Pejuang Troy [END]

Satu



Satu

Lantai bergetar karena suara musik yang bergemuruh. Sang DJ memainkan musik yang membuat para pengunjung bersemangat untuk melewatkan malam. Sebagian orang menari, meluapkan ekpresinya di lantai dansa, sebagian lagi menikmati minuman di meja bar dan meja-meja lain yang tersedia. Semakin malam, suasana makin hidup. Semakin banyak pula yang menikmati hiburan malam ini dengan riang dan penuh semangat.     

Di ruang VIP, duduk beberapa pria dengan setelan jas mahal mereka. Dua pria yang duduk di sisi kanan dan kiri tengah sibuk berbincang dengan para perempuan yang menemani mereka minum. Di ujungnya, hanya pria itu sendiri tanpa ditemani perempuan seperti kedua temannya. Menikmati minuman yang sedari tadi menemaninya. Entah gelas yang keberapa, dia sendiri lupa.     

"Apa kamu sudah tidak tertarik dengan perempuan?" pria dengan berjas putih itu bertanya.     

Melirikkan matanya, pria diujung yang sendiri itu hanya diam saja diberi pertanyaan sindiran seperti itu.     

"Come on, Troy, nikmati hidup yang hanya sekali ini." Pria lain yang berjas maroon itu menimpali.     

"Kalian aja. Ada hal lain yang harus di urus." Setelah mengucapkan kalimatnya, pria yang bernama Troy itu meninggalkan kedua temannya.     

Troy berharap bisa menyingkirkan penat dipikirannya dengan minum bersama kedua sahabatnya, tapi ternyata kelakuan mereka mebuat Troy ingin melempar kedua sahabatnya ke Antartika.     

Langkah Troy terhenti karena hujan. Bahkan dia tidak tahu kapan hujan mulai turun karena berada di dalam ruangan untuk waktu yang cukup lama. Sambil menunggu mobilnya datang, Troy mengecek ponselnya, terdapat beberapa panggilan tak terjawab dari 'Ibu', juga dari asistennya.     

Ketika mobil datang, 'Ibu' menelepon lagi.     

"Ada apa, Ma?" jawab Troy datar.     

"Kenapa nggak angkat telepon Mama?" suara diujung telepon terdengar khwatir.     

"Maaf, tadi lagi ketemu klien. Ini udah mau pulang." Troy berusaha menenangkan Mamanya. "Aku nyetir dulu. Aku matiin ya, Ma."     

Tanpa menunggu jawaban dari mamanya, Troy segera mematikan sambungan telepon dan pergi meninggalkan klub malam itu. Ditengah jalan, dia segera mengganti pakaian. Dia tidak ingin Mama tahu bahwa Troy sebenarnya pergi ke klub malam lagi, pergi minum dengan teman-temannya.     

Perlu waktu hampir dua puluh menit bagi Troy untuk sampai rumah.     

Rumah bercatkan warna putih itu terlihat gemerlap. Lampu-lampu menyala, memancarkan sinarnya. Beberapa pohon dan bunga menjadi penyelaras warna bagi rumah itu. Meski sudah hampir tengah malam, lampu di dalam ruangan masih menyala. Menandakan masih ada orang yang belum tertidur.     

"Mama belum tidur, Pak?" tanya Troy kepada penjaga.     

"Belum, Sir." Jawabnya sopan.     

Setelah memastikan tidak ada jejak bahwa dia baru saja mengunjungi klub malam, Troy berjalan masuk. Dengan kaki jenjangnya, dia hanya membutuhkan beberapa langkah untuk mencapai pintu masuk. Begitu pintu terbuka, dia melihat sosok perempuan setengah baya dalam balutan baju tidurnya, menyambut kedatangan Troy dengan penuh semangat.     

"Kamu sudah pulang?" sambut Mama ketika melihat putra tersayangnya.     

"I'm home." Jawab Troy sambil memeluk Mamanya. "Kenapa Mama belum tidur? Nanti sakit kalo begadang."     

"Mama cuma mau lihat putra kesayangan Mama. Lagian tadi pagi nggak ketemu, kamu berangkat pagi."     

Mama Troy, Vanesa, membelai rambut putranya. Betapa waktu berlalu dengan cepat. Rasanya baru kemarin beliau mendengar tangisan pertama Troy, tapi sekarang putranya itu sudah menjadi laki-laki yang tampan. Tinggi menjulang, melebihi tinggi badannya.     

"Maaf, Ma, tadi pagi beneran ada keadaan darurat di kantor."     

Vanesa mengangguk, mempercayai apa yang dikatakan oleh putranya. Dan Vanesa yakin, putra semata wayangnya itu berusaha keras untuk menjalankan perusahaan yang sudah dibangun oleh mendiang suaminya.     

"Ya udah, sana istirahat." Ucap Vanesa sambil membimbing putranya ke kamar. Troy dengan patuh mengikuti ibunya.     

Di kamar yang gelap itu, Troy segera mengganti baju dan duduk di balkon. Memegang gelas minuman yang ada di penyimpanan rahasianya. Tatapannya jauh melihat ke ujung langit, membuat pikirannya segera berkelana entah kemana.     

Dalam hiruk pikuk otaknya, tetap terselip pemikiran tentang sosok gadis yang sudah membuat hidupnya berantakan. Belle. Dimanakah gadis itu sekarang berada? Apa dia baik-baik saja? Kenapa dia pergi meninggalkan Troy sendirian? Apa kekurang Troy sehingga gadis itu pergi?     

Semakin lama memikirkan Belle, semakin sakit pula hatinya. Bagi Troy, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mengenal seseorang. Pada kenyataannya, Troy yang sudah yakin mengenal Belle dan semua tentang gadis itu, ditinggalkan begitu saja. Hanya sebuah pesan singkat tentang kepergian Belle dari kehidupan Troy.     

Gelas kosong yang dipegangnya sedari tadi, hampir pecah di tangan Troy. Setiap kali memikirkan Belle, dia akan hilang kendali dan meluapkan kesedihan serta kemarahannya. Itu hanya dapat dia lakukan dalam gelapnya malam. Tanpa seorangpun mengetahui bahwa hatinya masih terasa sakit.     

...     

Ditempat lain, seorang gadis yang sudah kelelahan berusaha menyelesaikan pekerjaannya sebelum pulang. Shift terakhir yang bekerja akan selesai pukul sebelas malam dan semua orang sudah kelelahan. Hari ini banyak tamu yang datang karena ada jamuan makan malam sebuah perusahaan.     

"Ta, itu tolong dibuang sampahnya dulu. Ini aku beresin sisa disini."     

Fenita yang hampir saja menjatuhkan diri karena kelelahan segera siap siaga. "Iya, Kak."     

Setelah mengalami sedikit kesulitan mengangkut dua kantor besar sampah, akhirnya Fenita berhasil mencapai tempat pembuangan. Ingin rasanya dia istirahat sejenak sebelum memilah sampah, tapi kalau dia istirahat, waktunya akan terbuang. Itu akan membuat dia terlambat pulang lagi.     

Mau tidak mau, Fenita segera memilah sampah sesuai dengan jenisnya. Butuh waktu lama karena dua kantor besar itu ternyata penuh dengan sampah.     

"Udah buang sampahnya?" tanya sang senior ketika melihat Fenita masuk.     

"Udah, Kak. Udah dipilah juga." Jawab Fenita.     

Sang Senior tersenyum dan merasa puas dengan kinerja Fenita. "Ya udah, sana ganti baju trus pulang."     

Secercah senyum tergambar diwajah Fenita yang sudah kusut. Jarang-jarang Senior akan mengijinkan dia pulang lebih dulu, disaat beberapa pekerjaan belum selesai.     

"Kerjaan belum kelar, Kak."     

"Udah balik aja. Ini biar aku yang kerjain. Yang lain juga udah pada istirahat."     

Fenita merasa tidak enak dengan perlakuan seniornya, tapi disisi lain dia benar-benar sudah mencapai batas kekuatannya. Kalau memaksakan diri, dia takut hasil akhir yang kacau malah menantinya. Tentu itu akan merugikan dirinya sendiri dan teman-temannya.     

Perlahan Fenita kembali ke ruang ganti. Beberapa temannya ternyata sudah menyelesaikan tugasnya lebih dulu. Dengan lemahnya Fenita mengganti seragam kerjanya dengan baju biasa. Setelah meletakkan seragamnya di bagian laundry, Fenita segera berjalan keluar restoran untuk pulang.     

Hujan ternyata sudah berbaik hati untuk menghentikan rintiknya, seolah memahami Fenita yang tidak membawa payung. Tinggal dingin yang menusuk tulang setelah hujan yang membuat Fenita segera berjalan cepat untuk menuju halte bus, agar badannya menjadi sedikit hangat. Seharusnya masih ada bus terakhir yang lewat.     

Benar saja, bus terakhir datang tepat setelah Fenita sampai di halte bus. Disana hanya ada beberapa orang yang kelelahan seperti dirinya, berharap bus segera mengantarkannya sampai rumah agar bisa segera beristirahat. Meski badannya terasa lelah, Fenita tidak bisa memejamkan matanya karena takut dia akan kelewatan halte pemberhentiannya.     

Ketika Fenita turun dari bus, ternyata hanya tinggal dia seorang yang menjadi penumpangnya.     

Sudah lebih dari tengah malam, dan Fenita segera bergegas menuju rumahnya. Bahkan kebanyakan orang disekitarnya sudah terlelap dalam buaian mimpi, sedangkan dia baru saja turun dari bus untuk menuju rumah. Meski terkadang merasa hidupnya sulit, Fenita berusaha untuk tidak mengeluh. Paling tidak dia hanya akan mengeluh dan mengadu kepada Tuhan.     

Rumah yang dituju Fenita adalah sebuah kos yang berisi pekerja sibuk seperti dirinya. Biaya sewa yang sangat murah membuat mereka hidup dalam keterbatasan fasilitas. Yah mana ada orang yang mau menyewakan kamar sempit yang murah tapi fasilitas mewah?     

Begitu masuk kamar, tempat tidur adalah tujuan pertamanya. Bahkan tanpa berganti baju ataupun membasuh wajahnya terlebih dahulu, Fenita langsung menjatuhkan diri ke kasur dan segera terlelap.     

Hari ini sungguh hari yang melelahkan baginya. Dia tidak pernah membayangkan melayani tamu kaya itu akan terasa begitu melelahkan. Dalam pikirannya, Fenita pernah berandai menjadi orang kaya yang memiliki banyak harta dan uang. Hal apa saja yang akan dia lakukan dengan semua kekayaannya itu?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.