Pulau yang hilang

Aku akan coba percaya padamu



Aku akan coba percaya padamu

0Niatnya yang tadi hendak duduk di atas kursi beton malah memutar balik kembali ke arah pintu dimana Matt malah membuka pintunya.     
0

"Jo!" Teriaknya yang membuat Langit khawatir.     

"Ish! Apa-apaan pria ini?!" Kesal Langit yang kemudian dengan cepat berlari ke arah pintu.     

"Hei! Mau apa kau?!!" Teriak Langit.     

Matt tak menghiraukan suara teriakan dari Langit itu. Ia tetap membuka pintu dan melangkah keluar dari sana.     

Tapi, sebelum ia berhasil keluar, Langit terlebih dahulu menggenggam lengannya. "Mau kemana kau?!" Tanya Langit saat menggenggam erat lengan Matt.     

Matt menatapnya tajam dibalik topengnya. Ia menaruh banyak kecurigaan kini pada pria itu.     

'Ucapanmu memang bisa mengelabuiku, tapi lagakmu tidak bisa berbohong,' Bisiknya dalam hati.     

"Aku dipanggil atasan," Ucap Matt berbohong agar tangannya bisa dilepas dan ia bisa pergi dari pria yang membuatnya makin detik makin curiga.     

Langit pun melepas genggamannya. Ia membiarkan Matt pergi.     

"Oke," Singkatnya yang melepas kepergian Matt. Lantas ia pun menutup pintunya rapat setelah Matt berjalan menjauh dari sana.     

"Pintu ini tak bisa dikunci tanpa sensor dari jam itu, aku tak boleh lengah, karena wanita gila itu pasti akan kembali," Ucap Langit pada diri sendiri.     

"Apa Matt akan menyusul Jo? Apa mereka sedang mempersiapkan penyerangan padaku lagi?" Pikirnya merambah kemana-mana.     

"Apa aku juga harus menyiapkan serangan balik pada mereka? Ya! Aku harus!" Tegasnya dibarengi sorotan mata yang tajam.     

Langit mencoba mengorek apa saja yang ada di ruangan kecil itu. Setiap bagian dinding dirabanya, ditekannya, ditariknya, mencoba memeragakan gaya Matt saat menarik sebuah kabinet dari dinding seperti yang tadi dilihatnya.     

Dan tentu saja ia berhasil, ia menemukan banyak benda lain selain kabinet disana. Beberapa meja lengkap dengan televisi ada disana. Bukan hanya itu, Ia berhasil membuatnya ruangan kecil yang tadinya tak berperabot menjadi padat berisi, yang ternyata ruangan itu berfasilitas lengkap. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ia berhasil menemukan sebuah tangga menuju ke bawah.     

Awalnya ia hanya mengamati dinding-dinding itu, namun tak ia temukan suatu hal yang menurut dirinya aneh. Ia pun memutuskan mengamati setiap bagian lantai yang dipijaki. Dan beruntungnya ia, ia melihat sebuah celah kecil mengitari salah satu sudut lantai, ukurannya hanya selebar manusia dewasa. Hal yang sama dilakukan seperti yang ia lakukan pada dinding-dinding tadi, ia mengorek celahnya.     

Perlahan ia melangkahkan kakinya memijaki anak tangga itu. Bagian bawah sana sangatlah gelap. Langit pun memutuskan untuk kembali dan membawa sebuah lilin yang ia lihat dari laci kabinet dapur saat ia mengorek setiap bagian dinding tadi.     

Cahaya dari lilin yang tak seberapa, tak memutuskan rasa penasaran Langit untuk masuk ke dalam ruangan gelap di bawah sana.     

"Ruangan apa ini?" Lirihnya yang menggema sehingga dapat didengar beberapa kali olehnya sendiri.     

Langkah kakinya berjalan pelan, decitan dari lantai kayu terdengar setiap Langit melangkah. Sekelilingnya diamati dengan cahaya redup seadanya.     

Gubrak..     

Dirinya terjatuh tersandung benda pendek di depannya. Ia hanya merintih pelan menahan sakit di kakinya. Benda tadi cukup keras sehingga terasa sakit saat mengenai kakinya.     

"Apa itu tadi?!"     

Ia mengarahkan lilin yang perlahan mengecil di tangannya ke arah kakinya tersandung tadi. Kotak kecil sekeras batu ada di ujung kakinya.     

"Benda apa ini?"     

Ia coba mengangkatnya dengan sebelah tangan. Namun tak kuasa pula benda itu bergerak. Sepertinya benda itu menempel di lantai. Namun tampaknya ia tak peduli pada benda itu lagi setelah mencoba mengangkatnya barusan.     

Perlahan ia mencoba berdiri. Namun saat ia mengarahkan lilin itu ke depan, dirinya tak bisa berkata, mematung, seperti patung-patung yang dilihatnya kini.     

Jejeran patung-patung di hadapannya tertata dengan rapi. Tapi kenapa ia tak melihatnya tadi?     

"Hei! Sedang apa kau disana?!" Tanya Matt yang cukup mengejutkannya dari belakang. Ia masih terduduk di depan benda keras yang menyandungnya tadi.     

Langit berbalik ke arah Matt memanggilnya. Tepat dari lantai atas, Matt tidak turun dari atas sana, ia hanya menyorotkam sebuah senter ke arah Langit yang masih bisa dijangkau penglihatannya dari lantai atas.     

Langit tak menjawab Matt sama sekali ia hanya menatapnya dari bawah.     

'Apa dia tak melihat patung-patung itu? Atau dia sudah tahu dan kini pura-pura tak tahu?' Bisik hatinya.     

Langit pun kembali mengarahkan lilinnya ke arah patung-patung yang tadi dilihatnya, namun entah memang penglihatannya yang salah atau memang patung-patung itu menghilang begitu saja. Patung-patung itu sudah tak ada di tempat terakhir ia lihat.     

Tak mau ambil pusing, ia hanya berbalik dan kembali menaiki tangga sembari terpincang menuju Matt yang menunggunya di atas sana.     

"Sedang apa kau disana?!" Tanya Matt saat Langit telah berada di sampingnya.     

"Aku.. Hanya penasaran," Timpal Langit.     

Matt ikut merasa penasaran karena ia juga baru kali ini tahu ada ruang bawah tanah disana, "Bagaimana kau menemukan tempat itu?!"     

"Aku menemukan celah di lantaimu, dan aku rasa itu cukup mencurigakan,"     

"Aku pikir kau sudah tahu itu," Lanjut Langit.     

Matt hanya menggeleng. Langit baru teringat, kalau saat terakhir kali Matt meninggalkannya ia dalam keadaan marah padanya. Lantas ia merasa heran karena kini ia sepertinya sudah tak kesal padanya.     

"Kenapa kau jadi baik lagi?" Heran Langit yang membuat Matt mengernyitkan dahinya.     

"Bukannya terakhir kali kau disini kau marah padaku?" Sambung Langit untuk memperjelas ucapannya tadi.     

Setelah berkata seperti itu, Matt baru paham ucapan Langit, lantas ia pun menjawab, "Mm.. Ya aku memang marah padamu tadi, tapi setelah kupikir-pikir aku masih belum punya cukup bukti untuk mencurigaimu,"     

"Kenapa kau curiga padaku? Bukannya kau yang menemukanku saat aku hampir sekarat? Lantas apa yang membuatmu curiga?" Penasaran Langit.     

"Ah.. Ceritanya panjang, dan aku belum percaya padamu jika aku menceritakannya sekarang,"     

Jawaban itu malah membuat Langit semakin penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu hingga Matt mencurigainya. Ia pun tetap mencoba membujuk Matt agar bercerita padanya.     

"Kau bisa mempercayaiku, apa yang kau curigai dariku? Pria yang kau temukan hampir sekarat di atas hamparan padang pasir,"     

"Aku belum bisa mempercayaimu, cukup sudah, jangan membujukku seperti itu karena aku tak akan mengubah keputusanku," Jawab Matt yang kemudian pergi begitu saja dari hadapan Langit.     

Tapi Langit tak mau menyerah, ia mengejar Matt dan mencoba membuatnya mau menceritakan hal yang membuat Langit penasaran setengah mati.     

"Matt!! Aku bisa kau percayai, kini aku tengah bingung tentang keberadaanku, aku tak tahu tempat macam apa ini, bahkan tentang diriku sendiri yang entah siapa, siapa tahu dengan alasanmu itu bisa mengingatkanku pada siapa sebenarnya diriku, aku mohon.." Jelas Langit dengan ujung memelas.     

Matt yang tadi tengah menyeruput kopi yang baru saja diseduhnya, menatap Langit dengan tatapan yang cukup dalam, seolah tengah menerawang apa yang ada dalam diri Langit.     

Setelah beberapa menit saling menatap, Matt dengan tatapan tajam dan dalamnya, Langit dengan tatapan memelasnya, akhirnya salah satu dari mereka buka suara.     

"Baiklah, aku akan coba percaya padamu," Ucap Matt.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.