Pejuang Troy [END]

Duapuluh sembilan



Duapuluh sembilan

0Sudah hampir makan siang dan mereka baru sampai di pantai. Karena ini hari kerja dan bukan waktunya liburan, pantai terlihat sepi dari pengunjung. Membuat mereka yang berkunjung saat ini merasa memiliki pantai pribadi.     
0

Panas matahari yang menyengat menyilaukan mata. Satu kebodohan yang dilakukan Fenita adalah dia tidak membawa kacamata. Bahkan dia tidak membawa topi juga. Berbeda dengan Troy yang penuh dengan persiapan, topi dan kacamata. Untuk menghalau sinar matahari yang menyilaukan matanya, Fenita menggunakan tasnya. Tapi tetap saja itu tidak membantu banyak. Cahaya matahari lebih kuat sinarnya.     

Melihat itu, Troy segera melepas topinya dan memakaikannya di kepala Fenita. Tidak hanya itu, kacamata yang sedari tadi tergantung di kerah kaosnya langsung dipasangkan di wajah Fenita. Tak ayal, perbuatannya itu mengagetkan Fenita.     

"Kamu aja yang pakai." kata Fenita cepat, seraya menyerahkannya kepada Troy.     

"Dengan satu syarat." tiba-tiba saja niatanjahil terbesit dikepalanya. "Pakaikan."     

Troy yang memiliki tinggi 187cm tentu akan sangat menjulang bila dibandingkan dengan tinggi istrinya yang hanya 160an cm. Dan sekarang Troy menginginkan Fenita mengenakan kacamata untuknya. Tanpa menundukkan kepalanya. Permainan yang sangat lucu.     

Benar saja, Fenita harus berusaha ekstra keras karena perbedaan tinggi yang mencolok. Beberapa kali Fenita harus berjingkit agar bisa memakaikan kacamata untuk Troy, tapi liciknya pemuda itu langsung menghindar saat kacamata hampir terpasang diwajahnya.     

"Ini curang. Aku aja yang pakai." ucap Fenita jengkel.     

Senyum puas tergambar di wajah Troy ketika melihat Fenita berjalan menjauhi dirinya dengan perasaan kesal. Dia tidak pernah menyangka, mengerjai Fenita dengan hal sepele ini akan membuat dia merasa senang.     

Dari awal Troy memang menginginkan Fenita untuk mengenakan kacamatanya. Karena troy bisa menebak bahwa istrinya itu tidak bisa melihat tanpa bantuan kacamata hitamnya itu.     

"Kamu marah?" tanya Troy yang berhasil menyusul Fenita hanya dengan beberapa langkah lebarnya. Yah setidaknya ada sisi positif lainnya memiliki kaki panjang.     

Dengan tatapan tajamnya itu, Fenita memandang Troy lalu mengacuhkan suaminya.     

Ya Tuhan, lihat mata bulatnya itu. Apa Kau sedang dalam mood baik ketika menciptakan perempuan ini, Tuhan? Troy tak henti-hentinya memuji kecantikan istrinya itu.     

"Aku haus, kita cari minum aja." hanya itu jawaban Fenita.     

"Tapi aku kembung. Dijalan tadi minum banyak kopi." protes Troy saat melihat Fenita menuju ke penjual kelapa muda.     

Tetap saja Fenita berjalan lurus, meskipun Troy yakin Fenita mendengar keluhannya tentang perutnya yang terasa kembung sekarang ini. Dan sekali lagi, senyum itu tercetak di bibir Troy, manampakkan wajah yang hangat dan penuh kasih.     

Troy merasa aneh dengan dirinya sendiri. Dia merasa kalau ini bukan dirinya sendiri. Serasa ada yang berbeda, tapi dia tidak tahu apa yang berubah dengan dirinya sekarang.     

...     

Menikmati hamparan pasir dan deburan ombak membuat Fenita merasa tenang. Meski sedang banyak pikiran, tetap saja dia merasa seolah beban berat terangkat dari pundaknya. Oh andai dia bisa mengemudikan mobil sendiri, tentu dia akan lebih sering mengunjungi pantai sendirian. Menikmati setiap deburan ombak yang berlomba menuju pantai. Menikmati setiap hembusan angin yang membelai wajahnya. Pengalaman lain untuk menikmati pantai.     

Disebelahnya, Troy sibuk menumpuk pasir, sengaja menutupi kaki Fenita dengan pasir. Ada perubahan yang terjadi pada diri Troy, dan itu adalah perubahan ke arah yang baik. Paling tidak itu yang dirasakan oleh Fenita. Laki-laki yang menjadi suaminya itu lebih banyak tersenyum meski hanya sekilas. Dan sorot matanya jauh lebih tenang dan damai dibandingkan beberapa saat yang lalu. Atau dibandingkan selama ini mereka kenal?     

"Apa yang kamu pikirkan?" suara Troy menyadarkan Fenita dari lamunannya.     

Betapa kagetnya Fenita ketika melihat Troy sudah duduk di depannya. Menduduki gundukan pasir yang menutupi kakinya. Pantas saja kaki Fenita terasa berat untuk digerakkan, ternyata ada bayi besar yang mendudukinya.     

"Nggak, cuma mikir gimana besok pas kulian disana." Fenita mencoba mengalihkan pikirannya.     

"Kalo berat, nggak usah nyari alesan. Aku aja yang pergi." ucapan itu terdengar begitu sedih. Seolah mengisyaratkan bahwa sebenarnya Troy yang ingin menjauh dari kehidupannya.     

"Nggak. Kamu diperlukan disini. Kalau aku, nggak akan ada yang nyari kalo aku pergi."     

Entah disengaja atau tidak, pandangan mereka bertemu. Apa ini pertama kalinya Fenita melihat kedua bola mata Troy? Meski warnanya hitam yang sama seperti kebanyakan orang, tapi warna itu serasa menyedot semua perhatiannya. Mata yang penuh kuasa dan juga ... Ah semuanya membuat Fenita semakin menggila.     

"Ayo kita makan siang. Aku lapar." akhirnyaTroy menyadarkan Fenita.     

Setelah membersihkan sisa pasir yang melekat di celana dan bajunya, Troy langsung melangkah menuju restoran terdekat, meninggalkan Fenita yang masih terkurung dalam gundukan pasir.     

...     

Ini adalah 'malam pertama' yang membuat jantung tak bisa berfungsi dengan normal. Secara teknis mereka memang sudah beberapa kali tidur bersama, tapi saat itu bisa dipastikan Troy sedang mabuk atau ada anggota keluarga lain yang menginap. Atau kadang saat mereka menginap di rumah sang mama.     

Dengan segala kecanggungannya, Fenita dan Troy malah duduk di pinggir tempat tidur dan tidak melakukan apapun. Persis seperti pasangan suami istri yang sedang bertengkar.     

Meski tubuh keduanya sangat kelelahan karena perjalanan panjang tadi, tapi keduanya tak juga merebahkan tubuhnya untuk istirahat.     

"Boleh aku tidur dulu?" akhirnya Fenita memecah keheningan.     

"Oh boleh. Duluan aja, aku masih ada kerjaan." jawab Troy sambil berdiri. Segera saja Troy mengambil laptop yang ada disisi kamar dan menyalakannya.     

Troy memilih duduk di balkon kamarnya, menikmati hembusan angin malam dan juga rembulan yang bersinar dengan terangnya. Dan ini untuk pertama kalinya, Troy tidak memikirkan Belle. Bahkan dia hampir lupa dengan nama itu.     

Mencuri pandang ke arah Fenita yang telah membaringkan tubuhnya di tempat tidur, membelakangi Troy. Setelah memikirkan beberapa hal, seketika dia dilanda perasaan takut. Tapi kali ini ketakutannya berbeda.     

Biasanya dia akan takut kalau-kalau menyakiti Fenita yang akhirnya Nyonya Darren akan marah besar dan menghukumnya. Itu biasanya. Berbeda kali ini. Dia merasa takut saat membayangkan Fenita akhirnya pergi untuk kuliah. Dia sendirian di rumah, siapa yang akan memasak sarapan dan makan malam untuknya? Siapa yang akan mencarikan baju yang dia sendiri bahkan tidak bisa menemukannya padahal ada di depan mata? Siapa yang akan mengantarkan barang-barangnya ke kantor kalau ketinggalan?     

Ah, betapa Troy selama ini sangat bergantung kepada Fenita sepenuhnya. Hanya dalam waktu satu tahun lebih, Troy sudah menggantungkan kehidupannya ditangan Fenita. Bahkan hal remeh tentang takaran gula untuk kopinya pun, Fenita yang mengurusinya dan selalu terasa tepat bagi Troy.     

Laptop yang sedari tadi menyala dipangkuannya seolah bukan hal menarik lagi bagi Troy. Bahkan dia belum melirik laptopnya sejak dinyalakan. Fokusnya kini hanya satu. Fenita. Istrinya.     

Memikirkan hal itu, Troy tergoda untuk mendekati Fenita dan memeluknya. Dia hanya ingin badan mungil itu merasa aman dan tentram di dalam pelukannya. Tersenyum bahagia hanya untuk Troy dan karena Troy.     

Meski banyak kebimbangan yang menggelayuti pikirannya, namun pada akhirnya Troy meletakkan laptopnya dan ikut merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Memeluk tubuh mungil istrinya dan mencium aroma tubuh itu. Kali ini wangi segar mint dipadukan dengan bunga-bunga yang menyegarkan pikiran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.