Pejuang Troy [END]

Tiga puluh delapan



Tiga puluh delapan

0Penerbangan kali ini lebih lama dibandingkan penerbangan pertama Fenita ke Canberra. Itu karena mereka harus transit selama lima jam sebelum penerbangan selanjutnya. Alhasil tubuhnya kini terasa sangat lelah.     
0

"Kamu pasti capek. Mandi dan istirahatlah." Fritz membelai kepala adiknya dengan penuh sayang. Fenita hanya menganggukkan kepalanya.     

Setelah adiknya memasuki kamar, Fritz segera masuk ke kamarnya sendiri. Merenungkan beberapa hal yang telah terjadi.     

Dia hanya ingin adiknya berbahagia. Itu adalah janjinya kepada kedua orangtuanya dulu saat mereka meninggal. Apapun akan dia lakukan untuk mewujudkan hal itu. Tapi kini dia ragu, apakah menjauhkan Freya dari Troy Darren adalah hal yang tepat?     

Meski beberapa bulan ini berjalan lancar, tapi Fritz bisa mengetahui bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh adiknya itu. Ada kekosongan yang bahkan tidak bisa diisi oleh seluruh perhatian yang dia berikan. Juga tatapan yang berbeda, yang sempat dilihatnya saat mengetahui bahwa Mr. Darren lah yang mengunjungi rumah mereka tadi. Tatapan itu belum pernah dilihatnya.     

Meski begitu, Fritz merasa tidak akan melonggarkan 'ikatan' untuk Freya. Dengan semua hal yang pernah dilakukan Troy kepada adiknya, dia tidak akan pernah membiarkan keluarga satu-satunya itu disakiti lagi. Tapi apa itu yang terbaik?     

"Mama Papa, apa yang aku lakukan ini udah benar?" tatapan mata Fritz menatap foto kedua orangtuanya. Satu-satunya foto dengan formasi lengkap.     

Frederik Mayer, Fransiska Mayer, Fidel Mayer, Fritz Mayer dan Freya Mayer. Foto keluarga itulah kenangan terakhir mereka sebelum keluarga itu berpisah. Yang sekarang hanya menyisakan dirinya dan Freya.     

Di kamar Fenita, perempuan itu sedang menatap layar laptopnya. Mengirim pesan kepada mama mertuanya. Meski hubungan keduanya terjalin dengan baik, Fenita masih belum memberitahukan kepada beliau bahwa dia sudah berpisah dengan putranya. Dia belum bisa melihat ada hati yang terluka karena keputusan bodoh yang dibuatnya beberapa tahun yang lalu.     

'Ma, aku baru balik dari Indonesia. Aku beberapa hari tinggal disana. Sebenarnya aku pengen mengunjungi Mama, tapi takut nanti ketemu Troy. Dia baik-baik aja, dan aku seneng melihatnya. Kami tak sengaja bertemu di restoran, yah nggak ketemu langsung sih. Liburan semester depan, aku sudah memutuskan untuk menemui Mama, karena aku kangen Mama. Nggak sabar nunggu liburan. I miss you, Ma.'     

Setelah mengirim pesan itu, Fenita segera menenggelamkan dirinya di bathub yang sudah dipenuhi busa dan semerbak lilin aromatik yang menenangkan. Dia hanya ingin menikmati hidupnya dengan baik dan mencapai keinginannya satu per satu. Dan dia sadar, untuk mencapai tujuah hidupnya akan ada banyak hal yang menjadi hambatan.     

Saat ini, hambatan terbesarnya adalah hati. Fenita masih memiliki ganjalan besar yang brlum bisa dia singkirkan. Apalagi kalau bukan tentang Troy. Mungkin dia akan merasa tenang saat melihat Troy bersanding dengan perempuan baik menggantikan dirinya. Trnang atau semakin membuat patah hati?     

...     

Menunggu bukanlah hal yang disukai Troy, tapi kali ini dia merelakan waktunya untuk menunggu kedatangan mamanya yang tengah menghadiri rapat dengan beberapa koleganya. Dan dengan patuhnya Troy duduk di rumah mamanya sambil menyibukkan diri dengan rencana petualangannya di Canberra.     

"Troy, tumben kamu kesini." Vanesa sedikit terkejut melihat putranya duduk di ruang tengahnya sambil mengutak-atik laptopnya.     

"Ada yang ingin aku sampaikan ke Mama." Troy meletakkan laptopnya, menatap mamanya. "Aku mau mengajukan cuti."     

"Cuti?" Vamesa mengerutkan keningnya.     

"Iya. Selama satu bulan penuh." ucap Troy dengan mantap.     

"Untuk apa kamu cuti selama itu? Apa ada hal yang ingin kamu kerjakan?" Vanesa tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.     

"Nggak. Aku cuma pengen liburan, berpetualang, mencari sesuatu yang bisa dilakukan untuk menenangkan pikiran." jawaban dibuat seklise mungkin. Menyembunyikan niat aslinya untuk mencari Fenita.     

Bisa dipahami maksud dari perkataan Troy, apalagi beberapa bulan ini menjadi bulan yang penuh drama untuk Troy. Terlebih dengan perpisahannya dengan Fenita. Vanesa menyadari itu dan memaklumi bila akhirnya Troy meminta cuti.     

"Kapan kamu mau mulai?"     

"Secepatnya. Minggu depan?"     

"Itu nggak mungkin, Sayang. Apa dalam satu minggu kamu bisa menyelesaikan pekerjaan sebelum kamu tinggal?"     

"Mama tinggal mengurus sisanya. Gimana?"     

"Bulan depan." Vanesa bertahan dengan keputusannya.     

Keduanya sedang tawar menawar untuk menentukan kapan waktu yang tepat bagi Troy untuk memulai cutinya.     

"Dua minggu." Troy mengakhiri perdebatan.     

"Oke. Tapi kalau ada pekerjaan yang belum beres, kamu harus standby untuk mengurusnya meski dari jarak jauh."     

Troy menganggukkan kepala dan mengulurkan tangannya, mengajak salaman mamanya sebagai bentuk tercapainya kesepakatan.     

Tunggu aku Fe, sebentar lagi kita pasti bertemu. Dengan wajah penuh kemenangan, Troy terjatuh dalam lamunan.     

...     

Karena sudah kembali ke keluarganya, Fenita mau tidak mau harus belajar berbisnis. Membantu sang kakak mengurusi apa yang ada di perusahaan. Yah meskipun saat ini dia baru sebatas mengamati bagaimana perusahaan berjalan, tapi ini langkah awal yang bisa dia ambil.     

Disela jam kuliahnya yang padat, Fenita meluangkan waktunya untuk mengunjungi kantor tempat kakaknya bekerja. Disana dia hanya akan melihat bagaimana kakaknya sibuk mengurusi dokumen dan berdiskusi untuk mengambil keputusan bagi perusahaan.     

Disis lain, Fritz yang mengamati antusias adiknya akan perusahaan, memutuskan untuk menyiapkan meja tersendiri bagi adiknya. Agar saat dia berusaha belajar, ada tempat khusus yang bisa dia tuju dan seolah merasakan suasana kerja yang sesungguhnya. Meski canggung, Fenita tetap antusias dengan apa yang direncanakan kakaknya.     

Seperti siang ini, Fenita datang ke kantor setelah jam kuliahnya usai. Karena semua staf sudah familar dengan wajah Fenita, mereka hanya menganggukkan salam ketika bertemu adik bosnya di lift maupun koridor. Itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Fenita.     

"Anda mau kopi atau teh, Miss?" tanya Anita, sang sekretaris kakaknya.     

"Nanti aja. Terima kasih." jawab Fenita sambil tersenyum manis.     

Ada banyak orang yang bisa dia mintai tolong untuk melakukan sesuatu untuknya, tapi Fenita lebih senang melakukan hal-hal kecil sendiri tanpa perlu meminta bantuan orang. Itu karena dia sudah terbiasa melakukan banyak hal sendiri. Dia akan canggung dilayani karena dia lah yang dulu melayani. Jiwa pelayan yang tidak berubah dalam dirinya.     

Ruangan yang disiapkan untuknya terletak disebelah ruangan kakaknya. Bahkan ruangan itu hanya disekat oleh kaca yang tidak terlalu tinggi. Tidak hanya itu, kaca sekatnya pun tidak full memisahkan. Ada beberapa bagian yang dapat diakses dengan mudah karena tidak ada pintu.     

Begitu mengeluarkan laptopnya, Fenita membuka email dan mengerjakan beberapa tugas kuliah. Disana dia juga membuka email, membaca resume yang baru saja dikirim oleh kakaknya. Juga terdapat email balasan Madam Vanesa.     

'Dear Fenita. Mama seneng kamu masih mau mengirimkan kabar kepada Mama ditengah kesibukan kuliah kamu. Kabar Mama dan Troy baik. Dan kamu tahu, Troy akan mengajukan cuti selama sebulan penuh dimulai dua minggu yang akan datang. Entah apa rencana dia kali ini. Mama berharap semoga kuliah kamu berjalan lancar, dan juga Mama nggak sabar menunggu liburan kamu datang.'     

Membaca balasan email dari Madam Vanesa membuat Fenita merasa senang. Sedikit banyak beliau telah menjadi orang tua bagi Fenita, sosok yang belum benar-benar dia rasakan. Meski ada Ibu, tapi Fenita tetap menginginkan sosok ibu yang di rindukan.     

Lalu Fenita mulai menyibukkan diri dengan tugas kuliahnya. Disela-sela kegiatannya, dia mencoba membaca beberapa dokumen yang sengaja dikirim kakaknya agar dia bisa mempelajari seluk beluk perusahaan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.