Pulau yang hilang

Ketahuan



Ketahuan

0Belalak mata tercipta di wajah Matt, ekspresi nya tak bisa bohong kalau ia benar-benar terkejut kalau kini ada seseorang yang tahu kalau jati diri aslinya sudah diketahui. Namun, hal itu tentu tak dapat diketahui wanita itu karena kini ia masih memasang penutup wajahnya, dan belum pernah sama sekali ia membukanya.     
0

Pertanyaan-pertanyaan tak terduga saling berdatangan memenuhi dirinya,'Apa?!! Bagaimana dia bisa tahu? Jangan-jangan..'     

"Aku tahu," Jawab wanita itu seakan tahu apa yang kini ada dalam benak Matt.     

"Tt.. T.. Tahu apa maksudmu?" Tanya Matt seolah tak mengerti apa yang dimaksud wanita itu.     

"Sudahlah, tak perlu berdalih, aku tahu kau bukan Matt kepala penjaga baru yang sangat menjengkelkan itu, ada sesuatu yang berbeda darimu,"     

Seolah sudah pasrah dengan yang baru saja diutarakan wanita itu, Matt pun akhirnya sedikit terbuka padanya," Darimana kamu bisa tahu kalau aku bukan dia?"     

"Dari aksimu," Singkat wanita itu.     

'Aksi apa? Apa dia tahu kalau aku telah membunuh pria itu?' Tanya Matt dalam hati. Wanita ini benar-benar membuatnya kebingungan.     

"Maksudmu?" Timpal Matt.     

"Ya.. Matt menyebalkan biasanya selalu menggodaku dimana saja, tapi tadi, kau sama sekali tak menggodaku sejak pertama kali kau keluar dari lorong kamar nomor 035, lalu saat kau bersama para penjaga mabuk itu, biasanya kau tak menyapa pria jenggot itu dengan sebutan tampan, Matt asli biasanya menyapa dengan ejekan bukan pujian, dan satu lagi, biasanya Matt langsung menyerbu alkohol di hadapannya, bukannya sepertimu yang tampak ragu," Jelas Wanita itu.     

Matt mencerna setiap kata wanita itu, Ia mencoba menggali tentang Matt menyebalkan yang dimaksud wanita itu, sehingga nanti jika ia bertemu orang lain yang biasa berkawan dengan Matt ia akan tahu apa yang seharusnya ia lakukan untuk mengurangi kecurigaan.     

"Bisa saja Matt sedang badmood," Canda Matt yang begitu saja keluar dari mulutnya.     

"Memang ada orang yang sedang badmood, malah memuji temannya?"     

"Ada,"     

"Mana?"     

"Tadi kau melihatnya, dan sekarang pun kau masih menatapnya," Goda Matt.     

"Ish!! Kau ini!" Kesal Wanita seraya memukul bahu Matt cukup keras.     

"Aww!!"     

"Kenapa kau memukulku?" Heran Matt sembari memengangi bahunya yang kini kesakitan meski memang tak seberapa.     

"Kau sama menyebalkannya dengan Matt," Jawab wanit itu dengan rasa kesal.     

"Aku memang Matt," Timpal Matt yang membuat wanita yang baru saja mengalihkan pandangannya dari Matt malah kembali menatapnya lebih tajam.     

"Apa?!"     

"Jangan bercanda, ya? Tapi kalau kau memang Matt kenapa sikapmu tak seperti biasanya?" Tanya wanita itu tak percaya kalau nama pria yang ada disampingnya kini adalah Matt.     

"Aku memang Matt," Jelas Matt lagi.     

Wanita itu kembali menimpali penjelasan Matt dengan sebuah pertanyaan, "Tapi kenapa..?!"     

Belum juga wanita itu menyelesaikan pertanyaannya, Matt terlebih dulu menginterupsinya dengan aksi membuka penutup wajah yang menghalangi wajah orientalnya.     

"Kau?!" Ucap gadis itu seraya menunjuk ke arah Matt dengan telunjuk lentiknya. Seakan tak percaya apa yang kini dilihatnya.     

"Apa?!" Timpal Matt dengan alis tebalnya yang terangkat.     

"Kau.. Bukannya pria yang hampir mengingat kenormalanmu itu, kan?"     

"Siapa kau? Kenapa kau tahu tentang itu?" Tanya balik Matt pada wanita yang seakan telah tahu siapa dirinya.     

"Aku penjaga yang saat itu bersama Dokter Ace, kita sedikit berbohong pada penjaga kekar yang dulu menanyakan keadaanmu,"     

Matt mencoba mengingat kejadian yang seminggu lalu menimpanya.     

~~~     

"Bangun!!"     

Teriak dalam pengeras suara yang memaksa siapa saja yang mendengarnya langsung terbangun, termasuk para abnormal.     

"Aaa!!! Berisik sekali!!" Teriak seorang pria diatas ranjang yang tergantung di dinding usang. Seraya menutup telinganya dari polusi suara dari luar sana, ia terpaksa terbangun.     

Matanya dibuka dengan paksa kala itu. Kernyitan dahi di wajahnya tercipta. "Dimana aku?" Gumamnya pelan, keberadaannya kini yang membuat dirinya sendiri bingung.     

"Kenapa aku bisa ada di tempat ini?" Tanyanya lagi. Tanya-tanya dalam benak berkumpul memenuhinya.     

Rasa heran bercampur bingung dan penasaran atas semua pertanyaan dalam dirinya itu membuat Matt memutuskan mencari jawabannya sendiri.     

Ia beranjak dan melangkah menuju pintu besi dengan lubang kecil dari jeruji yang juga terbuat dari besi. Lubangnya memang kecil, tapi cukup untuk mengintip orang yang kini hampir saja membuka pintu di hadapannya.     

Denging di telinganya tiba-tiba membisingi hingga ia hampir kehilangan keseimbangan. Namun orang berseragam dengan penutup wajah yang baru saja masuk segera menangkap dan menahan tubuh Matt.     

Dia membawa Matt kembali duduk diatas ranjang gantung. Dengan langkah cepat ia berjalan ke arah pintu besi dan berteriak pada seseorang di luar sana dibarengi dengan acungan jempol.     

"Aman!!" Teriaknya.     

Denging telinganya masih menyiksa ditambah kepalanya menjadi pusing saat ia membuka mata. Tampaknya orang yang tadi berteriak kembali masuk, meski telinganya masih saja berdenging, derap langkah orang itu masih dapat terdengar olehnya.     

"Berbaringlah!" Suruh orang itu. Matt kemudian berbaring di atas ranjang yang sebenarnya tak ada nyamannya sama sekali.     

"Dokter! Bisa datang kemari?!" Tanya orang itu pada handytalky yang hampir menempel di depan bagian mulutnya.     

Berselang 20 menit, derap langkah lain terdengar Matt. Kini peningnya sedikit berkurang, denging di telinganya pun telah menghilang. Beberapa lintasan ingatan diingatnya.     

Sebuah benda terasa dingin ditempelkan di atas dada bidang Matt. Matanya perlahan dibuka. Pria kulit hitam ada disampingnya kini. Hanya beberapa detik ia merasakan dinginnya benda itu di atas dadanya, Dokter itu kembali memasukkannya ke dalam saku jas putihnya     

"Dia sepertinya mengingat sesuatu," Ucapnya pada orang yang sedari tadi menemaninya.     

"Benarkah?" Tanya orang itu tak percaya.     

Orang itu mendekat ke arah Matt, memandangnya meski Matt tak bisa menatap matanya namun ia tahu kalau orang itu kini sedang melihat ke arahnya.     

"Siapa namamu?" Tanya orang berbadan kecil itu.     

"Nama? Aku punya nama?" Matt malah bertanya balik, dalam benaknya banyak kata "Nama" terngiang.     

•••     

"Hei!! Bocah sipit! Kenapa diam saja?! Buka matamu! Cepat lempar bolanya kemari!! Hahahah!!!" Gelak tawa seorang anak lelaki itu menggelegar di telinga Matt sesaat setelah benda bulat itu mengenai badannya dan ia malah mematung di hadapan benda tersebut.     

Namun ia tak terima pada anak yang berusia lebih tua 3 tahun darinya itu, Matt kecil menimpali ejekannya tadi dengan suara nyaring, "Aku sudah buka mata! Namaku Matt!!" Kesalnya seraya melempar bola itu ke arah bocah lelaki yang berjarak 3 meter darinya.     

•••     

Setelah sempat terdiam beberapa saat untuk mengingat sebuah nama, akhirnya ia bisa mengingat sebuah panggilan atas dirinya, "Matt! Ya! Namaku Matt,"     

"Siapa kalian? Dan kenapa aku bisa ada di tempat seperti ini? Dimana aku? Apa kalian bisa mengantarku pulang sekarang?" Lanjut Matt dengan mengutarakan pada kedua orang yang ada di hadapannya dengan harapan mereka bisa menjawabnya dan membantunya.     

Kedua orang dihadapannya hanya diam tak berkutik, hanya sesekali saling bertukar pandang. Tatapan mereka tampak serius bercampur bingung pula.     

"Hei! Kenapa kalian malah saling tatap-tatapan? Bukannya pertanyaanku harus kalian jawab?" Tanya Matt yang sudah tak sabar pada jawaban mereka. Mereka sejenak melirik pada Matt atas ucapannya barusan. Namun waktu mereka kembali terbuang dengan aksi saling menatap satu sama lain untuk kesekian kalinya.     

Hingga pria kulit hitam tadi akhirnya bersuara, "Apa kita harus menghubungi Bu Bos?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.