Pejuang Troy [END]

Tiga puluh lima



Tiga puluh lima

0Perjalanan 11 jam yang menguras tenaga. Untungnya jarak dari bandara menuju rumah hanya memakan waktu sekitar 10 menit, dengan catatan lalu lintas tidak terlalu macet. Tapi itu cukup melegakan, karena hal yang paling diinginkan Fenita sekarang adalah mandi air hangat lalu tidur.     
0

Mandi air hangat. Seketika pemikirannya langsung tertuju kepada seseorang yang terpisah jarak ratusan kilometer di negeri seberang sana. Troy Mikhaila Darren.     

Ah, kenapa kepikiran dia hanya karena memikirkan mandi air hangat?     

Hal sepele namun berkesan pernah dilakukan laki-laki itu untuk Fenita. Iya, Troy pernah menyiapkan air hangat untuk mandi Fenita. Hal pertama dan terakhir yang menurutnya sangat bukan Troy.     

Lamunan Fenita terpecah saat mobil berhenti disebuah rumah berlantai dua yang indah. Cat putih bersih itu berpadu dengan hijaunya rumput dan daun disekitarnya. Membuat pemandangan ini sangat menyegarkan mata. Berbeda jauh dengan rumah yang dulu ditinggalinya dengan Troy.     

Ah, kenapa Troy lagi Troy lagi, pikir Fenita sebal. Karena meski sudah bertekad melupakan suaminya, eh mantan suaminya, selalu saja ada kenangan yang mengingatkannya tentang sosok pemuda itu.     

Di depan pintu, berdiri seorang lelaki paruh baya yang sepertinya menanti kedatangan tuannya.     

"Selamat siang, Tuan. Senang melihat anda kembali." ucap lelaki itu dengan sopan.     

"Selamat siang, Brendan. Senang melihat kamu sehat." balas Fritz. "Ini Freya."     

Tampak bahwa pria yang dipanggil Brendan itu terkejut mendengar nama yang sudah lama tidak disebut dirumah ini terdengar lagi. Setelah berhasil menguasai dirinya, dia segera menganggukkan kepalanya.     

"Selamat siang, Nona, selamat datang kembali."     

Fenita hanya menganggukkan kepalanya untuk membalas sapaan lelaki yang dipanggil Brendan oleh kakaknya.     

"Ini Brendan Harris kalau kamu tidak ingat." Fritz memperkenalkan, karena tampaknya Fenita sedikit bingung.     

"Selamat siang, Sir." akhirnya Fenita membalas sapaan itu.     

Tanpa banyak kata, ketiga orang itu lalu masuk ke dalam rumah. Dan ternyata di dalam rumah sudah berbaris dengan rapi para pelayan yang mengurusi rumah keluarga Mayer.     

"Selamat siang, Tuan." ucap mereka serentak.     

Fritz hanya menganggukkan kepalanya tanpa membalas salam mereka. Malahan, Fritz langsung mengajak Fenita menuju ke lantai dua dimana kamarnya berada.     

Kamar yang ditujukan untuk menjadi kamar Fenita terlihat mewah bernuansa putih ungu. Sebuah tempat tidur besar diletakkan di tengah kamar dimana disisi kiri ruangan terdapat lemari tiga pintu berlapis cermin. Disisi kanan, terdapat jendela tinggi dengan tirai yang juga berwarna ungu.     

"Dulu kamu suka warna putih dan ungu, jadilah kamar ini berwarna putih dan ungu." jelas Fritz, menjawab pertanyaan yang tak terucap Fenita.     

"Terasa familiar."     

"Istirahatlah, aku ada di kamar sebelah kalau butuh bantuan. Atau panggil Brendan." Fenita menganggukkan kepalanya.     

Sepeninggalan kakaknya, Fenita yang kini harus membiasakan diri dengan nama Freya, mulai mengitari kamarnya. Benar-benar kamar impian yang selama ini diinginkannya.     

Sedikit tersembunyi, ada sebuah pintu tinggi yang menuju balkon kamar. Perlahan Fenita membuka pintu dan mendapati halaman belakang yang cantik. Kolam renang bertingkat dengan suara gemericik air mengalir membuat suasana tenang. Ditambah lagi taman dan kebun bunga yang berwarna-warni memanjakan mata dengan berbagai warnanya.     

Tok tok tok.     

"Permisi, Miss, saya membawakan baju anda." suara itu membuyarkan lamunan Fenita.     

Fenita segera mencapai pintu kamarnya dan mempersilahkan pelayan itu masuk. Dengan cekatan dia memasukkan baju-baju Fenita dengan rapi. Tidak butuh lama, pekerjaannya selesai karena baju yang dibawanya hanya sedikit.     

"Panggil saja kami kalau anda membutuhkan bantuan, Miss." kata pelayan itu sebelum undur diri.     

"Terima kasih." balas Fenita dibarengi senyum.     

Setelah mandi air hangat dengan minyak aromatik, Fenita segera menuju meja dimana laptop terletak. Dia harus segera mengirim pesan kepada mertuanya.     

'Ma, Fenita udah sampai Canberra. Mama apa kabar? Troy apa kabar? Saat ini hanya bisa menghubungi lewat email karena belum punya ponsel pengganti sebelumnya. Salam sayang buat Troy. I love you Mama.'     

Pesan singkat lewat email itu terkirim dengan sukses ke email mama mertuanya. Memang untuk saat ini dia hanya bisa berkomunikasi dengan Madam Vanesa dengan email, sampai dia mendapatkan ponsel dan nomor barunya disini.     

...     

Digta menemani Troy makan malam. Kali ini hanya dia yang menemani karena hanya dialah sahabat Troy yang masih melajang.     

Layaknya orang yang patah hati, Troy lebih banyak melamun ketimbang berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Sangat terlihat kalau dia kehilangan. Tapi ada perbedaan antara kehilangan Belle dengan Fenita.     

Dulu Troy lebih banyak melampiaskan kesedihannya dengan minum-minum dan merokok, kali ini dia lebih banyak makan. Iya, Troy makan teratur sehari tiga kali padahal itu bukan kebiasaannya. Troy juga selalu tidur tak lebih dari jam 11 malam. Satu lagi, dia mulai aktif berolahraga, bahkan dia mengaktifkan kembali kepesertaannya di sebuah gym dekat kantornya. Saat weekend, dia akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di mall atau ke pasar.     

Iya, seorang Troy yang tak pernah ke pasar pada saat patah hati melampiaskan perasaannya untuk ke pasar. Bahkan dia berbelanja kebutuhan makannya lalu memasak sendiri, juga memakan sendiri hasil olahannya. Patah hati memang membuat orang lain berubah. Seorang Troy Mikhaila adalah buktinya.     

"Kenapa jadi rajin makan? Mau program penggemukan badan?" tanya Digta penasaran.     

"Fenita bilang buat jaga kesehatan. Ini salah satu cara menjaga kesehatan." jawab Troy sambil mengunyah steak mediumnya.     

"Iya, kamu sehat secara fisik tapi sakit secara mental." keluhan itu terasa tepat.     

Menurut Digta, Troy tak ubahnya sebuah robot. Atau zombie? Apapun itu sebutannya karena jiwanya kosong.     

"Mau minum wine?" pertanyaan Troy mengalihkan perhatian Digta.     

Belum sempat Digta menjawab pertanyaan Troy, seorang pelayan telah membawakan mereka sebotol red wine yang tampak menggiurkan. Setelah mendapatkan gelas berisi red wine-nya, mencium aroma wine lalu mencicipinya. Selera Troy memang tak pernah salah kalau soal minuman yang terbuat dari fermentasi anggur ini.     

Digta sangat menghargai momen meminum wine, dia selalu mencicipi sedikit demi sedikit untuk bisa merasakan setiap tetes yang dicecap lidahnya. Berbeda dengan Troy yang langsung menegak habis minumannya. Yah anggap saja itu obat pelipur patah hati.     

"Gimana caranya aku bisa nemuin Fenita?" ini pertanyaan yang selalu terlontar setiap kali bertemu dengan Troy.     

"Mudah. Temui saja si Mayer itu. Atau kamu bisa nyewa orang buat nemuin jejak Fenita." dan ini jawaban yang selalu diucapkan Digta untuk pertanyaan Troy.     

"Aku bahkan nggak tau dimana Mayer sekarang. Informanku bekerja lambat, dia butuh waktu beberapa tahun untuk bisa menemukan Belle waktu itu. Apa aku bisa bertahan selama itu?"     

"Come on, Dude, optimis. Nggak masalah berapa lama kalian akan bertemu, kalau kalian memang jodoh."     

Perkataan yang menarik perhatian Troy, 'kalau kalian memang jodoh' itu terasa menusuk hatinya. Bagaimana dengan Belle dulu? Dia bersabar dan sangat optimis kalau mereka berjodoh, tapi kenyataannya Belle malah menikah dengan si raja bisnis dari Inggris. Dan sekarang dia harus mempercayai kata-kata menyesatkan itu?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.