Pulau yang hilang

Bukit Persaudaraan



Bukit Persaudaraan

0Candra dan Beno mendekat ke arah kerumunan orang yang hendak menuju ke suatu tempat. Lelah tak tertahankan, peluh keringat bercucuran, namun langkah kaki tetap dipaksakan. Nyanyian merdu terdengar. Darimana suara itu? Sepertinya lagu itu tak asing bagi Candra. Ya itu suara puji-pujian dari gereja. Orang-orang itu menuju ke gereja untuk beribadah karena hari ini adalah hari minggu, hari dimana ia dengan umat kristen lain beribadah. Lalu ia berlari meninggalkan Beno sambil berteriak kepadanya, "Ben, tunggu aku ya? ".     
0

Beno mengerti apa yang akan Candra lakukan. Candra akan beribadah, syukurlah ia masih ingat Tuhannya. Beno menunggunya di halaman gereja itu.     

Agak lama ya, mereka beribadah. Lalu Beno melihat seorang kakek tua berjalan kelelahan di seberang jalan sana. Beno merasa iba pada keadaan Kakek itu, ia menjadi teringat sosok ayahnya. Ayahnya yang tak kenal lelah mencari sesuap nasi untuknya dan ibunya. Ia mencoba mendekati Kakek itu dan mengajaknya duduk bersama.     

"Kek, kakek dari mana? ", tanya Beno.     

"Kakek dari sebelah sana. Kakek lapar nak, tapi kakek tak punya uang untuk membeli makanan, apakah kamu punya sedikit makanan untuk kakek? ", ucap Kakek itu sambil menunjuk ke arah kanannya lalu meminta sedikit makanan kepada Beno.     

Tanpa basa-basi lagi, Beno berkata sambil memberikan rambutannya itu, " Ini kek untuk kakek, semoga bisa sedikit mengganjal perut kakek".     

Kakek itu menerimanya dan memakannya, setelah habis, kakek itu berkata,"Alhamdulillah, Kakek kenyang, nak. Ambillah pedati milik kakek ini nak, semoga bisa membantumu dan temanmu, sepertinya kamu tengah menuju suatu tempat yang jauh".     

Beno langsung mendekati pedati dan kuda yang terparkir di samping mereka. Beno sangat senang, tapi saat hendak berterima kasih pada Kakek itu, Kakek renta itu hilang. "Kek, Kakek dimana? ", ucap Beno sambil berputar di tempat mencari Kakek itu. Tapi Kakek itu benar-benar hilang.     

Ya sudahlah. Kini mereka punya kendaraan untuk menuju ke Lab. Dan tak lama kemudian, Candra pun datang setelah menyelesaikan kegiatan ibadahnya.     

Beno dengan riangnya berkata pada Candra, " Dra!! kita punya kendaraan untuk menuju kesana".     

"Wahh,, darimana ini? ", tanya Candra yang kagum akan kuda gagah dan pedatinya itu.     

"Ada kakek tua yang memberinya padaku tadi, tapi ia hilang begitu saja", cakap Beno.     

Tanpa menunggu lama lagi, mereka pun naik ke atas pedatinya dan mulai mengendarai kuda itu.     

Panas terik kala itu, membuat kuda mereka kehausan. Sehingga mereka harus mencari dulu sumber air. Sulit bagi mereka menemukan sumber air yang dicari, sehingga terpaksa mereka turun dari pedatinya agar Kuda itu tak terlalu kelelahan menopang mereka.     

Berjalan mengiring kuda itu, mengikuti alur aspal yang entah mengarah kemana. Hingga tibalah mereka di sebuah jembatan. Jembatan? Tempat untuk menghubungkan dua tempat yang terpisah bisa karena aliran sungai, atau bahkan jurang. Semoga saja dibawah jembatan ini sungai, agar mereka bisa memberi kuda itu air. Berjalan perlahan tapi pasti. Hingga tibalah mereka diatas jembatan yang sudah nampak sejak 300 meter saat mereka berjalan.     

Dan benar saja, aliran sungai berada tepat dibawah jembatan yang mereka pijak. Candra mencoba mencari jalan untuk turun kesana. Dan memang ada. Ia pun membawa kuda itu ke dekat sungai yang sedikit deras alirannya.     

Memberinya minum, segar rasanya, melihat kuda itu bisa menepis rasa hausnya. Kuda itu kembali bugar dan semangat. Sehingga mereka bisa kembali meneruskan perjalanan mereka. Saat mereka telah naik kembali ke atas jembatan dan mulai melajukan kudanya pelan , ada suara yang tak asing memanggil nama Beno dan Candra.     

"Ben, Beno!! Candra!! Hei!! Di atas sini..", teriak suara itu yang sepertinya berasal dari atas bukit.     

Beno dan Candra bersamaan menengok ke atas bukit. Ada dua orang pria, yang satu gagah dan yang satu lebih pendek. Ditambah seorang wanita berjaket kulit hitam disamping pria pendek disana. Jarak mereka cukup jauh dari jembatan, bukit itu lebih tinggi dibanding tempat Beno dan Candra berpijak. Sehingga Beno dan Candra tak bisa melihat dengan jelas wajah mereka.     

"Siapa itu, ya Dra?", tanya Beno pada Candra.     

Candra yang juga tak tahu, ia malah balik nanya pada Beno, " Iya siapa ya? Kok tahu nama kita, ya?".     

Lama saling memandang dari kejauhan. Hingga akhirnya Beno tersadar siapa yang memanggilnya itu, yups itu adalah...     

"Dr. Ben ? Andre?", ucap Beno yang telah tersadar.     

Candra yang mendengar ucapan Beno, ia juga mulai teringat akan kehadiran mereka. Setelah keduanya mengenali wajah itu, Beno dan Candra mulai memacu kudanya menuju ke atas bukit, Bukit persaudaraan namanya. Tempat mereka bertemu, setelah beberapa hari terpisah, dengan komunikasi yang terputus-putus, hingga akhirnya berjuang terpencar dan berusaha bersama dilengkapi do'a tiada henti pada Tuhan, akhirnya mereka pun bertemu jua.     

Setiap peluh yang dikeluarkan, setiap langkah yang dihentakkan, dan lelah pun terbayar kini, mereka bisa berjuang bersama lagi. Mereka sangat bersyukur bisa bertemu lagi. Pelukan hangat dari kawan sekaligus sebagai tanda syukur dan pengobat rindu kebersamaan mereka.     

Hari menjelang malam, pemandangan matahari terbenam begitu indah di atas sana. Istirahat sajalah dahulu mereka di bukit itu. Meredakan lelah, mengistirahatkan badan selama semalam, setelah beberapa hari terus melangkah tanpa mengeluh lelah.     

Lelaplah mereka di atas bukit, dibawah pohon rindang. Mobil dan pedati serta kuda terparkir di dekat mereka. Barang-barang telah lengkap di dalam mobil Arash     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.