Pulau yang hilang

Menyamar



Menyamar

0Brugh... Brugh.. Brugh..     
0

"Dre!! Buka pintunya!!", teriak seseorang dari bagian luar pintu kamar Andre.     

Sontak saja suara teriakan dan gebrakan itu membuat Andre yang baru tertidur 3 jam kembali terbangun.     

Dalam pelukan hangatnya selimut ia bergumam, "Ihhh... Siapa sih?".     

Ia segera beranjak dari tempat ternyaman itu. Dan segera membuka pintu kamar yang ia kunci tadi.     

Saat pintu terbuka, salah satu lengan Andre mengucek mata sebelah kirinya, dan itu membuat penglihatannya lebih baik. Yang tadinya hanya remang-remang bayangan seorang pria, kini sudah terpampang jelas Max tengah berdiri di balik pintu.     

"Ohh.. Max. Ada apa?", sapanya sambil melemparkan sebuah senyuman natural dari wajahnya yang belum tersentuh air.     

Senyuman balik dilempar oleh Max pada Andre. Dengan nada sedikit kesal dia berkata, "Andre, kakakku, matamu masih berfungsi kan?".     

Sambil mengernyitkan dahi karena keheranan mendengar jawaban sinis adiknya itu ia kembali menjawab, " Tentu saja. Aku masih bisa melihat ketampananmu dengan mataku".     

"Kalau begitu, coba lihat kejujuran jam di kamarmu itu", timpal Max makin sinis sembari menunjuk ke arah jam digital di samping tempat tidur Andre.     

Mata Andre segera tertuju kesana. Ke arah jam itu terdiam. Jam menunjukkan pukul 8 lewat 30 menit. Dan pantas saja Max menyusulnya kemari.     

Andre kembali memalingkan wajahnya ke arah Max dan lagi-lagi melemparkan sebuah senyuman padanya.     

"Dan apakah telingamu masih berfungsi dengan baik?", tanya sinis nan kesal dari Max lagi.     

Dan lagi-lagi Andre menjawab, " Tentu Adikku. Kini aku masih bisa mendengar suara lantangmu".     

"Kalau begitu, mengapa telpon dariku tak kau angkat tadi? Sampai-sampai aku harus menggedor kamarmu puluhan kali?", balas Max.     

Andre menghela napas sebelum akhirnya menceritakan alasannya, " Max. Aku lelah. Aku baru tidur jam 5 tadi. Aku baru selesai mendekor ruang makan itu".     

"Baiklah. Aku mengerti. Tapi jangan sampai acaraku gagal besok ya. Cepat bersiap!!", jawab Max yang setelah itu meninggalkan Andre di kamar yang masih terbuka pintunya.     

Andre segera menuju kamar mandi dengan langkah yang lesu. Sebenarnya dia masih rindu pelukan hangat selimut dan sandaran nyaman dari bantal di kamarnya. Tapi apa boleh buat, Max sudah memintanya kembali bekerja.     

Sesaat setelah mandi, dan tubuhnya masih terbalut handuk, dia merebahkan tubuhnya di atas kasur yang masih berantakan itu. Matanya sekejap terpejam dan dalam hatinya berkata, " Ayo!! Andre tinggal selangkah lagi". Kemudian matanya kembali terbuka. Dan tubuhnya kembali terbangun lalu ia membalut tubuhnya dengan pakaian rapi.     

Selepas itu, ia menuju ruangannya. Kini tugasnya hanya tinggal menyusun acara untuk besok. Uhh..Sungguh melelahkan.     

Ia duduk di atas kursi hitam beralas empuk. Di depannya telah siap Komputer tempat ia mengolah data-data. Ada juga kertas berukuran 10 cm x 10 cm disana. Isinya tentang daftar-daftar yang harus disiapkan Andre. Daftar-daftar itu telah disusun berdasarkan waktu untuk acara besar itu. Dimulai kedatangan para tamu, apa yang harus disediakan untuk para tamu saat mereka datang, dimana tempatnya berlangsung, dilanjut dengan saat kedatangan kepala desa dan Elia sebagai mempelai wanita, penjemputan Elia di tempat pesawat terparkir, dan banyak lagi. Dan asal kalian tahu, Kertas berukuran 10 cm x 10 cm itu bukan sekedar berukuran 10 cmx 10 cm, melainkan banyak kertas 10 cm x 10 cm tersusun berjajar di bawahnya. Kertas-kertas itu saling menyambung namun, terlipat menjadi ukuran 10 cm x 10 cm.     

Saat pertama kali Max memberikan kertas itu, Andre sempat heran, mengapa listnya begitu kecil, hanya selembar kertas berukuran 10 cm x 10 cm?     

Tapi ternyata, saat ia menerimanya dari tangan Max, lipatan kertas dibawah selembar kertas itu terurai sampai lantai, dan saat dilipat ternyata kertas itu tebal.     

"Wow!!", ucapnya kala itu.     

Sampai akhirnya ia tahu list-list itu sungguh banyak dan dalam seminggu harus ia kerjakan.     

Parah sekali.     

Hari Besar itu hampir tiba, pekerjaan Andre pun hampir selesai. Ia tinggal menyusun susunan acara perhelatan itu. Setelah itu, beres.. Tinggal menunggu besok.     

Susunan acara yang Andre buat, ia ketik di komputernya lalu mencetaknya. Kemudian diperbanyak. Sedangkan untuk undangan, sudah tersebar lewat sosial media. Karena jika harus mengirimnya lewat alamat si tamu karena jauhnya rumah para tamu yang Andre undang, dan bisa-bisa dalam seminggu itu belum sampai, makanya Max menyuruhnya untuk mengirimnya saja lewat sosial media.     

Seusai ia mencetaknya, ia menyerahkannya pada MC yang akan memandu acara mereka. Ya.. Bunker Max merupakan paket lengkap. Didalam bunkernya itu sudah seperti sebuah kota. Kota dalam satu bangunan besar. Ada dokter lengkap dengan peralatannya, Ahli IT, Ahli pertukangan, Penata ruang, dan MC juga ada.     

Setelah itu... Usai sudah kerjaannya. Ia kembali duduk di kursi miliknya di ruang kerja. Menarik napas lalu menghembuskannya. Diulanginya beberapa kali kegiatan itu.     

Tiba-tiba notif dari handphone berdering. Sebuah pesan whatsapp dari Beno.     

[Dre! Dr. Ben sudah menyiapkan semua penawarnya. Lalu bagaimana kita menyebarluaskan ini pada warga desa?]     

Andre berpikir sejenak, dalam benaknya sempat terbersit agar Beno menggunakan lingkaran perintah, itu sebutan Max pada benda ciptaan Beno di ruang pengendali itu. Tapi dalam keadaan seperti ini itu sepertinya tidak mungkin dilakukan. Hingga Andre pun kembali berusaha mencairkan otaknya untuk menemuka ide dalam otaknya. Sesaat itu, sembari berpikir, ia menatap ke arah kertas list berukuran 10 cm x 10 cm itu.     

Akhirnya ia mengetikkan sebuah pesan balasan untuk Beno.     

[Bagaimana jika kalian menyamar dan simpan benda itu di tumpukan benda yang akan dikirim besok untuk dibawa pulang Kepala desa? Benda itu sudah disusun di gudang. Aku akan ke sana setengah jam lagi. Nanti akan kutunggu kalian]     

Tak berapa lama kemudian, notifikasi pesan whatsapp kembali muncul di ponsel Andre.     

[Baik. Tunggu kami disana]     

Kali ini Beno dan Dr. Ben harus menyamar. Tapi bagaimana dengan pakaian yang harus mereka kenakan. Dan mungkin mereka juga butuh troli sebagai penyamaran.     

Tiba-tiba Leah berkata, "Kalian tunggu disini". Setelah berkata seperti itu, Leah pergi keluar dari lab Dr. Ben dengan hati-hati.     

"Kira-kira kemana Leah akan pergi?", tanya Beno khawatir. Dalam benaknya, ia berpikir mungkin ada baiknya jika ia matikan sistem pengamanan cctv di Bunker. Lewat laptop milik Andre yang ada di meja Dr. Ben ia mengotak-ngatik benda berukuran 14 inch itu.     

Dengan cepat Beno mengatur sistem itu. Dan.. Cctv di semua sisi bunker mati, kecuali ruang pengendali dan ruang Max. Ia bisa mengawasi Max dari sana. Dan semoga dia tidak menyadari kalau cctv telah dimatikan oleh Beno.     

10 menit kemudian, Leah kembali masuk ke lab Dr. Ben membawa dua pasang baju sambil menyeret sebuah troli berisi kardus-kardus yang ia ambil dari petugas pembawa troli. Ia melihat seorang pria petugas itu nampak kelelahan, itu dijadikan kesempatan olehnya, dan langsung berbicara pada petugas itu, " Biar aku bantu kamu membawa benda ini. Ini harus diantar ke gudang kan?".     

Anggukan pelan tergerak dari kepala pria petugas itu. Lalu Ia memberikan troli berisi kardus-kardus itu kepada Leah.     

Setelah itu Leah kembali menuju Lab Dr. Ben.     

"Ini, kita bisa gunakan ini, tapi pakaian ini satu untuk pria dan satu untuk wanita, jadi siapa yang akan membantuku?", tanya Leah. Ia mendapat baju itu dari kamar temannya yang juga seorang petugas dan mereka adalah salah satu rombongan yang kemarin pulang kampung. Kebetulan bajunya itu satu untuk perempuan dan itu seukuran dengan badan Leah, satu lagi untuk pria tapi ukurannya cukup besar.     

"Biar aku saja yang mengantar ini dengan Leah", jawab Beno sambil mengambil pakaian itu dan segera memakainya di tubuhnya.     

Itu ukuran yang cukup besar, ia harus melipat bagian lengannya hingga siku agar terlihat lebih cool.     

Mereka telah siap, tak lupa Beno mengenakan topi dan masker yang disiapkan Leah, begitu juga Leah. Penawar itu telah mereka tumpuk juga di atas tumpukan kardus-kardus yang sudah tersusun di troli.     

Mereka pun keluar dari tempat persembunyiannya. Dan... Segera melancarkan aksinya.     

Mereka berjalan seperti biasa. Berusaha tak membuat curiga orang-orang yang melihatnya.     

Masuk lift... Lalu keluar di ruang pengendali... Dan berjalan menuju jalanan aspal pembatas.. Eitss.. Tapi belum juga sampai ke ambang pintu keluar, Max memanggil mereka.     

"Petugas!!", panggilnya.     

Perasaan takut ketahuan muncul dalam diri mereka. Tapi mereka tetap berusaha bertingkah biasa.     

"Ada apa tuan?", tanya Leah sambil menundukkan wajahnya dari Max.     

"Kalian sudah mengambil barang di kamarku?", ucap Max.     

'Aduhh... Aku harus jawab apa?', batin Leah.     

Tapi.. Sebelum Leah dan Beno menjawabnya, Andre datang dan segera menapis pertanyaan Max, "Tadi sudah aku simpan barang di kamarmu ke gudang".     

"Bagus.. Jangan sampai ada yang tertinggal, ya?", tegas Max.     

Acungan jempol tangan diarahkan pada Max oleh Andre sambil pergi meninggalkan Max menuju gudang, diikuti oleh kedua petugas yang merupakan Beno dan Leah itu.     

Huhh.. Akhirnya mereka bisa bebas dari Max kali ini.     

"Untung ada kamu Dre, kalau gak ada aku gak tahu harus bilang apa. Gak tahu kenapa otak ini jadi blank kalau liat Max", ucap Beno.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.