Pejuang Troy [END]

Tujuh



Tujuh

0Begitu keluar dari kamar mandi, Fenita mendapati Madam Vanesa tengah menunggunya untuk sarapan.     
0

"Sayang, sini sarapan bareng. Sebelum kamu berangkat kerja." undang Madam Vanesa penuh senyum.     

Melihat bagaimana Madam Vanesa tadi marah dan meneriaki anaknya, Fenita merasa sedikit canggung. Dia tidak pernah menyangka bahwa dibalik kelembutan dan keanggunan beliau, terselip sifat yang begitu berlainan.     

Harus diakui, setiap orang memang memiliki rahasia yang mereka sembunyikan. Mungkin hal ini pula yang menjadi rahasia Madam Vanesa. Mengingat keduanya belum lama berkenalan.     

Tapi Fenita tetap patuh pada perintah Madam Vanesa. Dia duduk di kursi dan mencoba menikmati sarapan.     

"Maaf, kamu harus melalui hari yang begitu mengejutkan." Madam Vanesa berkata dengan nada penuh penyesalan.     

"It's okay, Ma'am." jawab Fenita singkat.     

Madam Vanesa tiba-tiba mengenggam tangan Fenita. "Aku akan buat Troy bertanggungjawab atas apa yang dia lakukan."     

"Eh maksudnya apa, Ma'am?"     

"Dia akan menikahi kamu. Secepatnya."     

Klontang.     

Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring mengisi kesunyian. Fenita benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Madam Vanesa.     

Apa? Menikah? Dengan Tuan Sombong itu?     

"Ma'am eh sepertinya ad-ada kesalahpahaman."     

"Jangan menyangkal. Apa berandal kecil itu mengancam kamu? Jujur saja, aku benar-benar malu dengan kejadian ini. Kalau saja dia bukan anakku, tentu sudah berakhir hidupnya." terlihat wajah lembut itu menjadi wajah yang siap menerkam mangsanya. Penuh ancaman kematian.     

Fenita tidak tahu harus berbuat apa. Dia ingin menjelaskan kesalahpahaman ini, tapi sepertinya Madam Vanesa masih dipenuhi dengan amarah. Saat akan mengucapkan penjelasannya, Fenita lalu tersadar akan waktu yang terus berjalan. Dan kalau dia tidak bergegas, dia akan terlambat.     

"Ma'am, saya sungguh minta maaf, tapi saya harus berangkat kerja. Ini sudah terlalu terlambat." ucap Fenita terburu-buru.     

"Kamu bisa ijin hari ini." balas Madam Vanesa dengan ringan     

"No, Ma'am, itu bukan tindakan yang tepat untuk ijin secara mendadak." Fenita berusaha tegas. "Saya berjanji, saya akan menghubungi anda sesegera mungkin. Maaf, saya permisi."     

Lalu Fenita segera bangkit dan meninggalkan Madam Vanesa dan Aru. Dia harus bergegas bila tidak ingin mendapatkan masalah di tempat kerjanya. Untungnya, hanya perlu waktu sebentar untuk sampai di restoran tempatnya bekerja.     

"Hei, tumben jam segini baru sampai. Jalanan macet kah?" sapa Ama begitu melihat Fenita yang terengah-engah.     

Sambil mengatur napas, Fenita menjawab pertanyaan Ama dengan anggukan kepala.     

Hari ini, shift ini, Fenita merasa pekerjaannya akan berlalu dengan tenang. Hingga seorang tamu oenting datang dan mendudukkan dirinya di kursi dengan anggunnya.     

Itu Tuan Mayer.     

Melihat siapa yang datang, otomatis semua pelayan langsung menoleh ke arah Fenita. Entah kenapa, sepertinya hanya Fenita yang bisa 'menjinakkan' sang tamu penting itu. Buktinya, hari kemarin beliau tidak mengajukan komplain sedikitpun. Berbeda saat orang lain yang akan melayani beliau, rasanya semua yang para pelayan lakukan adalah kesalahan.     

Sedikit terganggu dengan tatapan mata dari beberapa temannya, Fenita berusaha cuek dan memilih melayani tamu yang lain. Berusaha agar sang tamu penting itu dilayani oleh pelayan lainnya. Sayangnya keinginan itu tidak berjalan mulus sesuai keinginan Fenita. Karena segera saja Tuan Mayer memanggil namanya.     

"Yes, Sir, ada yang bisa saya bantu?" tanya Fenita begitu dia mencapai meja Tuan Mayer.     

"Duduk."     

Fenita sedikit terkejut dengan apa yang diucapkan oleh sang tamu. "Maaf?"     

"Duduk, ada hal yang ingin saya bicarakan." ucap Tuan Mayer tegas.     

"Maaf, Sir, tapi saya sedang bekerja sekarang." jawab Fenita tak kalah tegas.     

"Panggilkan manajer kamu."     

Deg. Seketika lutut Fenita tak bertenaga.     

Apa maksud perkataan Tuan Mayer? Apa hanya karena dia tidak menuruti perkataannya, dia akan melaporkan dirinya kepada manajer?     

Meski begitu, Fenita tetap menuruti perkataan Tuan Mayer. Dia kembali ke belakang dan memberitahu pesan Tuan Mayer kepada manajernya.     

Sang manajer langsung memasang wajah penuh selidik yang galak dan gugup secara bersamaan. Tak berselang lama setelah sang manajer menghadap Tuan Mayer, manajer memanggil Fenita.     

"Turuti apa permintaan Tuan Mayer. Kalau beliau ingin kamu menemani dia, temani dia. Dalam hal yang wajar." ucap manajer dengan penuh perintah. "Pekerjaan kamu taruhannya."     

Setelah mendengar perintah sang manajer, mau tidak mau Fenita menurutinya. Dia tidak ingin mendapatkan masalah lainnya hari ini.     

...     

Sepeninggalan sang ibu, Troy merasa dunianya menjadi gelap. Dia tidak percaya kalau orang yang selama ini dipercayainya, tidak bisa mempercayai dirinya.     

"Apa yang terjadi?" tanya Troy dingin kepada Mr. Khan.     

"Sir, Madam menelepon saya tadi pagi-pagi sekali. Beliau bertanya dimana anda berada, dan saya menjawab sebagaimana yang terjadi. Bahwa anda di hotel bertama Miss Fenita." jawab Mr. Khan. Dia tahu, karirnya sedang dipertaruhkan sekarang.     

"Terus?"     

"Saya segera kesini begitu Madam meminta kehadiran saya. Saya pikir anda sudah pulang."     

Troy menutup wajahnya dengan tangannya. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Mau marah kepada asistennya juga percuma, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi ibunya sudah mengeluarkan perintah untuk menikahi Fenita sebagai bentuk tanggungjawab.     

Di usianya yang ke 33 tahun, dia harus menikah dengan perempuan asing yang baru beberapa hari dia temui. Sungguh, hidup yang penuh kejutan.     

"Siapin mobil. Aku harus bekerja."     

Lalu Troy masuk ke kamar mandi dan bersiap bekerja.     

Apapun yang terjadi, bekerja selalu bisa mengalihkan pikirannya. Paling tidak, dengan bekerja dia akan merasa bisa sedikit mengontrol emosinya.     

Mr. Khan mengangguk dan segera mempersiapkan mobil sang tuan. Tak sampai sepuluh menit, Troy sudah turun ke parkiran basement dan masuk ke mobilnya.     

Di dalam ruangannya, Troy menyibukkan diri dengan pekerjaan. Bahkan dia tidak mengetehui bahwa jam makan siang sudah terlewat begitu saja. Juga beberapa panggilan yang sengaja diabaikannya.     

Biasanya, dengan menyibukkan diri dengan bekerja bisa membuat dia lebih tenang. Tapi tidak kali ini. Dia merasa hidupnya telah hancur. Bagaimana bisa dia pada akhirnya harus menikah dengan perempuan kampungan dan meninggalkan Belle terkasihnya? Belum lagi, bagaimana dia akan menjelaskan kepada Belle bisa gadis itu berhasil dia temukan? Bahwa sekarang dia adalah seorang lelaki yang sudah beristri. Padahal semua orang (mungkin) tahu bahwa Troy mengabdikan hidup dan cintanya hanya untuk Belle seorang.     

Pada akhirnya, Troy mengubungi kedua sahabatnya untuk menemani dirinya melewati hari yang penuh tekanan ini. Ketiganya membuat janji untuk bertemu di klub malam langganan mereka.     

"Tumben ngajakin keluar. Tampaknya Tuan Darren kita sedang ada masalah." goda Aaron penuh semangat.     

"Sepertinya begitu. Dan ini pasti tidak akan jauh dari seseorang bernama Belle. Iya kan?" Digta kali ini yang menggoda.     

Troy hanya bisa melirik kedua sahabatnya dengan tatapan tajam. Tapi mau bagaimanapun, tebakan keduanya tak pernah salah. Dan memang masalah Troy hanya akan berkisar seputar pekerjaan, Belle dan keluarga. Tak pernah keluar dari ketiga jalur itu.     

"Kayanya kalian harus jadi groomsmen sebentar lagi."     

Digta langsung tersedak mendengar perkataan Troy. Tidak hanya Digta, Aaron pun harus memuntahkan minumannya setelah mendengar perkataan Troy.     

"What? Apa Belle udah ketemu?" tanya Digta dengan serius dan antusias.     

Ini adalah berita besar abad ini. Akhirnya setelah penantian dua tahun, Troy bisa bersatu dengan pujaan hatinya yang telah menghilang.     

Troy menggelengkan kepalanya. "Bukan sama Belle, tapi sama perempuan lain."     

"Kok bisa?"     

"Madam Vanesa Darren sudah bertitah." jawab Troy lesu.     

"Kok bisa?" Aaron mengulangi pertanyaan Digta.     

"Daripada kalian tanya kaya gitu, mending kalian mikir gimana caranya supaya aku nggak harus melakukan pernikahan ini."     

"Bro, kita nggak bisa berbuat apa-apa kalau nggak tahu inti permasalahannya."     

Troy memikirkan sejenak perkataan Digta. Memang ada benarnya, percuma minta solusi kepada mereka sedangkan mereka tidak tahu inti permasalahannya. Namun Troy merasa ragu untuk menceritakan kisah dimulainya titah sang ibu.     

"Mm mungkin next time cerita. Tapi sekarang urgent banget, dan jelas aku ngerasa kesulitan menghindari titah beliau sekarang."     

Ketiga sahabat itu menghela napas bersama. Disaat yang bersamaan pula, ketiganya menegak minuman mereka masing-masing.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.