Pejuang Troy [END]

Empat puluh



Empat puluh

0Pencarian Troy dimulai dari kampus ke kampus. Beberapa kampus yang dia datangi ternyata tidak bisa memberikan data mahasiswanya secara sembarangan. Disaat ada kampus yang bisa memberikan informasi kepadanya, tidak ada mahasiswi yang terdaftar dengan nama Fenita Miracle. Padahal nama itu cukup jarang untuk digunakan disini.     
0

Jadi rencananya gagal untuk yang satu itu.     

Lalu ada rencana tambahan yang dia buat, mengunjungi kantor pusat Mayer Company untuk mencari tahu dimana rumah sang bos. Tapi Troy sedikit ragu. Dia takut hasilnya akan sama.     

"Ah coba aja dulu. Lagian ini masih minggu pertama disini, masih ada tiga minggu lagi." kata Troy, menyemangati dirinya sendiri.     

Dengan langkah ragu, Troy berjalan masuk ke gedung yang berlantai 20 ini. Dia sengaja berpakaian serapi mungkin layaknya rekan bisnis agar tidak mencurigakan. Di bagian resepsionis, dia menanyakan perihal Fritz Mayer.     

"Apa anda sudah membuat janji sebelumnya, Sir?" tanya sang resepsionis.     

"Belum. Aku kesini ingin membuat janji untuk bertemu beliau." jawab Troy tak kalah ramah.     

"Kalau begitu, anda bisa langsung menghubungi sekretaris beliau langsung untuk membuat janji."     

Sial, ternyata dia lebih sulit ditembus, batin Troy yang mendapati bahwa sang resepsionis tidak juga meloloskan permintaannya.     

"Baiklah, aku akan menghubungi sekretaris beliau. Terima kasih." dan Troy pun meninggalkan gedung itu.     

Mengamati orang-orang yang berlalu lalang, Troy mencoba memusatkan perhatiannya. Berusaha mencari sosok yang familiar diantara sekian banyak orang asing. Siapa tahu ini hari keberuntungannya sehingga dia secara tidak sengaja bertemu dengan Tuan Mayer, atau Fenita.     

Dengan langkah lesu, Troy berjalan menyusuri taman yang ada di sekitar gedung itu. Suasana tampak asri. Dalam pikirannya, dia ingin lingkungan tempat kerjanya seperti ini. Memiliki taman yang hijau yang bisa digunakan untuk berdiskusi, suasana lain untuk bekerja.     

Dan disanalah dia pada akhirnya bisa melihat sosok yang familiar dimatanya. Fritz Mayer dan Fenita Miracle. Keduanya sedang masuk ke dalam mobil yang entah menuju kemana. Dengan sigapnya Troy menghentikan taksi dan segera mengikuti mobil itu. Sang sopir awalnya curiga, tapi dia tidak akan berkomentar sebelum mendapatkan bukti yang memberatkan penumpangnya itu sebelum melaporkan kepada polisi.     

Iya, sekarang banyak cara digunakan untuk mendapatkan uang. Salah satunya dengan penculikan dan pemerasan. Aksi kejahatan itu marak digunakan dengan menargetkan orang-orang kaya.     

"Keep the change." kata Troy lalu keluar dari taksi.     

Universitas Nasional Australia.     

"Jadi kamu kuliah disini ya, Fe?" gumam Troy sambil mengamati gadisnya dari jauh.     

Tampak disana Fenita bertemu dengan seorang perempuan lain, dia memulas wajahnya dengan senyum. Hal yang sangat jarang terlihat saat Fenita bersama dengan dirinya dulu. Dan senyum itu ternyata mampu membuat Troy hilang akal sehatnya. Karena senyum itulah yang dia rindukan selama ini.     

Masih mengamati dari jauh, Troy mulai memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk bisa bertemu dan berbicara dengan Troy. Dia harus meluruskan apa yang menjadi masalah diantara mereka. Juga memberitahu Fenita bahwa dia masih menjadi istrinya. Troy tidak pernah mengajukan perceraian mereka ke pengadilan.     

Pada akhirnya Troy mengikuti gadis itu selama beberapa hari. Dari rumahnya yang mewah ke kantor Mayer Conpany. Dari rumah ke kampus. Setelah seminggu mengikuti, Troy hampir hapal jadwal Fenita, dan juga kapan saja gadis itu akan bepergian sendiri atau bersama dengan Fritz Mayer.     

Pertanyaan terbesar Troy sekarang adalah, apa Fenita sekarang menjadi Mrs. Mayer atau bagaimana? Kenapa keduanya tinggal bersama sekarang?     

...     

Entah hanya perasaannya saja atau memang benar adanya, Fenita merasa belakangan ini ada yang mengikutinya. Dan juga memperhatiakan. Seolah ada stalker yang membuntutinya.     

Beberapa kali dia seperti menangkap bayang hitam yang berdiri di belakangnya. Membuatnya merasa tidak aman. Tapi dia tidak tahu harus bagaimana karena belum ada bukti. Dan dia juga tidak mau membuat Fritz dan Jovita khawatir. Bisa saja kan dia hanya berhalusinasi?     

"Kamu mikirin apa sih?" Jovita penasaran. Sahabatnya itu tampaknya sedang memikirkan sesuatu.     

"Hah? Nggak kok. Kenapa?" Fenita membalas dengan bertanya.     

"Ada yang sedang kamu sukai?" pertanyaan itu terlontar begitu saja.     

Sudah dua semester mereka kuliah. Dan diantara keduanya tidak pernah ada yang membahas tentang sosok laki-laki idaman untuk menjadi pacar. Memang beberapa kali ada pembicaraan yang mengarah kesana, tapi baik Fenita maupun Jovita tak pernah benar-benar serius dengan pembicaraan itu.     

Dan untuk Fenita pribadi, dia masih belum bisa melepaskan bayangan mantan suaminya dan mengganti dengan sosok lelaki lain. Terlebih, Fenita merasa minder karena dia bukan perempuan yang perawan. Bahkan Fenita telah mengalami hamil meski pada akhirnya keguguran.     

Memang di jaman yang sekarang ini, keperawanan bukan hal yang dijunjung tinggi bagi sebagian orang, terlebih di negara maju seperti Australia. Tapi Fenita tetap merasa minder bila suatu saat orang lain mengetahui rahasianya itu. Itu seperti aib yang akan selalu mencoreng namanya.     

"Aku masih belum move on dari yang kemarin." jawab Fenita singkat.     

Dia pernah menceritakan kisah asmaranya kepada Jovita. Hanya garis besar dan yang perlu diketahui sahabatnya itu saja. Karena dia masih belum tahu seperti apa sifat dan kelakuan Jovita. Bukan berprasangka buruk, tapi lebih ke menjaga rahasianya untuk privasi.     

"Entah apa yang membuat kamu belum bisa melupakan dia. Tapi aku berharap kamu bisa bertemu dengan orang yang lebih baik lagi kedepannya. Dan lagi, kalo jodoh nggak akan kemana kok. Tenang aja." semangat Jovita menular kepada Fenita. Inilah yang membuat Fenita menyukai sahabatnya. Semangat yang dia miliki akan dia salurkan kepada teman-temannya.     

Perlahan Fenita mengulurkan ponselnya kepada Jovita. Disana ada foto laki-laki tampan yang dijadikan wallpaper ponselnya. Foto itu diambil saat keduanya sedang berlibur di pantai.     

"Entahlah, aku juga selalu berdoa yang terbaik buat kami. Dan seperti katamu, kalau jodoh emang nggak akan kemana." ucap Fenita penuh pengharapan.     

"Dia ganteng." Jovita mengamati foto itu, memiringkan dan mengamati dengan seksama. "Kayanya aku pernah liat dia. Tapi dimana ya?"     

Mendengar ucapan sahabatnya, Fenita sedikit heran. Bagaimana mereka pernah bertemu? Apa Troy orang yang sangat terkenal sampai ke manca negara?     

"Dimana?" Fenita berusaha menekan suara antusiasnya.     

"Entah, aku nggak inget. Apa dia artis?"     

"Bukan, dia seorang CEO."     

"Woah, selera orang kaya memang harus selevel ya." terdengar Jovita terkagum-kagum mengetahui siapa lelaki yang disukai sahabatnya.     

Iya, anak orang kaya memang harus mencari pasangan yang selevel dengan mereka. Agar tidak ada ketimpangan sosial yang terjadi, juga agar mereka cocok untuk mencari topik pembicaraan. Apalah daya bila dibandingkan dengan dirinya yang hanya anak seorang pemilik restoran kecil di pinggir kota Perth. Meski begitu, Jovita tetap bersyukur memiliki kekuarga yang sayang padanya dan bisa membiayai kuliah.     

"Nggak. Aku nggak sengaja ketemu dia. Dan lagi, level sosial tidak akan menjadi halangan kalau saling mencintai. Iya kan?" ucap Fenita penuh kebijaksanaan.     

Karena jadwal kuliah yang berbeda, kedua sahabat itu berpisah setelah jam tiga sore. Jovita masih ada satu kelas lagi, sedangkan Fenita sudah menyelesaikan jadwal kuliahnya untuk hari itu. Dengan langkah ringannya, Fenita berjalan menyusuri trotoar untuk menuju halte bus terdekat. Hari ini Fritz tidak bisa menjemputnya karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Dan Fenita sengaja menyuruh sopir yang akan menjemputnya untuk beristirahat selama tugasnya hari itu.     

Menunggu bus datang, Fenita mengabari kakaknya bahwa dia sedang dalam perjalanan pulang. Tapi Fenita sengaja tidak memberitahukan kalau dia menggunakan bus untuk pulang. Bisa-bisa kakaknya langsung datang untuk menjemput Fenita. Entah apa alasannya, Fritz tidak pernah suka bisa dirinya menggunakan transportasi umum untuk bepergian.     

Begitu bus datang, Fenita segera naik. Tak disangka, ada satu orang lagi yang memaksa untuk naik dibelakang Fenita padahal pintu bus hampir tetutup rapat. Dan terlihat bahwa orang itu mencurigakan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.