Pejuang Troy [END]

Tigapuluh dua



Tigapuluh dua

0"Kenapa kamu nggak langsung masuk aja?" Troy memandang istrinya dengan tatapan penasaran. Dan lagi, Fenita bisa saja meneleponnya, mengabarinya kalau dia datang. Kenapa harus menunggu?     
0

"Aku nggak mau ganggu kerja kami." jawabnya singkat.     

"Istriku yang kamu maksud dengan tamu tadi?" kini Troy berbalik ke Kiran.     

Kiran yang sudah tertunduk lesu menjadi semakin lesu karena tatapan sang bos yang menusuk. "Maaf, Sir, saya tidak tahu kalau beliau istri anda."     

"Kenapa kamu nggak tanya namanya atau hubungan dia atau keperluan dia? Sangat nggak sopan."Troy terus saja mencecar sekretaris barunya itu. Dan dari nadanya, rasanya akan sangat berat mempertahankan dia untuk tetap di posisinya.     

"Udah, nggak usah diperpanjang. Ayo kita masuk." Fenita berusaha menahan amarah suaminya. Agar sang sekretaris tidak perlu mendapat omelan lebih lanjut, atau bahkan sampai ke pemecatan.     

Meski terlihat marah, Troy segera mengikuti Fenita. Itu juga karena istrinya menarik tangannya untuk menjauh dari meja sekretarisnya itu.     

Setelah keduanya memasuki ruangan, Troy yang sudah sangat merindukan istrinya itu memeluk tubuh mungil Fenita. Ditambah lagi, tadi dia membiarkan istrinya menunggu di luar dengan tidak nyaman. Entah hanya perasaannya saja atau memang itu yang terjadi, tampaknya Fenita membalas pelukan Troy dengan lembut. Membuat Troy tak tahan untuk memandang mata bulat istrinya.     

Benar-benar mata yang mampu membius Troy seketika. Pandangan matanya yang jernih dan penuh kasih selalu mempunya tempat tersendiri di hati dan pikiran Troy. Dan juga bibir merah Fenita yang menggoda. Seolah menantang Troy untuk mencicipi bibir yang selalu mengeluarkan suara yang merindukan.     

Perlahan, Troy mendekatkan wajahnya, menuju ke arah bibir itu. Semakin mendekat, semakin degub jantungnya tak terkendali. Troy khawatir Fenita akan mendengar suara jantungnya yang semakin mendekat. Tapi dorongan untuk mencicipi bibir itu lebih besar ketimbang kekhawatirannya akan bunyi detak jantungnya. Ditambah lagi, Fenita sepertinya tidak keberatan dengan apa yang akan dilakukan oleh Troy.     

Dengan tatapan lembut, Fenita memandang Troy yang semakin mendekat. Jarak hanya tinggal satu centi lagi dan akhirnya Troy bisa mencicipi bibir itu. Terasa lembut dan hangat. Bibir yang selama ini hanya bisa dilihat oleh Troy. Ternyata begini rasanya. Oh sungguh...     

"Fe, ayo kita... "     

Seketika kedua manusia itu menjauhkan dirinya masing-masing. Terkejut mendengar suara yang familiar. Mama Vanesa Darren.     

"Maaf, Mama nggak tau kalian sedang 'sibuk'. Lanjutkan." lalu sang mama keluar ruangan dan menutup pintu.     

Damn, kalau bukan mamaku, paati udah aku cincang! Umpatan tertahan di hati Troy.     

Berbeda dengan fenita, gadis itu menundukkan wajahnya dan menyembunyikan rona merah pipinya. Benar-benar merah, seperti kepiting rebus. Troy yang mengetahui tingkah istrinya itu menjadi gemas. Langsung saja dipeluknya Fenita dan membenamkan wajahnya di pundak gadis itu.     

"Maaf, timing-nya nggak pas." ucap Troy penuh penyesalan.     

"A-aku keluar du-dulu." Fenita ingin langsung keluar, menjauhi Troy dan menenangkan dirinya, tapi sayangnya pelukan itu tidak juga meregang. Malah semakin kuat.     

"Sebentar lagi." terihat Troy enggan berpisah dengan perempuan yang kini sudah menaklukkan hatinya.     

Troy menyukain sifat Fenita yang penurut. Terlihat Fenita tidak lagi berusaha melepaskan pelukan Troy. Mungkin malah terbuai dalam pelukan itu.     

"Udah, nanti Mama kelamaan nunggu." Fenita menyadarkan troy.     

"Mama aja bisa sabar nunggu 30 tahun buat punya menantu. Masa sekarsng udah punya malah mau digangguin." selorohan itu terdengar menggelikan.     

"Mama sabar karena beliau mencari partner shopping yang tepat." kini perkataan Fenita tak mau kalah.     

...     

Rasa malu masih saja menggelayuti wajah Fenita ketika meninggalkan kantor Troy. Terlebih sekarang dia bersama mama mertuanya di dalam mobil, orang yang memergoki dirinya tengah melakukan hal yang tidak senonoh ditempat umum.     

Wait, hal yang tidak senonoh? Mereka kan pasangan suami istri yang sah. Bagaimana mungkin hal itu disebut sebagai hal yang tidak bermoral?     

"Maaf, Mama nggak tau kalau kalian lagi 'sibuk'." entah ini permintaan maaf yang keberapa yang diucapkan mama mertuanya itu.     

Jelas saja perkataan Madam Vanesa membuat Fenita semakin malu dan tidak nyaman. Apalagi beliau terus saja menekankan kata 'sibuk' yang terdengar seperti sindiran di telinga Fenita.     

"Mama, udah dong. Lupain aja." ucap Fenita malu-malu.     

Meski sedikit tidak nyaman, tapi Fenita tahu bahwa mama mertuanya itu tengah bahagia melihat kemajuan akan hubungannya dengan Troy. Begitu pun dengan dirinya, perjuangannya kini membuahkan hasil. Tapi satu hal yang disesalkan Fenita, kenapa dia mulai menjadi dekat dengan Troy saat dia akan berpisah?     

Tuhan selalu mempunyai rahasia-Nya sendiri untuk setiap makhluk yang ada di bumi. Ini adalah berkah lain yang Tuhan berikan, bahkan Tuhan dengan baiknya mengabulkan permintaan Fenita yang menginginkan kehidupan pernikahan yang bahagia. Dan kini Fenita masih mengeluh? Betapa tidak tahu diri bila dia tidak bersyukur.     

"Ayo kita berbelanja. Mama lagi seneng hari ini." kata Madam Vanesa sambil menggenggam tangan Fenita. "Aru, kita ke tempat biasanya."     

"Yes, Ma'am." ucap Aru yang hanya melirih dari kaca spion.     

Selama ini Fenita tidak pernah mengikuti kegiatan mama mertuanya. Terlebih untuk urusan berbelanja. Dan biasanya, Madam Vanesa hanya menyuruh Aru untuk memilihkan beberapa barang sesuai selera beliau dan akan dipilih sesuai yang disukai saat tinggal beberapa pilihan. Jadi belanja langsung seperti ini seperti bukan kebiasaan Madam Vanesa.     

Entah apa yang dibeli akan digunakan atau tidak, tampaknya mama mertuanya tidak memperhatikan. Yang beliau lakukan hanyalah mengambil baju-baju yang pertama kali tampak dihadapannya. Juga entah apakah sepatu itu akan muat di kaki beliau atau tidak.     

"Ma, apa ini nggak berlebihan?" tanya Fenita yang mulai khawatir karena Aru sepertinya mulai kewalahan membawa barang belanjaan mereka.     

"Nggak lah, buat apa berlebihan?" dengan entengnya Madam Vanesa menjawab.     

Bukan masalah uang yang di khawatirkan Fenita, tapi lebih ke apakah barang-barang yang dibelinya akan bermanfaat atau tidak. Rasanya terlalu sayang untuk membeli barang yang bahkan tidak akan disentuh atau digunakan.     

"Kita akan sumbangkan semuanya ke panti asuhan." Madam Vanesa tersenyum.     

Hal baru yang dipelajari Fenita sejak bergabung dengan keluarga Darren adalah jiwa sosial mereka yang membuat mereka selalu tampak berbeda dimata Fenita dibandingkan keluarga kaya lainnya. Mereka dermawan tanpa banyak perhitungan.     

Hampir makan malam ketika akhirnya sesi berbelanja itu berakhir. Kedua kaki Fenita terasa sangat lemas. Sepertinya dia tidak mampu untuk berjalan lagi. Dan pada akhirnya, dia hanya mampu mencapai ruang tengah dan langsung menjatuhkan diri di sofa terdekat.     

"Wah, sepertinya ada yang kelelahan setelah menghamburkan uang."     

Suara Troy membuat Fenita langsung terkesiap.     

"Aku sedikit menyesal menggunakan sepatu heels hari ini. Dan Mama sepertinya masih kuat berbelanja dan memborong seisi mall." Fenita berkata sambil memijit kakinya. Mungkin setelah merendamnya di air hangat, kakinya akan sedikit relaks.     

"Apa yang bisa kubantu?" Troy menawarkan diri. Ini diluar kebiasaannya.     

"Terima kasih. Aku hanya butuh mandi air hangat dan tidur."     

"Tunggu disini sebentar." lalu Troy meninggalkan Fenita yang masih memijit kakinya, keheranan.     

Tak berselang lama, Troy kembali ke bawah. "Air hangat udah siap, kalau kamu mau mandi."     

Fenita tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Seorang Troy Mikhaila menyiapkan air mandi untuknya? Pertama kalinya dalam hidup, Fenita mendengar hal ini. Dan itu sungguh manis.     

"Hah? Aku bisa siapin sendiri." Fenita merasa tidak enak hati. Dia tidak bermaksud untuk dilayani dengan berkata seperti itu tadi.     

"Suatu kehormatan bisa melayani anda, Ma'am." Troy membungkuk dan mencium tangam Fenita, seolah dia adalah abdi Fenita yang paling setia.     

Sungguh romantis.     

Dan mau tidak mau, Fenita menjadi luluh dan terharu. Dengan langkah ringan, Fenita menapaki tangga menuju kamar Troy, eh kamar mereka, dan segera mandi. Ah, betapa nikmatnya mandi yang tenang dan hangat ini. Semua ototnya yang kelelahan terasa mengendur, mengusir semua lelah di badannya.     

Waktu tak terasa sudah berlalu 30 menit saat Fenita menyadarinya. Ternyata dia sudah terlalu menikmati mandi sampai lupa diri. Begitu keluar, Fenita mendapati Troy sudah membaringkan tubuhnya di tempat tidur sambil membaca buku. Yang lebih menarik lagi, Troy mengenakan kacamata yang membuatnya terlihat makin keren.     

"Aku nggak pernah tahu kalau kamu menggunakan kacamata." ucap Fenita sambil melakukan rutinitasnya sebelum tidur. Mengaplikasikan beberapa produk kecantikan ke wajahnya.     

Mendongakkan kepalanya, Troy memandangi istrinya yang sedang duduk membelakanginya itu. "Aku nggak suka pake kacamata, tapi kali ini mataku capek banget, jadi harus pake kacamata."     

Begitu menyelesaikan rutinitasnya, Fenita berjalan ke tempat tidur, lalu memegang wajah suaminya. Mengamati sepasang mata Troy yang sedikit kemerahan. Niat hati ingin memeriksa mata Troy, Fenita malah terpesoda dengan mata indah itu. Begitupun dengan Troy.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.