Pulau yang hilang

Penguasa



Penguasa

0Di ruangan Penguasa, ia tak pernah mengalihkan pandangannya ke arah lain, selain ke dinding kaca tebal itu. Ia membayangkan masa kecilnya yang tak perlu rumit memikirkan semua yang ia lakukan kini. Ia bisa bermain sesuka hatinya.     
0

Terbayang saat ia bermain di sebuah rumah besar dengan kakaknya, Andre. Ia tengah bermain bersama. Saat itu masih berusia 5 tahun dan kakaknya kira-kira 10 tahun. Kakaknya begitu menyayanginya. Tak ada yang menyayanginya selain kakaknya. Ia tak tahu orang tuanya dimana. Ia tinggal bersama orang tua angkat yang jahat. Mereka ilmuwan yang cerdas. Tapi selalu menggunakan Si Penguasa itu untuk menjadi kelinci percobaan. Pernah sekali ia menjadi bahan percobaan orang tuanya itu.     

Suatu hari, Hiduplah sepasang suami istri yang merupakan orang tua angkat Andre dan adiknya. Mereka punya rumah cukup besar. Mewah. Mereka hidup sangat berkecukupan. Tak pernah merasa kekurangan. Harta berlimpah. Derajat orang tuanya cukup tinggi. Tapi sayang keluarga itu tak bisa punya anak. Hingga mereka memutuskan untuk mengadopsi anak dari panti asuhan. Awalnya mereka hanya ingin mengadopsi satu anak saja, Andre. Tapi karena Andre tak pernah mau berpisah dengan adik kesayangannya itu. Ia tak mau diadopsi kecuali bersama adiknya. Orang tua angkatnya lebih memilih Andre, karena Andre sangatlah berbeda dari yang lainnya. Tapi karena itu keinginan Andre, maka orang tua angkatnya itupun mengadopsi keduanya.     

Awalnya mereka menyayangi Andre dan adiknya seperti orang tua pada umumnya. Tapi lama kelamaan, mereka bertingkah tak seperti dulu. Mereka jarang menghabiskan waktu dengan Andre dan adiknya. Sehingga Andre dan adiknya lebih suka bermain berdua di kamar.     

Hingga suatu saat, Adiknya ditinggal Andre pergi sekolah. Ia hanya seorang diri di kamar. Ia yang masih berusia 5 tahun bermain seorang diri di kamar. Hingga saat rasa bosan pun melanda. Ia mencoba keluar kamar, siapa tahu ada orang yang bisa di ajak bermain. Masuk ruang sini, keluar ruang sana, tak ada juga orang yang bisa diajak bermain. Sampai dia pun menemukan satu pintu yang belum pernah ia ataupun kakaknya buka. Pintu itu ada di lantai 2, tepatnya disamping kamar orang tua angkatnya. Ia mencoba membuka pintu berwarna putih yang memang tak dikunci. Sedikit demi sedikit. Mengintip ke dalamnya.     

Ruangan itu adalah tempat orang tuanya melakukan berbagai macam percobaan, secara mereka adalah ilmuwan ternama. Banyak lemari kaca disana berisi benda-benda menyeramkan. Tengkorak manusia tapi masih ada bagian yang utuh juga. Ada manusia aneh semacam manusia jadi-jadian. Kulitnya keriput. Giginya bertaring yang siap mengoyak daging. Lalu ia mencoba masuk, tapi tiba-tiba suara kakaknya menghentikannya.     

"Dek, kakak pulang", panggilnya dari balik pintu masuk besar di bagian depan rumahnya. Suaranya itu terdengar menggema oleh si penguasa kecil. Karena senang, kini ia tak sendiri. Lalu penguasa kecil itu menghampiri kakaknya dengan riang.     

"Kakak!! ", sahut adiknya yang langsung memeluknya.     

Andre kecil keheranan saat itu. Kenapa adiknya ini memeluknya. Lalu Andre pun membawanya ke kamarnya untuk diajak bermain.     

"Yuk kita main, kamu sendirian ya disini? ", tanya Andre.     

Adik kecilnya hanya menganggukkan kepala sambil menggenggam tangan Andre. Ia sangat menyayangi Andre. Tak ada yang dikenalnya sejak kecil selain Andre.     

Setibanya di kamar, Andre terkejut saat kamarnya berantakan oleh mainan-mainan adiknya. "Ya ampun, Max", bentak Andre sambil menatap adiknya tajam.     

Maxendra Aleandro, nama lengkap penguasa itu yang hanya tersenyum manis saat Andre membentaknya. Tapi Andre tak marah, hanya saja sedikit kesal. Andre sudah terbiasa disuguhkan mainan-mainan yang berserakan di rumah. Jadi, saat pulang mereka harus membereskan mainan itu bersama. Setelah membereskan mainan, karena kelelahan, mereka lanjut tidur sampai sore.     

Hingga suatu ketika, Andre yang biasanya pulang pukul 12an. Sampai pukul 1 siang tak pulang juga. Max begitu bosan. Tanpa pengasuh, tanpa teman, tanpa orang tuanya. Hingga ia teringat akan suatu ruang yang pernah ia kunjungi beberapa waktu lalu. Ia mencoba pergi kesana lagi, kali ini ia akan masuk ke dalamnya lagi.     

Pintu di bukanya, dan masuklah ia ke dalam. Ruangan yang cukup luas. Seperti perpustakaan, namun penuh dengan benda-benda aneh yang tak pernah Max lihat. Semakin banyak makhluk yang bisa ia lihat disana. Max mencoba mendekat ke lemari kaca yang berisi makhluk-makhluk aneh itu. Mencoba menatapnya, melihat setiap detail makhluk-makhluk itu. Menyeramkan sekali. Cukup sudah diperhatikannya makhluk tak bergerak itu.     

Cklek...     

Pintu yang tadinya terbuka, kini tertutup. Max kaget, ia menoleh ke pintu itu. Dan mencoba membuka pintu itu tapi sepertinya terkunci. Teriakan minta tolong terhentikan oleh Ibu angkatnya yang tiba-tiba membekam mulut dan hidung Max hingga ia pingsan.     

Pusing yang dirasakan Max kala ia membuka matanya.     

Dan,, kenapa ia bisa ada di gurun pasir? Hah? Apa itu? Mereka tengah mendekat ke arah Max, Apa mereka akan menolong Max? Semakin lama semakin mendekatlah makhluk itu ke arah Max. Max mengenal mereka. Mereka makhluk yang ada di ruang tadi. Yang punya gigi taring tajam. Kulitnya keriput. Tapi kenapa mereka mendekati Max?     

Dalam perasaan yang ketakutan, ada yang berbisik di telinga Max. "Lari, Max, lari". Dengan sigap Max terbangun, dan kemudian ia lari sekencang-kencangnya menjauhi makhluk itu.     

"Tolong!! Tolong!!", teriak Max sambil terus berlari. Hingga ia terperosok ke jurang dan jatuh ke sungai di dasar jurang itu. Max pun tak sadarkan diri. Tapi tak ada satupun disana yang menolongnya. Tubuh kecilnya tak kuat untuk bangun, berasa hancur seluruh tulang yang terbungkus kulitnya itu. Tapi tiba-tiba seseorang menolongnya. Ia menggendong tubuh mungil Max. Max tak dapat melihat wajahnya, karena ia selalu saja mendongak ke depan. Saat Max diturunkan di tanah, ia melihat wajah seramnya. Tertutup topeng hitam yang kemudian dibukanya. Wajahnya hancur. Penuh belatung di pipinya yang bolong-bolong. Hidungnya sobek. Arghh... menyeramkan sekali. Langsung saja ia lompat menjauh dari makhluk itu. Max ketakutan. Ia tak bisa berbuat apa-apa dengan tubuh lemasnya. Ia hanya memejamkan mata dan berharap keajaiban akan datang.     

Tubuhnya masih merasakan lemas yang tak tertahankan. Hingga ia mencoba membuka matanya perlahan. Jauh dari kata jelas. Hanya bayangan yang terlihat. Tapi sepertinya ia mengenal siapa itu dari suaranya. Itu ibu angkatnya, dan ada ayahnya juga. Mereka sepertinya sedang sibuk melakukan sesuatu. Mondar-mandir. Mengotak-atik sebuah benda. Mencari benda ini, mencari benda itu. Hingga mereka mendekat, hendak memasangkan sebuah benda ke hidung Max. Max yang tak berdaya mencoba berdalih. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi tetap saja benda itu berhasil dipasangkan di hidung Max, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri lagi.     

"Max, bangun, max, aku sayang kamu, Max. Jangan tinggalkan aku sendirian", ucap Andre di samping Max dan menggoyang-goyangkan tubuh Max.     

Max terbangun setelah mendengar suara Kakaknya itu. Ia tiba-tiba sudah ada di kamarnya. Andre langsung memeluknya erat sambil membisikkan kata, "Jangan pernah tinggalkan aku, Max". Air mata Max mengalir di kedua pipinya.     

Lamunan Max, Si penguasa pecah saat seseorang memanggilnya,"Permisi Pak Max, kami sudah memperbaiki kamera pengintai hutan Bubu", ucap seorang pekerja di pengeras suara ujung ruangan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.