Pulau yang hilang

D E B A T



D E B A T

Pintu kamar pun tertutup rapat. Dr. Ben dan Arash mendudukan dirinya di lantai granit kamar itu. Sejuk rasanya setelah lelah dikejar-kejar sampai bercucuran keringat.     

Beno melepas tas yang kini telah terisi penuh oleh makanan dan minuman dari dapur dan beberapa jenis peluru yang dibawanya dari markas penjaga. Andre mulai berbincang dengan Beno yang sedang menyandarkan tubuhnya di dinding putih kamar Max.     

Sedangkan Max, ia hanya berdiri di depan jendela kaca berbingkai tirai di kanan-kirinya. Sesekali ia menatap kedekatan Beno, Dr. Ben dan Arash dengan kakaknya itu.     

Max tiba-tiba membalikkan badannya dan mulai melangkahkan kakinya ke arah dimana mereka berbincang. "Kalian yang membuat makhluk itu kan?", gertak Max setelah jarak antara mereka dan dirinya cukup dekat, kira-kira 2 meter.     

Sontak saja hal itu membuat Andre, Beno, Dr. Ben dan Arash terkejut dan melirik ke arah sumber suara itu berasal yaitu dari seorang Max yang tanpa mereka sadari tengah berdiri di hadapan mereka.     

"Hei! Jangan asal bicara kamu, ya?", timpal Beno.     

"Lalu siapa lagi jika bukan ulah kalian? Kalian kan yang ingin menghancurkan bunkerku ini?", ucap Max dengan nada tinggi.     

"Jika aku berniat seperti itu, aku tak akan mendatangimu kemari, akan aku biarkan saja kau disini diterkam penjaga-penjaga itu", jawab Beno dengan perasaan kesal. Bagaimana tidak, ia sudah mati-matian menuju ke kamarnya bersama Dr. Ben dan Arash, mereka malah dituduh yang tidak-tidak oleh Max.     

"Kalian kemari untuk menjemput Andre saja kan? Lalu kalian akan menyingkirkanku dan membiarkanku diterkam penjaga pembunuh itu, benar kan?"     

"Benar ucapanmu, kita kemari untuk menjemput Andre, tapi karena Andre meminta kita untuk menjemputmu sekalian, ya sudah kenapa tidak?"     

"Tapi asal kamu tau ya, aku kasih tau kamu, kita tidak merencanakan ini semua", lanjut Beno yang mulai berdiri dan mendekat ke arah Max.     

"Lantas siapa lagi yang berulah jika bukan kalian?"     

Beno semakin kesal pada pertanyaan-pertanyaan gila Max hingga ia pun tak mau kalah dan menimpali tuduhan Max, "Mana aku tau. Hei Max! Asal kamu tahu juga ya, para pekerja disini tidak semuanya menyukaimu, ada yang diam-diam membencimu juga selain kami". Seketika itu Beno langsung menutup mulutnya dengan lengan kanannya. Beno sudah semakin kesal pada Max hingga akhirnya ia keceplosan bahwa mereka juga membenci Max.     

"Oh.. Kalian membenciku ya? Bagus.. Bagus. Kalian berpura-pura baik di hadapanku, bekerja sepenuh hati, tapi di belakangku kalian merencanakan ini semua?"     

"Maksudmu?"     

"Alah.. Kalian jangan sok pura-pura gak tau segala, aku tau kok kalian kan yang merencanakan ini semua?"     

"Kamu budeg apa gimana si, kan tadi aku udah kasih tahu kamu, kita gak pernah merencanakan ini"     

"Suka hati kau sajalah mau bilang apa. Tapi yang pasti, aku yakin ini pasti ulah kalian"     

"Mau pertanyaamu diulang ribuan kali pun, kita gak bakal mengakui itu ulah kita. Karena emang bukan kita yang merencanakan itu. Oke, kita gak berniat, bener-bener gak pernah ada niat buat bikin mereka jadi manusia gila yang memakan otak dan membunuh secara brutal"     

"Tujuan kita nantinya, kita bakal bom bunker milikmu ini sama isi-isinya, aku gak peduli kamu selamat atau nggak, yang penting nantinya, kita bisa bebasin desa-desa yang kamu penjara itu", ceplos Beno yang hampir dibuat naik emosinya oleh Max.     

Ia pun menjauh dari Max dan kembali menggendong tas punggungnya.     

"Ayo kita pergi!", tegas Beno.     

Dr. Ben dan Arash pun beranjak dari duduknya dan melakukan hal yang sama seperti Beno, yakni menggendong kembali ransel yang mereka bawa di punggungnya.     

Andre yang tak mau ketinggalan, ia juga sama membawa sebuah tas di punggungnya yang berisi air mineral dari tas Arash dan beberapa makanan kaleng dari Dr. Ben agar tas mereka tak terlalu berat saat dibawa berjalan ataupun berlari.     

Beno pun keluar dari pintu itu yang ia buka dengan memutar botol yang terpasang di dinding samping pintu kemudian ia sedikit menariknya agar pintu itu terbuka. Setelah terbuka, ia segera keluar dari pintu itu. Namun, saat hendak melangkah keluar, Andre menghentikannya.     

"Tunggu! Kenapa kau bisa tahu cara membuka pintu ini?", tanya Andre.     

"Tentu saja, aku tidak bodoh, tidak ada handle di pintu itu, aku tahu pasti handlenya ada di bagian lain ruagan ini, aku sudah sering melihatnya di film-film"     

Setelah menjawab pertanyaan Andre, ia pun kembali berjalan keluar dari ruangan itu. Setelah di luar, ia memperhatikan keadaan sekitar, dan saat ia kira sudah aman. Kepalanya mendongak ke bagian dalam pintu itu dan nampak tangan kanannya memberi isyarat ajakan semacam kata ' Ayo' jika diucapkan.     

Dr. Ben yang ada di urutan kedua setelah Beno, ia pun berkata pada Arash dan Andre yang ada di belakangnya, "Ayo!".     

Arash pun mengikuti ucapan Dr. Ben, begitu juga dengan Andre.     

Saat Andre tiba di ambang pintu, ia menatap ke belakangnya dan tak ia dapati Max disana. Ia masih terpaku di depan jendela besar di kamarnya.     

"Max! Ayo!!", seru Andre. Langkah Beno, Arash dan Dr. Ben pun terhenti setelah berjalan 2 meter dari kamar Max.     

Tapi Max masih saja terdiam disana. "Max!!", geram Andre.     

Max akhirnya berbalik dan melirik Andre. "Kemana?".     

"Oh iya, kita mau kemana?", tanya Andre pada ketiga temannya, ia baru sadar baik Beno, Dr. Ben ataupun Arash belum memberitahunya tentang hal itu.     

Lantas ketiga temannya itu kembali masuk ke kamar Max. Dan Beno yang menjadi di barisan terakhir kembali menutup pintunya rapat-rapat.     

"Kita tak mungkin kan diam saja disini? Aku tak tahu apa mereka bersembunyi atau memang sudah tewas semuanya. Jika kita lama-lama disini, kita juga bisa jadi mangsa mereka. Perbekalan pun terbatas. Jadi aku pikir kita harus pergi dari sini", jelas Beno.     

"Lalu pergi kemana tujuan kita?", tanya Max menyebalkan.     

"Kemana saja, asalkan pergi dari sini. Asalkan kita aman"     

"Lantas aku harus tinggalkan bunker yang sudah aku bangun bertahun-tahun kah?"     

"Itu terserah pilihanmu, jika kamu mau mati bersama mereka silahkan", jawab Beno yang sudah benar-benar geram pada Max. Itu kedua kalianya mereka berdebat setelah beberapa hari bertemu, terlebih saat Beno sudah jadi incaran.     

Max hanya terdiam beberapa menit, perdebatan mereka terjeda. Hingga Max pun kembali memberi mereka pertanyaan, "Bagaimana jika makhluk itu terus berjalan mencari mangsa hingga ke daerah lain? Bahkan hingga ke seluruh penjuru dunia?".     

"Kita harus memusnahkannya", usul Dr. Ben.     

"How? Mereka banyak, apa kita harus menembaki mereka satu-persatu hingga mati?", tanya Andre yang semakin penasaran dengan rencana mereka.     

"Kita kumpulkan semua mahkluk itu pada satu tempat, lepas itu kita bisa bom mereka", jawab Dr. Ben.     

"Tapi satu pertanyaanku, kau mau ikut atau tidak, Max?"     

Max terdiam untuk menimang apa yang harus ia lakukan jika tak ikut bersama mereka. Semua pasang mata di ruangan itu tertuju pada Max setelah Dr. Ben melontarkan pertanyaan itu.     

"Mmm...Baik, Aku ikut!"     

Mereka semua tersenyum mendengar jawaban itu. "Kalau begitu bersiaplah!", seru Dr. Ben.     

Max pun mengganti pakaiannya, mengantongi beberapa pakaian bersih juga makanan cadangan di kulkas pribadinya ke dalam tas ransel miliknya. Tak lupa ia bawa senjata yang ia simpan dalam brankas miliknya yang terletak di kamar mandi.     

"Ayo!"     

Mereka yang sedari tadi tinggal menunggu Max siap, segera keluar dari ruangan itu. Max menutup pintu kamarnya. Ia nampak sedih karena harus meninggalkan semuanya.     

"Ayo, Max!", seru Andre yang sudah berjalan mendekati lift.     

Max yang mendengarnya segera meninggalkan tempat itu dan menyusul Andre.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.