Pulau yang hilang

Gurun pasir Maxian



Gurun pasir Maxian

Rekaman kamera hasil intaian mulai terlihat lagi di layar besar. Max bisa mengawasi dan mengetahui siapa yang berusaha masuk ke wilayahnya.     
1

"Cari mereka!", perintah Max pada semua pekerjanya.     

Semua orang di ruangan itu sibuk dengan meja masing-masing, sibuk mencari keberadaan orang-orang yang berusaha masuk ke wilayah mereka. Semua orang telah berusaha mencari. Tapi tak ada satu pun yang berhasil menemukan Beno dan kawan-kawannya. Yang ada hanya hutan Bubu yang terbakar dan juga potongan tubuh makhluk pembunuh yang terpencar dimana-mana karena ulah mereka.     

"Apa mereka berhasil melewati hutan Bubuku?", tanya Max.     

Salah satu pekerja menjawab, "Sepertinya begitu, Pak".     

"Pasti mereka sedang berada di gurun pasir Maxian, dan.. disana tak ada kamera pengintai, sial.!!", bentak Max sambil menggebrak meja dengan tangannya.     

Max berdiri, mondar-mandir kesana kemari, sedang memikirkan cara untuk mengawasi mereka. Beberapa menit ia berjalan seperti itu, akhirnya ide didapatkannya.     

"Ahaa!!", ucap Max sambil memetikkan jarinya. "Kirim pasukan kesana!Awasi mereka! Dan tangkap kalau bisa! Tapi jangan bunuh mereka! Aku ingin tau alasan mereka masuk ke wilayahku dari mulut mereka sendiri ", perintah Max.     

Beberapa pasukan dikirimkan ke gurun pasir Maxian lengkap dengan pekerja keamanan berseragam dan bersenjata.     

Rimbunnya pepohonan telah hilang, siulan para burung juga sudah tak terdengar, tanah dan rumput basah sudah tak dipijak lagi. Perjalanan melelahkan telah menggiring mereka ke Gurun Pasir. Gersang. Panas sekali. Jaket hangat dilepas Beno dari badannya. Persediaan air tinggal beberapa tetes saja. Dihematnya sampai mendapat sumber air lagi. Baju kaos hanya tergantung di tangan Candra, tak dipakainya di badan. Ia sudah sangat kehausan, cadangan airnya habis diteguknya.     

"Ahh, sial, airku habis", ucapnya sambil melempar botol tempat menyimpan airnya itu karena kesal.     

Mereka berjalan tanpa henti, kecuali malam. Malam hari mereka gunakan untuk beristirahat menyiapkan tenaga untuk esok harinya.     

Tiba-tiba suara baling-baling helikopter terdengar.     

"Shutt,, suara apa itu? ", tanya Candra.     

Dr. Ben yang tahu kalau itu pasti milik Max, meminta semuanya untuk bersembunyi, "Ayoo!!!Lari..!!!!".     

Semuanya berlari menghindari helikopter itu. Untungnya ada sebuah reruntuhan bangunan, mereka akan gunakan bangunan itu untuk bersembunyi.     

"Ayo kesana!!", ucap Beno sambil berlari mengarah ke reruntuhan bangunan itu     

.     

Mereka bersembunyi di bawah reruntuhan bangunan itu. Dengan harapan, tak terlihat oleh salah seorang di helikopter itu. Satu helikopter pergi menjauh sepertinya. Mereka pun keluar dari reruntuhan itu.     

"Angkat tangan!! ", ucap salah seorang di belakang mereka. Harapan mereka semua musnah begitu saja. Saat mereka menoleh ke belakang sambil mengangkat tangan. Pasukan Max telah siap menangkap mereka dengan senjata lengkap di tangannya. Beno dan kawan-kawannya hanya bisa pasrah. Mereka tak bisa melakukan apa-apa.     

'Celaka! Melawan sedikit saja, nyawa mereka jadi taruhan', pikir Dr. Ben.     

Ia tahu sifat para pasukan Max yang bisa dengan keji membunuh orang yang melawan mereka. Mereka menggiring Beno dan yang lainnya masuk ke mobil.     

Mobil pasukan itu tak hanya satu, ada 4 unit mobil. Beno dan kawan-kawannya dipaksa masuk ke mobil box di barisan tengah dengan tangan yang diikat dan mata tertutup kain.     

"Dimana kita? ", tanya Candra. Tapi teman-temannya tak ada yang menjawab satupun karena mereka juga tak tahu.     

Ikatan di tangan Arash sepertinya kurang kuat, sehingga ia bisa melepasnya. Arash tak banyak bicara, ia takut ada pasukan yang bersama mereka di box mobil itu. Ia mencoba menendang-nendang ke sekitar dengan tangan yang pura-pura masih terikat dan mata tertutup.     

"Aww", sahut salah satu temannya, sepertinya Andre. Arash menendang ke arah lain, dan yang menyahut hanya suara teman-temannya. Ia tahu karakter suara dari teman seperjuangannya itu.     

Setelah tahu kalau disana hanya ada teman-temannya, ia membuka penutup matanya dan benar saja disana tak ada pasukan yang mereka takuti, hanya supir dan satu pasukan yang duduk di samping supir saja. Dan sepertinya pasukan lain ada di mobil depan dan belakang mereka.     

"Shutt.. kalian jangan berisik, ya", kata Arash sambil membuka satu persatu pengikat tangan teman-temannya.     

"Ahh.. ", ucap Candra setelah dibuka pengikat tali di tangannya oleh Arash dan dibukanya sendiri penutup mata kemudian melempar kain penutup itu. Matanya dikerjap-kerjap olehnya. Semakin lama semakin jelas pandangannya. Mereka benar-benar berada di dalam box sebuah mobil. Mereka mulai memikirkan sebuah rencana. Mereka akan melarikan diri dari sana.     

Tapi sebelum melarikan diri, mereka harus melihat dahulu situasi dan kondisi kala itu. Beno mencoba melihat keluar lewat sedikit celah di bagian samping kanan box itu.     

"Banyak gedung terbengkalai di bagian kanan kita, dimana kita? ", tanya Beno dengan lirih.     

"Kita masih ada di gurun pasir Maxian, tapi di bagian lain", jawab Dr. Ben.     

Beno dan kawan-kawannya berpikir sejenak, hingga keheningan itu terpecah saat Beno bertanya, "Siapa yang muat di lubang ini? ", sambil menunjuk ke arah lubang penghubung antara bagian Box dan bagian depan mobil.     

Lubang itu tak terlalu besar. Kira-kira berukuran 70 x 70 cm. Ada bagian yang bisa dibuka-tutup di lubang itu untuk penutupnya. Karena lubangnya kecil, maka Dr. Ben menawarkan diri untuk menjawab pertanyaan dari Beno.     

"Oke, Dr. Ben nanti setelah kita melumpuhkan supir dan pasukan disampingnya, kau langsung masuk untuk mengemudikan mobil", perintah Beno.     

Aksi mereka pun dimulai. Beno meminta senjata yang dibawa Arash. Andre pun sama, ia bersiap untuk menembak siapa saja yang menyerang mereka. Begitu juga dengan Candra. Tak lupa Dr. Ben yang menyimpan pistol di sakunya.     

Dr. Ben mengetuk penutup lubang itu, dan si pasukan yang berada di samping supir itu membukanya. Tapi saat dibuka tak ada orang disana. Dengan cepat, Dr. Ben muncul dihadapannya dan menembak bagian kepalanya. Dalam hitungan detik saja, pasukan itu tumbang. Sang supir yang tahu kalau mereka telah membebaskan diri, ia mencoba menghubungi unit pasukan lain. Tapi sebelum berhasil menghubunginya, ia terlebih dahulu telah ditembak oleh Dr. Ben. Dan..     

Bruk..     

Ia jatuh tertidur di atas kemudi mobil. Sehingga mobil mereka oleng. Namun, Dr. Ben segera masuk ke lubang itu, dan tentu saja muat dalam lubang itu. Kemudian ia masuk ke bagian depan mobil box itu. Membuka pintu mobil dan melempar keluar supir yang menghalangi aksinya. Diambil alihlah kemudi oleh Dr. Ben.     

Unit pasukan yang ada di belakang mereka penasaran siapa yang keluar dari mobil box di depannya. Mereka menghentikan mobil mereka kemudian mengecek siapa yang baru saja keluar dari mobil di depan mereka itu. Setelah mendekat dengan hati-hati. Ternyata yang baru saja terjatuh dari mobil box itu adalah sang supir yang mengemudikannya. Tanpa pikir panjang lagi, semua pasukan itu segera masuk ke mobil, mengejar mobil box yang dikemudikan Dr. Ben.     

Mobil Box yang tadinya berjalan beriringan dengan 2 mobil di depannya, kini berbelok ke arah kiri. 1 unit mobil di belakangnya mencoba menghentikan mereka. Tapi Beno menembaki mobil itu dengan pistol pemberian Arash dari celah bagian samping box. Dan...tentu saja mobil itu terhenti lajunya. Ban mobil itu tertembak oleh Beno. Dan kini mereka bebas dari kejaran pasukan Max.     

Setelah beberapa kilometer, 2 unit mobil di depannya mulai sadar, bahwa 2 mobil di belakang mereka tak ada. Mereka mencoba menghubungi kedua unit pasukan itu, tapi tak ada jawaban. Mereka kembali berbalik arah untuk mencari kedua unit yang hilang.     

Setelah melaju cukup jauh, Dr. Ben meminta salah seorang untuk masuk ke bagian depan menemaninya dan juga untuk berjaga melindunginya bila ada serangan. Andre pun bersedia. Dan Dr. Ben pun menghentikan terlebih dahulu laju mobilnya kemudian ia turun untuk membuka gembok pengunci bagian Box di belakang. Andre turun, masih dengan tongkat pembantu kakinya. Masuk ke bagian sebelah supir. Menyingkirkan terlebih dahulu satu pasukan yang telah mati tertembak tadi. Sebelumnya, ia melepas seragam lengkap yang dipakainya lengkap dengan senjata yang ia bawa. Lalu disimpannya, siapa tahu nanti bisa berguna. Senjata yang ia ambil, dipegangnya.     

Perjalanan pun berlanjut, kini mereka tak perlu berjalan lagi. Mobil box jarahan mereka digunakan untuk perjalanan mereka selanjutnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.