Pejuang Troy [END]

Tigapuluh tiga



Tigapuluh tiga

0Kedua mata Troy bertemu dengan mata bulat Fenita. Meski sudah sering melihat dan menatapnya dalam dua bulan terakhir ini, Troy masih saja terpesona dengan mata itu. Mata yang selalu memberinya semangat dan kasih sayang.     
0

Perlahan, Troy memajukan wajahnya. Bukan untuk menikmati bibir Fenita, tapi untuk mengecup sepasang mata yang selalu memberinya tatapan lembut penuh kasih sayang. Tanpa sorot mata itu, Troy tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta.     

Dasarnya sifat manusia yang selalu tak pernah puas, Troy meminta lebih dengan mencium bibir Fenita. Ciuman yang lembut dan penuh sayang. Ciuman yang awalnya perlahan, tapi kini berubah penuh dengan gairah. Lumatan demi lumatan menghujam bibir Fenita, membuat Troy semakin tak bisa mengendalikan diri.     

Ingin berhenti tapi merasa sayang meninggalkan bibir itu. Dan sepertinya Fenita tidak keberatan dengan apa yang dilakukan oleh Troy. Bahkan perlahan Fenita membuka mulutnya, membiarkan lidah Troy bermain dengan lidah Fenita. Ciuman yang makin panas terjadi, meski disela-selanya Fenita tampak menjaga jarak.     

"Maaf." Troy langsung menjaga jarak. Dia tidak mau melanggar batasan tanpa mendapatkan ijin dari Fenita.     

"Its okay." balas Fenita, menundukkan wajahnya dan segera mematikan lampu. "Aku tidur dulu."     

Dalam keheningan malam, Troy tak bisa memejamkan matanya. Bukan, kali ini bukan karena dia memikirkan Belle. Pikirannya dipenuhi oleh kejadian tadi. Bagaimana dia mencium Fenita dan keinginannya untuk memiliki fenita lebih banyak lagi.     

Troy langsung menyadarkan diri dan menyesali apa yang telah dilakukannya. Perasaan bersalahnya langsung menyergap pikirannya. Pernikahan yang terpaksa dilakukannya, perjanjian pranikahnya, niatannya untuk menceraikan Fenita setelah pernikahan ini berumur dua tahun. Juga tentang kejadian Fenita harus mengalami keguguran karena kesalahannya.     

Andai dia bisa lebih berpikir dewasa dan tidak dikuasai oleh cinta butanya kepada Belle, mungkin mereka akan menjadi keluarga yang bahagia. Oh, mungkin juga akan ada anak lucu yang menjadi pelengkap kehidupannya. Betapa pemikiran itu memenuhi otak Troy.     

Disampingnya, Fenita telah tertidur lelap. Sepertinya kegiatan istrinya tadi siang sangat menguras tenaganya. Yah, menemani mamanya berbelanja bukanlah perkara mudah. Aru saja bisa mengeluh, padahal dia sudah bekerja untuk mamanya lebih dari tujuh tahun. Apalagi Fenita yang baru mengenal mamanya seumur jagung.     

Bergerak sepelan mungkin, Troy berjalan menuju meja kerjanya. Dia membuka laci paling atas yang terkunci. Mengambil amplop coklat yang tergeletak di tumpukan berkas paling atas. Disana ada perjanjian pranikahnya dengan Fenita dan juga surat cerai yang sudah ditandatangani Fenita.     

Setelah memastikan Fenita tidak terbangun, Troy berjalan keluar, menuju halaman belakang rumah. Disana terdapat tong besi yang biasanya digunakan untuk membuat api unggun. Dengan mantap Troy membakar kedua berkas itu. Ini adalah awal dari hidupnya yang baru.     

Pemikiran itu sudah dipikirkannya dengan matang. Setelah kontrak pernikahannya selesai, Troy ingin melamar Fenita dengan layak. Mengadakan pernikahan ulang, mengucapkan janji setia sehidup semati. Juga menggelar pesta yang meriah dengan mengundang orang sebanyak mungkin. Agar semua orang mengetahui bahwa Troy Mikhaila Darren sekarang memiliki seorang istri yang bernama Fenita Miracle.     

Langkah pertama adalah membakar surat-surat yang penuh kesesatan itu. Langkah selanjutnya adalah mengungkapkan keinginannya kepada Mama dan Ibu yang ada di panti asuhan. Ibu yang sudah dianggap oleh Fenita sebagai pengganti ibu kandungnya. Lalu menyiapkan sebuah lamaran yang romantis.     

Waktunya hanya tinggal sedikit. Tak sampai seminggu sebelum Fenita berangkat untuk kuliah.     

Lalu bagaimana dengan dirinya setelah Fenita kuliah ke luar negeri? Itu bukan perkara yang sulit. Dia hanya perlu menunggu sampai Fenita menyelesaikan pendidikannya, lalu menikah ulang. Atau dia bisa menikah saat gadis itu liburan semester.     

Dan Troy bisa mengajukan pindah kerja atau mengerjakan semua pekerjaannya dari negara lain dimana Fenita kuliah. Masalahnya, sampai saat ini Troy masih belum mengetahui dimana istrinya akan mengambil kuliah. Bisa saja dia bertanya kepada Tuan Mayer, tapi dia tidak sedekat itu dengan beliau untuk bertanya.     

Apalagi dia adalah suami Fenita, bagaimana mungkin dia tidak mengetahui kemana istrinya akan kuliah. Itu sangat tidak lucu.     

...     

Hari keberangkatan Fenita tinggal menghitung jam. Semua keperluannya sudah disiapkan, hanya ada dua koper. Dan dia akan berangkat dengan ditemani kakaknya, Fritz Mayer. Bisa dibilang ini mudik bagi Fenita. Kembali ke kampung halamannya.     

Kakaknya sudah menunggu di luar rumah ketika Fenita mendapat telepon dari Troy.     

"Kamu masak apa untuk makan malam?"     

"Aku nggak ada niat masak. Gimana kalau kamu beli makan di luar?" kata Fenita. Berusaha menahan air matanya turun.     

"Oke. Apa yang pengen kamu makan?" tanya Troy lagi.     

"Apa aja, aku nggak keberatan."     

"Oke, kalau begitu seafood aja. Gimana?"     

"Oke." kali ini air mata tidak bisa ditahannya lagi. "Troy, maaf. Aku sangat menyayangimu."     

"Hei aku tau itu. Dan aku juga sangat menyayangimu."     

Lalu sambungan telepon dimatikan. Setelah menuliskan pesan perpisahan, Fenita keluar rumah. Dibantu oleh kakaknya, Fenita masuk ke mobil. Bersiap meninggalkan kehidupan yang penuh cerita di rumah ini. Juga meninggalkan suaminya. Yang sebentar lagi menjadi mantan suami, karena Troy sudah pasti akan langsung mengurus perceraian dirinya.     

"Kamu baik-baik aja?" suara Fritz membuyarkan lamunannya.     

Memberikan senyum terbaiknya, Fenita menatap kakaknya. "Berat, tapi aku harus pergi."     

"Aku menyesal dengan semua yang telah kamu lalui. Andai aku menemukanmu lebih cepat, tentu semua ini tidak akan pernah terjadi." terlihat raut wajah penuh penyesalan di wajah kakak lelaki Fenita.     

"Itu bukan salah Kakak. Aku cukup berterima kasih karena kakak masih berusaha mencariku. Setelah sekian tahun lamanya." Fenita menatap wajah kakaknya, yang sepintas memiliki mata yang sama dengannya.     

Sebelum menuju bandara, Fenita meminta kakaknya untuk mampir ke panti asuhan. Fenita ingin mengucapkan salam perpisahan kepada Ibu dan semua penghuni panti asuhan. Dan juga memohon doa restu agar semuanya berjalan lancar.     

"Ibu, terima kasih sudah merawat dan membesarkan anak asing ini. Semua kebaikan Ibu nggak akan pernah aku lupakan." dengan penuh haru Fenita berpamitan.     

Ibu yang sudah sehat memeluk Fenita dengan erat. Beliau merasa bahagia untuk Fenita karena telah menemukan keluarganya. Dan juga karena Fenita pada akhirnya akan mengenyam bangku kuliah, meski harus terlambat tiga tahun.     

"Maaf, Ibu tidak bisa memberikan penghidupan yang layak untuk kamu selama disini. Dan Ibu selalu berdoa agar semuanya berjalan lancar dan kamu bisa menjadi orang yang sukses dan berguna. Seperti apa yang selama ini kamu cita-citakan."     

Keduanya berpelukan dengan erat. Lalu Fenita juga berpamitan dengan Bu Dar, juga kepada adik-adik yang ada di panti.     

"Ibu, terima kasih karena sudah merawat adik saya." Fritz mencium tangan Ibu dan memeluknya. Tanpa campur tangan Ibu dan Tuhan, mungkin dia tidak akan pernah bertemu dengan adiknya lagi.     

Perjalanan dilanjutkan. Kakak beradik Mayer menuju bandara untuk mengejar penerbangan selanjutnya menuju tanah kelahiran keduanya. Canberra.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.