Pulau yang hilang

Awal mula Dr. Ben di kampung itu (flashback)



Awal mula Dr. Ben di kampung itu (flashback)

0" Oh ya kamu darimana mau kemana?", tanya pria yang tadi mengijinkannya naik helikopternya.     
0

Dr. Ben yang duduk di jok belakang, ia dengan lantang menjawab, " Aku dari bunker disana, Pak. Aku ingin pulang menemui istri saya".     

Mendengar kata 'Bunker', pria paruh baya yang tadi bertanya pada Dr. Ben termenung. ' Bunker? Bunker milik Max kah? Apa dia temannya Max? Atau komplotannya?", tanya dalam benaknya. Hanya kata     

"Ohh" yang ia keluarkan dari mulutnya untuk mengakhiri pembicaraannya dengan Dr. Ben.     

"Pak! Di depan sepertinya ada badai! Kita harus putar balik, Pak!", lantang si pilot.     

" Kenapa ada badai? Tadi saat kita berangkat aman-aman saja", gerutu pria penumpang di sampingnya. " Ya sudah putar balik", perintahnya.     

Saat mereka berhasil memutar balik helikopter, tanpa mereka duga, sudah ada badai di depan mereka. Helikopter mereka seketika itu juga terbanting keras hingga jatuh ke lautan luas. Teriakan demi teriakan mereka keluarkan dari mulut mereka. Do'a tak lupa mereka panjatkan. Semoga Tuhan memberi mereka keselamatan dan mukjizat.     

Dr. Ben dan pria paruh baya itu terhempas keluar dari helikopter itu. Dengan sisa tenaga yang Dr. Ben punya, ia berusaha meraih pria paruh baya dan menyeretnya keluar dari lautan. Hanya beberapa mil dari tempat mereka terhempas ada sebuah pulau. Mereka menuju kesana.     

" Ayo, Pak. Sedikit lagi", ucap Dr. Ben yang terus berusaha berenang ke tepian pantai.     

Ditelentangkannya pria paruh baya yang sudah lemas tak berdaya di atas hamparan pasir pantai dan syukurlah mereka selamat dari bahaya yang menimpa. Hanya mereka berdua yang selamat. Tak nampak sang pilot yang tadi berkendara. Sepertinya ia ikut tenggelam dalam lautan bersama helikopternya.     

" Pak! pak ! Bangun Pak!", seru Dr. Ben sambil menepuk-nepuk pipi keriput pria itu.     

Terik matahari terbit menusuk pandangan pria itu hingga membuatnya terbangun.     

"Uhuk..uhuk..". Akhirnya pria itu terbangun sambil terbatuk-batuk dan memuntahkan air dari mulutnya.     

" Dimana kita, nak?", tanya pria itu.     

Dr. Ben melirik ke sekitarnya. Ia benar-benar tak tahu mereka ada dimana. Ia baru menginjakkan kakinya disini. Kemudian ia menggelengkan kepalanya pelan pada Pria itu.     

" Ya sudah, ayo kita cari pertolongan", ujar Bapak itu.     

Mereka berdiri, lalu berjalan menyusuri luasnya pantai. Dan sepertinya tak seorang pun ada disini. Dari ujung barat hingga ujung timur tak kunjung mereka temukan seorang pun yang bisa membantu.     

Tapi, tiba-tiba...langkah mereka terhenti saat melihat sebidang dinding besar. Dr. Ben menatapnya tajam. Dinding itu terbentang dari ujung hingga ujung lainnya. " Dinding apa ini?", tanyanya.     

Pria paruh baya itu mendekat ke arah dinding itu. Melihat ada bagian dinding yang terkikis dan tepat dibawahnya ada bebatuan yang tergeletak. Dan sepertinya itu seukuran dengan bidang dinding yang berlubang. Lalu ia mencoba mencocokkan batu itu ke dinding. Dr. Ben yang melihat perbuatan Pria itu, ia segera membantunya mencocokkan batu-batu ke dinding. Dan anehnya, batu yang mereka taruh di bidang dinding itu tidak berjatuhan, seakan menempel benar di dinding.     

Seketika itu juga, bumi bergetar... Berasa ada gempa berkekuatan 8 skala richter atau bahkan lebih. Kuat sekali gempa itu. Seiring dengan gempa itu, dinding yang tadi mereka tempeli batu sedikit demi sedikit terbuka layaknya sebuah gerbang.     

Mereka masuk perlahan. Melewati dinding yang tadi terbuka. Setelah masuk, banyak dinding lagi disana. Ini labirin. Ya labirin. Mereka masuk ke dalam labirin. Saat mereka hendak keluar lagi dari labirin itu, pintu masuk mereka telah tertutup rapat bagai tak ada celah pintu disana.     

" Bagaimana ini?", tanya Dr. Ben khawatir.     

" Tenang, nak. Kita pasti punya jalan keluar", ucap Pria itu yang kedengarannya mampu menenangkan Dr. Ben.     

Mereka tak putus asa, terus berjalan. Mumpung hari juga masih pagi. Keroncongan perut mereka terdengar memekakkan telinga. Ditambah lagi, tas yang dibawa Dr. Ben tenggelam di lautan sepertinya. Mana di balik dinding ini tak ada apa-apa lagi, selain dinding kusam yang menjulang.     

Sedari tadi, mereka hanya berputar-putar di labirin itu. Bertemu jalan keluar, tidak. Lelah, iya. Langkah mereka melambat. Hingga hampir putus asa.     

Tiba-tiba...     

" Hei!! Kalian!! Ayo ikuti aku!! ", ucap suara anak wanita kira-kira masih berumur 16 tahunan dari ujung lain.     

Seketika mereka menoleh ke sumber suara itu. Dan segera mengikuti anak itu. Anak itu menunggu Dr. Ben dan Bapak itu datang. Dari kejauhan, ia memberi isyarat "Cepat!! Lari!!", teriaknya sambil berlari.     

Bingung dengan teriakan anak itu, mereka menoleh ke belakang. Dan seekor sapi ngamuk sepertinya tengah beelari menuju ke arah mereka. Sontak saja mereka segera berlari sekuat tenaga mengikuti anak perempuan tadi. Hingga tibalah mereka di sebuah gerbang yang didalamnya ada sebuah perkampungan. Takjub dan heran ditambah lagi panik dan ingin cepat tiba di perkampungan memenuhi perasaan mereka.     

Di ujung gerbang itu sudah banyak penjaga yang hendak menutup gerbang penutup dari besi. " Cepat!! Lari!!", teriak mereka di ujung gerbang.     

Dr. Ben dan Bapak itu terus berusaha berlari. Jarak mereka semakin dekat. Tinggal 100 meter lagi. Teriakan " Ayo!! Cepat!!" memenuhi telinga mereka. Gerbang semakin berjalan tertutup. Mereka harus bisa.     

Dan. .... Ya!! Mereka berhasil mencapai gerbang. Dan segera masuk ke dalam gerbang itu selagi masih ada celah yang masih terbuka sebelum gerbang itu menutup.     

Trap.. Gerbang itu tertutup rapat tanpa celah.     

Bruk...sapi gila itu menabrak gerbang penutup hingga ia terjatuh.     

" Ahh.. Syukurlah", ucap Dr. Ben.     

Para penjaga membawa masuk Dr. Ben dan pria itu. Dibawanya ke rumah kepala desa untuk ditenangkan terlebih dahulu sebelum kemudian akan diinterogasi.     

Mereka melangkah masuk ke rumah kepala desa. Anak perempuan yang tadi menuntun mereka keluar dari labirin sudah ada di depan mereka sedang membuka pintu.     

" Silahkan masuk", ucapnya.     

Setelah Dr. Ben dan Bapak itu masuk, kemudian anak perempuan itu masuk. Kemudian memanggil ayahnya, Kepala desa disana.     

Kemudian pria kira-kira berumur 35 tahunan muncul dari balik sebuah pintu yang sepertinya kamarnya. " Selamat datang di kampung kami. Silahkan duduk", sapanya.     

Kemudian dia duduk di sofa , diikuti putrinya kemudian Dr. Ben dan Bapak itu. Para penjaga menunggu diluar rumah Kepala desa. " Perkenalkan, saya Endra Susanto , Kepala desa disini. Dan ini putri saya Elia. Oh ya nama kalian siapa", tanya Kepala desa itu setelah memperkenalkan diri.     

" Saya Ben", ucap Dr. Ben.     

" Saya Hendra", ucap Bapak yang duduk di samping Dr. Ben.     

Kepala desa itu menganggukkan kepalanya pelan diikuti kata " Oh" yang keluar dari mulutnya. " Hmm..kalian dari mana? Kenapa bisa masuk kesini?", tanya lagi si Kepala desa.     

Kemudian Pak Hendra menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya secara singkat. Tak lupa juga ia jelaskan sedikit tentang pertemuannya dengan Dr. Ben, " ...Dan aku bertemu dengan Dr. Ben di gurun. Katanya dia dari bunker".     

Mendengar kata bunker ia menjadi teringat akan Max. Max membangun bunker untuk mengahncurkan kampung ini.     

" Sebelumnya maaf, apakah Bunker yang kalian maksud adalah Bunker milik Max?", tanya Kepala desa penasaran.     

Dr. Ben mengangguk dan mengiyakan pertanyaan Kepala desa.     

" Ada hubungan apa kamu dengan Max?", tanya Kepala desa yang mulai menginterogasi.     

Dr. Ben akan berusaha berbicara jujur, dengan harapan Kepala desa bisa membantunya, "Hmm.. Hanya sekedar atasan dan bawahan. Aku dokter disana. Aku keluar dari sana dan ingin bertemu dengan istri".     

" Oh.. Ya sudah kalau begitu, kalian bisa tinggal sementara di rumah samping rumah saya", ujarnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.