. Kamu bilang aku tampan dan kamu yang menciumku terlebih dahulu. Kalau tidak, aku tidak akan berani. Kamu menanyakan namaku dan bilang kamu tidak akan pernah melupakan aku. Apakah kamu benar-benar tidak ingat malam itu?" Stanley memandang Sabrina dengan hati-hati.     

Sabrina duduk di karpet, menyandarkan punggungnya ke sofa. Kepalanya terasa pening.     

Apa maksudnya ini? Tiga tahun lalu, ternyata ia tidur dengan pria sewaan?     

Selama ini, ia pikir pria yang tidur bersamanya itu adalah salah satu dari tiga putra Keluarga Atmajaya. Ia selalu mempercayai itu.     

Ia juga selalu bertanya-tanya, mengapa mereka bertiga tidak mengatakan apa pun. Mereka berperilaku seolah tidak ada yang terjadi, menutupinya dengan sangat baik. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengaku padanya.     

Kalau pria itu adalah salah satu dari mereka, tentu saja mereka akan langsung mengaku untuk bisa menjadi kekasihnya.     

Tetapi tidak ada yang mengakuinya. Itu artinya, pria tiga tahun lalu memang benar-benar bukan mereka.     

Sabrina tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia tidur dengan pria sewaan.     

Mengapa semua ini terjadi? Mengapa Tuhan menghukumnya seperti ini?     

"Maya, apakah kamu punya racun tikus? Atau baygon? Aku ingin membunuhnya dan kemudian membakar mayatnya hingga menjadi abu," kata Sabrina secara tiba-tiba.     

Saat mendengarnya, Stanley hampir saja menangis. "Sabrina, aku bersumpah aku tidak akan memberitahu siapa pun. Jangan bunuh aku."     

Maya tersedak saat mendengar kata-kata Sabrina. "Kak, pembunuhan itu melanggar hukum. Aku tidak berani melakukannya."     

"Tidak apa-apa, biar aku yang melakukannya," Sabrina mengeluarkan ponselnya. "Aku akan mencari cara dari internet, bagaimana cara membunuh seseorang tanpa meninggalkan jejak."     

Stanley benar-benar ketakutan setengah mati saat melihat Sabrina yang gelap mata.     

"Ahh, ternyata kita bisa memotong-motong tubuhnya dan membuangnya ke toilet. Tetapi bagaimana kalau toiletnya tersumbat? Sepertinya kita harus mencincangnya kecil-kecil. Apartemenmu ini kedap suara kan? Meski ia berteriak sekali pun, tidak akan ada yang mendengarnya."     

"Saat aku masuk, ada CCTV di depan pintu. Di bawah juga ada CCTV. Kalau aku menghilang …"     

"Aku bisa menghapus rekaman CCTV itu. Percaya padaku, itu adalah hal yang sangat mudah untukku …" Sabrina tersenyum jahat.     

Maya mengerang dan menatap Sabrina dengan tidak berdaya. "Kak, bisakah kamu tidak melakukan kejahatan di rumahku? Kalau tidak, bagaimana aku bisa tinggal di sini setelahnya? Kalau kamu memang benar-benar ingin membunuhnya, aku punya seorang teman yang merupakan ilmuwan gila. Ia suka melakukan eksperimen aneh pada manusia di basement untuk memastikan bahwa orang itu hilang hingga ke tulang-tulangnya."     

Sabrina mengangguk, "Kalau begitu apa lagi yang harus kita tunggu? Kita berikan saja pada temanmu. Jangan lupa bilang pada temanmu agar tidak membiarkan mati dengan cepat. Ia harus disiksa pelan-pelan, biarkan ia merasakan rasa sakit, menyesali semua perbuatannya dan baru mati.     

"Baiklah," Maya langsung menelepon seseorang. "Cepat datanglah ke rumahku. Aku mau mendonorkan satu untukmu …"     

"Bukan! Bukan aku!" Stanley benar-benar ketakutan setengah mati hingga ia menangis dan hampir terkencing-kencing. "Pria di foto itu bukan aku!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.