Pejuang Troy [END]

Empat puluh sembilan



Empat puluh sembilan

0Selama perjalanan menuju rumah, Fenita tidak bisa membendung air matanya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena air matanya mengalir begitu saja. Tanpa permisi, tanpa minta ijin, terus mengalir membasahi pipinya. Sebelum memasuki rumah, Fenita menghapus sisa-sisa air mata yang ada di wajahnya. Dia tidak mau ada orang lain yang tahu bahwa dia baru saja menangis. Satu hal lagi, dia juga tidak mau ada orang rumah yang tahu dan pada akhirnya melaporkan kepada laki-lakinya. Itu sangat berbahaya.     
0

Setelah masuk ke rumah, Fenita langsung menuju kamarnya. Tanpa memberi salam ataupun senyuman kepada siapa saja yang ditemuinya. Bahkan Fenita... Tunggu, kenapa masih saja Fenita Fenita dan Fenita?     

Jelas-jelas dia sudah berganti nama menjadi Freya, tapi kenapa nama itu masih saja terucap dibenaknya? Oke, mulai detik ini tidak akan ada yang memanggilnya dengan nama itu. Meski dia menyukai nama itu, tapi sejatinya nama Freya adalah nama lahirnya. Nama yang khusus diberikan oleh orangtuanya untuk dia. Freya Clarissa Mayer!     

Di dalam kamar, Freya mulai menangis. Beruntung sekali memiliki kamar yang memiliki peredam suara, sehingga tidak akan ada orang yang mendengar suara tangisannya dari luar. Meski dia berteriak dengan kencangnya, atau bahkan memecahkan barang yang ada di dalam kamarnya.     

"Kenapa kamu harus muncul? Apa selama ini belum cukup kamu nyiksa aku? Aku udah ngalah, nurutin semua mau kamu, apa lagi yang kamu inginkan? Dan apa maksudnya kita masih suami istri? Jelas-jelas kamu sendiri yang bilang bahwa setelah kontrak itu berakhir, kita akan berpisah."     

Freya meluapkan apa yang ada di hatinya. Segala macam pemikiran dan pertanyaan yang selama ini hanya bisa dia simpan di dalam hati mengalir begitu saja.     

Dua tahun memang bukan waktu yang singkat, tapi dua tahun juga bukan waktu yang lama. Dan bagi seorang Freya, waktu dua tahun dirasa kurang untuk bisa melupakan sosok lelaki yang sudah mengisi hatinya. Meski laki-laki itu tidak membalas perasaannya. Meski laki-laki itu memilih perempuan lain. Meski karena laki-laki itu Freya harus menderita.     

Berbagai cara dilakukan untuk bisa menghapus memori tentang dia. Memutus kontak dengan orang-orang disekitarnya, menjauh dari kehidupannya. Bahkan menyibukkan diri dengan berbagai kesibukan dilakukan demi otaknya tidak mendamba orang yang tidak boleh dia rindukan.     

Dalam keheningan kamar ini Freya meluapkan segala kesedihannya. Menangis lama hingga berharap air matanya kering. Bertingkah seolah dia adalah orang paling malang di dunia. Menangis hingga kelelahan dan akhirnya tertidur.     

Ketika terbangun, Freya menyadari bahwa hari sudah gelap. Setelah bisa bangun dan benar-benar sadar, Freya segera mencuci muka. Dia harus turun untuk menemui kakaknya. Biar bagaimanapun suasana hatinya, kakak yang selama ini menemani tidak boleh diabaikan. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.     

Di ruang makan kosong. Hanya ada seorang asisten yang sedang menyelesaikan tugasnya.     

"Anda mau makan malam, Miss?" tanyanya ketika melihat Freya mendekati meja makan yang kosong.     

"Nggak sekarang." jawab Freya lemah. "Apa kakakku sudah pulang?"     

"Belum. Beliau pergi dengan Mr. Harris tadi sore."     

Kemana mereka pergi?     

Freya segera mengecek ponselnya, berharap Fritz mengiriminya pesan.     

'Freya, aku ada pekerjaan dadakan yang harus diurus untuk beberapa hari kedepan. Baik-baik disana. See you soon.'     

Oke, sekarang dia sendiri. Padahal malam ini dia sangat ingin ditemani ngobrol dan melewatkan malam dengan beberapa gelas wine. Atau melakukan apa saja asalkan itu membuat pikirannya menjadi ringan.     

Sebuah ide muncul dibenaknya. Tanpa basa basi, dia segera kembali ke kamarnya dan mengganti baju. Tampak sedikit aneh karena Freya mengenakan coat panjang di musim panas ini, tapi dia harus memakai coat itu karena dia sendiri merasa tidak nyaman dengan baju yang dia kenakan. Entah apa yang merasukinya, dia rasanya benar-benar ingin melepaskan semua beban pikiranya. Dan mungkin beberapa minuman dan dansa akan membuat dia merasa ringan.     

...     

Troy sudah bersiap untuk tidur ketika ponselnya berdering. Ini sudah pukul dua pagi disini, dan siapa yang nekat meneleponnya sepagi ini?     

Ketika mengamati nama yang tertera di layar, tanpa ragu Troy langsung mengangkatnya.     

"Halo?"     

"Aku ganggu tidur kamu? Aku harap aku mengganggu. Karena aku ingin jadi penganggu." suara itu terdengar aneh. Apa dia berbicara sambil menangis?     

"Kamu dimana?"     

"Buat apa kamu tanya?"     

"Lebih seru kalo minum berdua ketimbang sendiri."     

Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Troy sedikit panik.     

Uhuk uhuk uhuk.     

"Aku tunggu di bundaran. Kalau 5 menit nggak sampai, kamu akan menyesalinya." lalu panggilan itu terputus.     

Troy yang sebenarnya sudah mengantuk segera mengabaikan rasa kantuknya. Dengan sekali lompatan, Troy sudah bangun dan mengambil kuncinya. Dia harus segera sampai di bundaran yang dimaksud hanya dalam waktu 5 menit? Ini gila. Bahkan untuk keluar dari apartemennya saja dia butuh waktu 5 menit, belum perjalanan dari apartemennya ke bundaran. Minimal dia harus melewatkan waktu 20 menit.     

Setelah memarkirkan mobilnya, Troy mengitari bundaran dengan panik. Mengamati setiap orang yang lewat untuk mencari wajah yang familiar. Seharusnya dia akan mudah menemukan orang itu karena di jam 2 pagi tidak banyak orang berlalu lalang. Kepalanya mengitari taman beberapa kali, lalu dia melihat sosok yang dicarinya.     

Dulu Troy merasa minder dengan tinggi badannya yang menjulang, juga kakinya yang panjang. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup Troy bersyukur mendapat anugerah itu. Panjang kaki Troy membuat dia bisa mengambil langkah panjang untuk segera sampai ke tempat tujuannya. Tempat dimana gadis itu terduduk lesu di depan monumen.     

"Kamu kenapa?" Troy segera mengangkat wajah gadis itu.     

Terlihat semburat merah di pipi dan bau alkohol yang menyengat. Ya ampun, apa sejak tinggal disini istrinya sudah terbiasa dengan minuman keras? Seharusnya Fritz lebih menjaga perempuan itu, tidak membiarkan mabuk dan berkeliaran tanpa pengawasan.     

"Ini lebih dari lima menit. You'll get a punishment!" Freya berusaha bangkit dari duduknya, tapi karena kondisinya sudah mabuk berat, dia tidak bisa berdiri dengan tegak.     

Melingkarkan tangannya di pinggang Freya dan membimbing ke mobil, Troy bertanya-tanya apa penyebab seorang gadis polos membiarkan dirinya terkontaminasi minuman beralkohol?     

Di dalam mobil, Troy tidak segera menyalakan mobilnya. Disaat seperti ini dia malah merasa bimbang, kemana dia akan membawa perempuan itu? Mengantarnya pulang memang ide yang terbaik, tapi bila mengingat dia harus menjelaskan panjang lebar kepada sang kepala pelayan dan juga Tuan Mayer, tampaknya itu bukan ide yang bagus. Tapi kalau dia membawanya ke apartemen, apa Fenita akan menerima penjelasannya? Salah-salah dia malah akan dituntut dengan kasus penculikan. Tapi kalau tetap di dalam mobil, sepertinya tidak akan bagus juga.     

"Bodo amat lah. Pikirin nanti aja resikonya."     

Beruntungnya Fenita tidak melakukan tindakan bodoh selama perjalanan. Dia hanya duduk dengan tenang di kursinya dan sesekali menatap Troy. Membuat lelaki itu gugup karena sebuah tatapan dari seorang perempuan yang tengah mabuk. Begitu sampai di apartemennya, Troy segera membawa masuk Fenita dan mendudukkannya di sofa.     

Merasa kasihan, Troy berbaik hati mengambilkan minuman agar Fenita merasa lebih baik. Tapi baru sampai di pintu kulkas, dia mendengar suara yang sangat memilukan. Disana, di sofa, Fenita memuntahkan semua isi perutnya. Noda muntahan mengotori baju yang dikenakannya, juga karpet dan sofanya.     

Troy ingin mengumpat keras dan memarahi Fenita, tapi dia segera menyadari sesuatu. Dulu, saat mereka masih tinggal bersama dan Troy terkadang pulang dalam keadaan mabuk, mungkin dia juga muntah disembarang tempat. Tapi Fenita tidak pernah mengeluh dengan perbuatannya. Bahkan saat dia mengingat apa yang telah dilakukannya pada malam sebelumnya dan merasa jijik sendiri, Fenita tetap tidak berkomentar ataupun marah. Sekarang pun mungkin dia harus bertindak seperti itu.     

Perlahan dan lembut, Troy membersihkan lantai dan coat Fenita. Lalu ke baju yang dikenakan gadis itu. Entah siapa yang membelikan gadis itu baju seperti itu, melihatnya saja Troy merasakan godaan yang sangat besar. Gaun putih yang mini dan bermotif seperti nanas itu membalut tubuh Fenita yang mungil. Mungkin gaun itu akan melorot turun kalau tidak ditahan oleh dua buat tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ah, betapa pemandangan di depannya begitu indah.     

"Sadar Troy, ini bukan waktunya berpikir yang iya-iya." Troy langsung menampar kedua pipinya agar tidak tergoda.     

Oke, setelah ini dia harus membangunkan Fenita untuk ganti baju. Tidak mungkin dia akan tidur dengan baju kotor yang terkena muntahannya kan? Apalagi ditambah rasa lengket.     

"Fe, bangun. Ayo ganti baju." menggoyangkan tubuh Fenita dengan perlahan, Troy berusaha membangunkannya.     

Yah bisa saja Troy langsung melucuti pakaian Fenita, tapi itu bukan hal yang tepat dilakukan. Meski sedang dalam mabuk, dia tetap harus menjalankan prosedur kesopanan. Kecuali Fenita yang menyuruhnya untuk menggantikannya baju. Hal itu tidak akan pernah ditolak oleh Troy.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.