Pulau yang hilang

Pengakuan dan Minta maaf



Pengakuan dan Minta maaf

0Air mata mengalir deras dari mata Max. Andre melihatnya dan ia pun merangkul adiknya itu.     
0

"Sudah.. Nanti kita bisa bangun lagi", ucap Andre yang berusaha menenangkannya.     

Arash, Dr. Ben dan Beno berhasil menyamai posisi dimana Andre dan Max berada. Mereka pun keluar dari dalam mobilnya itu, melihat begitu deras mengalirkan air mata Max.     

Mereka mendekat ke arah Andre yang sedang merangkul Max. Mereka turut prihatin atas kejadian itu.     

"Sabar, Max", ucap Arash yang ikut-ikutan memeluk Max. Begitu juga Beno dan Dr. Ben yang sama memeluk Max.     

Masih dalam tangisnya dan dalam balut pelukan teman-temannya, Max berkata, " Aku sendiri yang menghancurkannya".     

"Apa?!!", seru semua temannya serentak.     

"Apa maksudmu?!", geram Beno.     

"Dulu aku yang mencuri ramuan hasil penelitianmu dan menukarnya hingga manusia itu berubah jadi menyeramkan yang hampir menerkammu di lab itu, Ben!", jawabnya.     

"Lalu?", tanya Dr. Ben yang makin penasaran kelanjutan pengakuan Max.     

"Aku membawa ramuan itu dan memasukkannya ke dalam sebuah botol. Setelah kejadian itu, aku berkunjung ke tempat produksi minuman para penjaga, aku membawanya, dan ternyata tertukar sepertinya dengan botol berisi air sirup yang biasa dicampurkan dengan minuman para penjaga", jelas Max.     

"Dan... sepertinya ramuan itu pula yang merubah para penjaga menjadi makhluk yang menerkam semuanya", tambahnya.     

Beno yang kesal pada Max, ia sudah tak bisa menahan emosinya, ia mengepalkan kedua tangannya kemudian mendaratkannya dengan keras ke wajah Max.     

"Apa maksudmu tadi menuduh kami yang melakukannya, hah?!!", geram Beno.     

"Kau menuduh kami seolah kau tak melakukan apa-apa, mengesalkan sekali kau, Pengecut!!".     

"Kau menuduh kami untuk menutupi semua kesalahanmu itu, Pengecut kau! Benar-benar pengecut!!". Beno benar-benar marah dan kesal saat itu hingga wajah putihnya memerah. Kemudian ia kembali memukul Max dengan pukulan keras lagi hingga membuat hidungnya berdarah.     

Tapi Max tidak membalasnya ia hanya menunduk penuh penyesalan. Dr. Ben dan Arash membawa Beno menjauh dari Max agar ia meredam emosinya terlebih dahulu.     

"Sudah Beno!", seru Dr. Ben.     

"Kau lihat sendiri, kan? Dia mengakui dia yang melakukannya, tadi dia menuduh kita. Sungguh menyebalkan!!", gerutu Beno pada Dr. Ben.     

"Iya, aku mengerti, tapi ini bukan saatnya untuk melampiaskan kekesalanmu, masih ada hal lain yang harus diselesaikan".     

Tiba-tiba...     

Sebuah helikopter berukuran cukup besar mendarat di dekat mobil mereka. Tanah gersang di sekitarnya beterbangan terkepul baling-baling helikopter.     

Baling-baling terhenti. Kepulan tanah juga berjatuhan kembali ke tempat asalnya. Mata mereka kini tertuju pada siapa yang akan muncul dari dalam helikopter tersebut.     

"Kepala desa?", ucap Max setelah melihat Kepala desa siaga lah yang muncul dari balik pintu heli itu.     

Kepala desa pun turun dari helikopter tersebut dan menghampiri Max.     

"Apa yang terjadi?", tanyanya heran pada Max. "Kenapa hidungmu?", tanyanya lagi setelah melihat hidung Max yang berdarah akibat dipukul Beno. Lantas Max pun mengusap hidungnya yang terluka menggunakan lengan bajunya.     

"Ceritanya panjang Pak", singkat Max.     

"Lalu kalian mau kemana?", tanya Kepala desa lagi.     

"Kami juga belum tahu kami mau kemana", jawab Andre.     

"Sepertinya pernikahan ini dibatalkan saja, Pak", timpal Max.     

"Sudah jangan bicarakan itu dulu, Nak Max. Bapak bisa mengerti perasaanmu saat ini. Ya sudah kalian ikut bapak saja, ya?", tawar Kepala desa.     

Tanpa berpikir lama lagi, mereka pun mengikuti langkah Kepala desa yang sudah kembali masuk ke dalam helikopternya.     

Saat mereka hendak masuk, ternyata Kepala desa tak sendiri, ada Elia dan Pak Hendra sebagai pilotnya juga disana. Pak Hendra melirik ke belakang saat Beno dan kawan-kawannya masuk ke dalam helinya.     

'Sepertinya wajah Bapak ini tidak asing', gumam Beno dalam hatinya saat melihat Pak Hendra untuk pertama kalinya.     

Mereka tak duduk di atas kursi kecuali Max, karena hanya ada 4 kursi saja yang tersedia disana. Satu kursi diisi Pak Hendra, di sebelahnya diduduki Kepala desa, di bagian belakang ada Elia yang sudah siap sepertinya dengan pernikahan itu, dan di sebelahnya ditempati oleh Max. Sedangkan yang lainnya duduk di lantai helikopter.     

Beno mengorek sesuatu di dalam tasnya. Ia mengeluarkan sebuah dompet berwarna abu muda disana. Dompet itu milik Leah. Ia sengaja membawanya tadi saat Leah tewas. Itu satu-satunya kenangan baginya tentang Leah.     

Seusai ia mengeluarkan dompet itu, ia membukanya dan memperhatikan dengan seksama foto yang ada di saku dompet itu.     

'Siapa dia? Apakah ia ayahnya Leah?', gumamnya dalam hati setelah memperhatikan seorang pria yang ada dalam foto itu bersama Leah, dan pria itu benar-benar mirip dengan Pak Hendra, pilot helikopter yang mereka tumpangi kini.     

Ia menyimpan kembali dompet milik Leah ke dalam tas miliknya, sedangkan foto itu, ia menyimpannya di dalam saku bajunya.     

"Semuanya sudah siap?", tanya Pak Hendra memastikan.     

"Siap!!", jawab para penumpang secara bersamaan.     

Helikopter itu kembali beranjak ke udara. Dan berudara untuk kembali ke Desa dimana Kepala desa berasal.     

"Jadi apa yang terjadi dengan bunkermu, Nak?", tanya Kepala desa pada Max.     

"Aku menghancurkannya, Pak", singkat Max.     

"Bagaimana bisa?"     

"Aku jahat, Pak. Aku minta maaf", jawab Max diiringi dengan isak penyesalan.     

"Sudah.. Jangan menangis, kamu pria hebat Max", timpal Elia yang ada di sampingnya yang kemudian mengusap pundaknya untuk menenangkannya.     

"Aku tak sengaja menyebar ramuan hingga merubah penjaga-penjaga jadi manusia pembunuh", jelas Max.     

"Aku tak punya pilihan lain selain menghancurkan apa yang sudah aku bangun"     

"Dan itu semua gara-gara aku", sambung Max yang kemudian kembali menangis lebih keras menyesali semuanya.     

"Sudah, Max", ucap Andre yang kemudian memeluknya dari belakang. Tanpa disangka, Beno juga ikut memeluk Max dari belakang seperti Andre, diikuti Dr. Ben dan juga Arash.     

"Kami akan ada untukmu, kami temanmu", ucap Beno dalam peluknya pada Max.     

'Kenapa mereka begitu baik? Padahal aku sudah jahat pada mereka? Hati mereka begitu pemaaf, tak sepertiku', ucap dalam hati Max.     

"Aku minta maaf pada semuanya", ucap mulut Max.     

"Sudahlah.. Aku bosan mendengar semua ucapan maafmu", canda Beno yang kemudian mengundang senyum Max.     

"Kau memaafkanku?", tanya Max sambil memandang Beno yang memeluknya dari belakang.     

"Kau adik temanku, Max, aku bukan pendendam pula sepertimu, Haha..", jawab Beno diikuti dengan tawa dari mulutnya.     

Mereka pun melepas pelukannya pada Max. Max menghadapkan kepalanya ke arah Andre, Beno, Arash dan Dr. Ben yang duduk di bagian belakang, tepat di belakang kursinya.     

"Kalian memaafkanku, kan?", tanyanya memastikan.     

"Tentu, asal kau tak pernah mengulanginya lagi", ucap Dr. Ben.     

"Ya benar", timpal Arash.     

Kepalanya pun kembali dihadapkan ke hadapan. "Aku minta maaf ya, Elia, Pak Kepala desa?", ucapnya meminta maaf pada Kepala desa dan Elia.     

"Tentu, Max kami memaafkanmu", timpal Kepala desa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.