Pejuang Troy [END]

Empat puluh enam



Empat puluh enam

0Seharusnya hari ini Troy menghadiri rapat internal perusahaan, tapi karena sedang tidak mood, akhirnya Troy mengutus Mr. Khan untuk menggantikannya.     
0

Pada akhirnya Troy memilih untuk melewatkan pagi dengan jogging, melepaskan ketegangan ototnya karena terlalu memikirkan banyak hal dalam waktu yang bersamaan. Setelah jogging mengitari daerah sekitar apartemennya, Troy memutuskan untuk ke kampus. Meskipun hari ini dia tidak ada jadwal mengajar. Membayangkan bagaimana dia akan dengan puas memandangi Fenita dari jauh, membuat Troy bersemangat. Segala rupa mood buruknya seketika lenyap. Memang, orang yang dicintai adalah mood booster yang paling mujarab.     

Perlahan namun pasti, Troy mengendarai mobilnya menuju kampus. Suasana hatinya kembali membaik setelah melihat sesosok yang dirindukannya. Siapa lagi kalau bukan Fenita Miracle.     

Dari kejauhan, Troy mengamati Fenita yang sedang sibuk berceloteh riang. Sesekali dia akan tertawa riang menganggapi ocehan sahabatnya. Dua minggu ini, pusat kehidupan Troy adalah Fenita. Setiap gerak gerik Fenita selalu menjadi perhatian khusus Troy.     

Sebuah kenyataan menampar hatinya. Fenita dengan ringannya tersenyum dan tertawa saat dia malahberada jauh dari sisi Troy. Berbeda dengan Fenita yang beberapa tahun berada disisinya. Untuk melihat sesimpul senyum itu rasanya harus melakukan usaha ekstra. Kenyataan itu menyadarkan Troy bahwa Fenita lebih bahagia berada jauh dari dirinya.     

"Mr. Darren, anda disini?" suara seorang mahasiswi menyadarkan Troy dari lamunannya.     

"Oh, iya. Aku ada urusan dengan bagian akademik. Ada yang bisa dibantu?" Troy bertanya dengan ramah, berusaha mengalihkan pandangannya dari perempuan yang sedari tadi menarik perhatiannya.     

"Apa ketua kelas sudah memberitahu anda soal kelas pengganti?"     

"Ya, Miss Mayer sudah memberitahuku semalam. Ada masalah?"     

"Nggak. Aku hanya ingin memastikan."     

"Oh baiklah. Jangan sampai terlambat. Akan ada pengumuman penting nanti." ucap Troy sembari merapikan jasnya.     

"Baik kalau begitu. Terima kasih, Mr. Darren."     

Rasanya sedikit menyebalkan harus beramah tamah dengan orang asing, tapi ini memang sudah menjadi bagian dari pekerjaan. Jadi Troy harus bisa menahan diri. Iya, bahkah sebelum dia menjadi dosen, beramah tamah sudah menjadi bagian dari pekerjaannya. Waktu yang sudah dia habiskan untuk melatih kesopanan adalah 12 tahun. Selama itu dia berkecimpung di dunia bisnis.     

Oh kembali ke kesibukannya sebelum diinterupsi, mengamati istrinya.     

Masih disana, masih berbincang dengan sahabatnya. Tapi pandangan Fenita mengarah padanya. Membuat Troy kaget dan salah tingkah. Dengan cepat Troy menguasai dirinya. Setelah menganggukkan kepalanya dan memberikan senyum terbaiknya kepada Fenita, Troy langsung melarikan diri menuju ruangannya.     

...     

"Fe, kayanya aku udah pernah liat Mr. Darren. Tapi dimana ya?" Jovita berpikir dengan keras.     

"Jo, udah menjadi kebiasaan kalau kamu ketemu orang baru pasti ngomong gitu." Fenita memutar bola matanya, merasa bosan mendengar perkataan Jovita.     

Tapi memang benar, ssetiap kali bertemu orang yang berwajah tampan atau atletis atau kaya, Jovita akan berkata kalau dia seperti pernah bertemu dengan orang itu. Entah itu kebiasaan Jovita atau apa, tapi yang jelas Fenita bosan mendengarnya.     

"Iya kah?" Jovita malah menopang dagunya dengan tangan. "Tapi beneran Freya, Mr. Darren nggak asing. Dimana aku pernah melihatnya?"     

Fenita tidak menanggapi sahabatnya itu dan terus melanjutkan kerjanya. Dia harus membuat laporan untuk tugas kuliah selanjutnya. Ah, juga jurnal yang baru saja dikirimkan oleh kakaknya. Harus dianalisis dan segera dilaporkan hasilnya kepada Fritz secepat mungkin. Diakui Fenita, kuliah sambil bekerja memang tidak mudah. Untung saja dia tidak menjadi karyawan di perusahaan, kalau iya, bisa pecah kepalanya karena harus membagi waktu dan pikirannya untuk dua hal yang berat ini.     

"AHA!!" hampir saja Fenita menjatuhkan laptopnya, disampingnya, Jovita dengan semangat menjentikkan jatinya. "Akhirnya aku ingat dimana pernah melihat beliau."     

Jovita dengan cepat mengambil ponsel Fenita yang tergeletak di meja. Menekan tombol power dan memperlihatkan wallpaper yang ada di ponsel Fenita.     

"Ini. Ini orang yang sama kan?" tatapan penuh semangat tergambar jelas di mata Jovita.     

Yah, Freya memang orang yang tertutup. Dia harus bersabar untuk mendengar semua cerita sahabatnya itu melalui mulutnya sendiri tanpa paksaan. Bahkan terkadang Fritz menanyakan keseharian adiknya itu kepada Jovita. Terlihat Freya kaget dan segera merebut ponselnya dari tangan Jovita. Perubahan raut wajah Freya membuat Jovita merasa tidak nyaman, menandakan bahwa dia sudah terlalu jauh ke ranah privasinya.     

"Maaf, aku hanya terlalu bersemangat karena berhasil mengingat sesuatu. Kamu tahu sendiri, aku orangnya pelupa parah." ucap Jovita sambil mengutuk dalam hati.     

Seharusnya dia tidak berusaha mengingat siapa Mr. Darren kalau pada akhirnya hanya akan membuat sahabatnya menjadi sedih. Jovita merasa banyak berhutang budi kepada Freya. Juga kepada keluarganya.     

Ketika pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Freya, Jovita tak pernah menyangka bahwa gadis sederhana ini adalah salah satu pewaris perusahaan besar yang ada di Australia. Dia tidak pernah menyangka akan memiliki teman yang kaya raya. Sempat terpikir untuk menjauh dari Freya karena status sosial yang terpaut jauh, tapi dengan semua kerendahan hatinya Freya membuktikan bahwa dia tidak mempedulikan berbedaan status sosial.     

Bahkan dengan baik hatinya Freya membantu Jovita untuk bertahan hidup. Saat usaha kedua orangtuanya sedang lesu, Freya tanpa pamrih menolongnya. Selalu mengajak makan siang dan juga mengajaknya ke rumah megah keluarga Mayer. Freya dan kakaknya menerima Jovita tanpa pandangan aneh ataupun meremehkan.     

Dan sekarang Jovita hanya ingin menjadi sahabat bagi Freya. Orang yang akan ditujuFreya ketika gadis itu mengalami masalah ataupun lainnya. Memang Freya perlahan menceritakan kehidupan pribadinya, tapi masih ada tembok yang membuat gadis itu menahan diri.     

"Maaf." hanya itu yang terdengar dari mulut Freya. Membuat Jovita merasa makin bersalah.     

"No, Fe, ini salahku. Maaf sudah mengusik kehidupan pribadi kamu."     

"Tolong rahasiakan ini dari siapapun, termasuk kakakku. Aku nggak mau ada perselisihan atau apapun itu."     

Jovita hanya mampu menganggukkan kepalanya. Berjanji dengan sepenuh hati bahwa rahasia seorang Freya Mayer akan aman berada di mulutnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.