Pejuang Troy [END]

Empat



Empat

0Sama seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Troy melewatkan malamnya dengan memandangi ujung langit. Titik terjauh dari penglihatannya. Sama seperti pikirannya yang sekarang berkelana entah kemana. Untuk apa lagi kalo bukan memikirkan Belle.     
0

Sejak kepergian Belle, gangguan tidur Troy menjadi semakin parah. Dia bahkan sampai harus meminta resep dokter untuk membantu mengurangi insomnianya. Itu pun tidak akan bertahan lama, karena biasanya dia hanya akan tidur empat jam paling lama.     

Entah angin apa yang membawanya, tiba-tiba Troy teringat tentang gadis yang diperkenalkan kepadanya tadi siang. Kalau memang tujuan dia hanya untuk uang, tentu ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan oleh Troy. Yah jaman sekarang, siapa yang tidak akan tergiur dengan uang? Apalagi sekarang perempuan banyak tuntutannya.     

Seketika Troy mempunyai ide brilian yang bisa dimanfaatkan agar dia terbebas dari praktik perjodohan yang akan direncanakan oleh ibunya suatu saat nanti. Kalau-kalau dia menolak perjodohan yang ini. Kalau menolak. Bagaimana kalo Troy menerima perjodohan ini?     

Memikirkannya saja sudah membuat Troy begitu bersemangat. Tak sabar dia menunggu matahari terbit yang menandakan bangunnya sang ibu dari tidur malamnya. Dengan begitu, dia bisa meminta kontak gadis itu. Fenita.     

"Lets see, akan seberguna apa kamu dengan uang yang aku tawarkan." ucap Troy sambil mengelus rahangnya yang mulus.     

Dua jam kemudian, matahari yang dinantikan perlahan menampakkan sinarnya. Jelas Troy merasa penantiannya tidak sia-sia. Dan langkah ringannya pagi itu membuat beberapa pelayan yang sedang bertugas merasa keheranan.     

Tok tok tok.     

"Mama, udah bangun?" tanya Troy dari luar.     

"Masuk, Sayang."     

Meski sudah tidak sabar untuk menyampaikan maksud kedatangannya yang terlalu pagi, Troy berusaha menahan niatnya. Berusaha sabar, Troy menghampiri ibunya terlebih dahulu dan memberikannya kecupan selamat pagi. Sesuatu hal yang sudah sangat lama tidak dia lakukan.     

"Ada apa nih?" Vanesa curiga dengan gelagat putrnya.     

"Ah Mama, tau aja deh." Troy sedikit malu. "Boleh tanya sesuatu?"     

Vanesa melirik putranya dengan tatapan penuh curiga. Karena tidak biasanya anaknya bersikap seperti itu. Apalagi setelah kegagalan cintanya dengan perempuan itu, Troy yang imut dan penuh kasih sayang rasanya menghilang.     

Iya, gegara perempuan itu, kehidupan putranya jadi berantakan. Bahkan untuk menyebut namanya saja Vanesa tidak sudi. Kalau saja dia bisa menemukan perempuan itu, hal pertama yang akan Vanesa lakukan adalah menyiksanya. Itu sudah otomatis terekam dalam memorinya setelah melihat apa yang dilakukannya terhadap sang putra kesayangannya.     

"Boleh minta nomor perempuan yang kemarin?"     

Sesuai dugaan, cepat atau lambat Troy akan menanyakan hal itu. Tapi Vanesa tidak pernah mengira kalau hal itu akan datang secepat ini.     

"Mau buat apa?"     

Memanyunkan bibirnya, Troy berusaha membuat alasan yang terdengar logis untuk sang ibu. "Nggak, cuma pengen minta maaf aja. Anakmu ini laki-laki yang baik, dan dia menyadari apa yang telah dilakukannya kemarin. Jadi..."     

"Jadi?"     

Troy mulai bingung melanjutkan kata-katanya. Dia sudah lama tidak berbicara sepanjang ini, jadi dia mulai gugup dan panik.     

Vanesa tentu saja tersenyum puas melihat tingkah putra kesayangannya itu. Dia benar-benar tidak menyangka, Troy akan melakukan hal yang tidak disukainya itu, berbicara panjang lebar untuk menjelaskan.     

"Itu ponsel Mama, nama kontaknya 'Fenita'. Cari sendiri bisa?" Vanesa menunjukkan ponsel yang tergeletak di meja.     

Andai tidak bersikap jaim dihadapan sang ibu, Troy sudah pasti akan langsung berlari menuju ponsel itu dan segera mencari. Karena dalam rangka jaim, Troy hanya bisa berjalan setenang mungkin menuju ponsel itu dan mencari dengan perlahan. Mengamati setiap nama yang tercantum. Hingga akhirnya dia menemukan nama yang dicarinya. F untuk Fenita.     

Segera setelah menyalin nomor itu, Troy langsung undur diri dan kembali ke kamarnya. Sedikit cemas dan deg-degan, Troy menghubungi nomor itu.     

"Halo?" sapa suara diujing telepon.     

"Halo, ini Troy Mikhail. Apa benar ini nomor Fenita?" Troy berusaha terdengar sopan dan kalem.     

"Oh, ada yang bisa dibantu?"     

"Kapan ada waktu? Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan."     

"Apa itu mengenai nominal uang yang sudah kalian putuskan?"     

"Bisa dibilang begitu." Troy masih berusaha tenang, tidak terpancing emosi. "Hari ini di hotel Horison jam makan siang. Bisa?"     

"Maaf Tuan Troy, sayangnya aku bukan orang yang punya banyak waktu luang."     

Dalam hati Troy mengutuk gadis itu. Kenapa dia bisa sangat sombong dengan keadaan dia yang biasa saja?     

"Oke, kapan ada waktu luang?"     

"Lusa, jam tujuh malam. Silahkan tentukan tempatnya."     

Mendengar jawaban itu, Troy langsung mengiyakan. Kali ini dia membuang harga dirinya demi bisa melancarkan aksi yang bisa menguntungkan dirinya sendiri. Dan dia harus berhasil.     

...     

Fenita tidak pernah menyangka bahwa tuan sombong yang dia temui kemarin akan menghubunginya. Bila dianalisis dari suaranya, tuan itu sepertinya sudah menyiapkan rencana yang mencurigakan.     

"Ta, mau sarapan bareng?" kepala Yura menyembul dari balik pintu.     

"Nggak kayanya, ada hal yang harus dikerjakan." Fenita mengangkat kertas yang sedang dilipatnya.     

Kembali lagi ke niat awal untuk berhemat, Fenita sengaja menolak ajakan Yura. Gegara kemarin dia melampiaskan kekesalannya dengan eskrim, sekarang tabungannya menjadi berkurang. Fenita hanya bisa mengutuk dirinya atas kebodohannya itu.     

Selain bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran mewah di pusat kota, Fenita juga memiliki pekerjaan sampingan lainnya. Melipat kertas yang akan dijadikan paper bag.     

Memang hasilnya tidak seberapa, tapi itu bisa menjadi tambahan baginya untuk mencukupi biaya hidup. Apalagi jaman sekarang ini biaya hidup di kota sangat mahal. Belum lagi biaya sewa kamar yang juga semakin tinggi.     

Andai terlahir sebagai orang kaya, tentunya pekerjaan ini nggak akan pernah aku lakuin, begitulah batin Fenita berandai-andai.     

Karena sudah lama menekuni pekerjaan sambilannya ini, bisa dibilang Fenita sudah ahli. Hanya dalam waktu satu jam, dia sudah bisa mendapatkan tiga tumpuk kertas yang sudah terlipat. Dan kini saatnya dia melakukan pekerjaannya yang lain, pelayan restoran.     

Tak terasa sudah hampir satu tahun dia bekerja sebagai pelayan. Fenita amat bersyukur ada orang yang mau menampung orang seperti dirinya untuk dipekerjakan. Mengingat dia hanya lulusan SMA dengan nilai yang pas-pasan.     

Setelah mandi dan mempersiapkan diri, akhirnya Fenita bersiap untuk berangkat. Dia selalu berangkat lebih awal karena perjalanan menuju tempatnya bekerja cukup jauh.     

Setengah jam perjalanan berjalan dengan mulus. Fenita tepat sampai di restoran. Tapi sepertinya ada kejadian aneh yang sedang berlangsung.     

Kerumunan berkumpul tepat di pintu menuju ruang inti restoran. Disana tidak hanya para pelayan, tapi juga beberapa koki.     

"Ada apa? Kok tumben ngumpul di pintu." tanya Fenita penasaran.     

"Ada orang penting datang." salah seorang asisten koki menjawab.     

Orang penting? Bukankah restoran belum buka? Seharusnya beliau tahu bahwa restoran belum beroperasi, kenapa dia datang terlalu dini?     

Tak mau ikut berkumpul, Fenita segera mempersiapkan diri. Dengan cekatan dia segera menyusun sendok dan garpu di beberapa meja. Bahkan dia tidak peduli dengan tamu istimewa yang sedari tadi duduk seperti patung.     

Setelah menyelesaikan tugasnya, Fenita mendengar bisik-bisik lagi dari para pelayan perempuan.     

"Ya Tuhan, aku mau menjadi budak cintanya Tuan Mayer kalo dia setampan itu."     

"Iya, ditambah beliau sangat perhatian terhadap para pegawainya."     

Siapa Tuan Mayer? Sepertinya nama itu tidak asing bagi telinga Fenita. Entah lah, yang jelas sekarang fokus Fenita hanya bekerja dan melewati shift paginya dengan damai.     

Tapi sayangnya itu hanya keinginan sepihak Fenita. Orang yang disebut 'tamu istimewa' dan disebut sebagai Tuan Mayer sedari tadi terus berada dimeja itu. Dan anehnya, dia terus saja memanggil namanya. Mau tidak mau Fenita berusaha melayani beliau dengan sepenuh hati.     

Memang sih, Tuan Mayer ini muda dan tampan, jadi tidak menjadi masalah melayani tamu istimewa itu. Yang jadi masalah adalah, beliau selalu saja membutuhkannya ketika dia tengah sibuk melayani pelanggan yang lain. Dan itu membuat Fenita menjadi kewalahan.     

Emang nggak ada pelayan lainnya? Dari sekian banyak pelayan, kenapa harus nama Fenita yang di sebutkan?? Batin Fenita geram.     

Diakhir pergantian shift, saat Fenita akan pergi untuk berganti seragam kerjanya, tiba-tiba manajernya datang menemui Fenita. Tidak hanya itu, dengan kasarnya sang manajer menarik Fenita untuk keluar dari ruang ganti baju.     

"Manajer, ada apa?" tanya Fenita bingung.     

"Kalau kamu masih mau bekerja disini, segera temui Tuan Mayer. Beliau bilang ada keperluan denganmu." begitu jawab sang manajer.     

Keperluan dengan Tuan Mayer? Bertemu saja baru kali ini. Oh, apa dia tadi melakukan kesalahan?     

Seketika keringat dingin membasahi dahinya. Akan menjadi buruk kalau beliau mengetahui bahwa tadi dia sangat jengkel ketika melayani Tuan Mayer. Itu tentu akan berpengaruh ke pekerjaannya.     

Ya Tuhan, what should I do?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.