Pulau yang hilang

Hamparan luas



Hamparan luas

0Hamparan rumput yang luas. Udara sejuk berhembus. Hari sudah cerah saja, mengapa begitu cepat? Perasaan, baru saja mereka pergi hari masih gelap gulita.     
0

"Pantas saja ada sinar, hari memang sudah pagi",ujar Beno. " Candra yuk kita balik lagi, kita harus segera menemui Andre dan Dr. Ben!", ajak Beno sembari menarik lengan Candra.     

Candra pun menuruti apa yang dikatakan Beno. Saat mereka berbalik, Hah? Dimana pintu itu? Pintu itu menghilang begitu saja. Mereka mencoba melihat ke sekitar. Yang ada hanya hamparan padang rumput yang begitu luas. Tak ada satu pun pohon disana. Dimana mereka?     

"Dimana kita,Ben?", tanya Candra dengan wajah panik tercampur bingung.     

Beno yang juga bingung, jelas-jelas tadi mereka masuk melalui sebuah pintu tepat di belakang mereka. Tapi kini kemana pintu itu?     

"Aku juga tak tahu. Pintu tadi kemana, Dra? ", jawab Beno lalu malah balik nanya kepada Candra. Mereka benar-benar bingung kala itu. Bagaimana cara mereka agar bisa bersama dengan Andre dan Dr. Ben lagi? Pintu itu hilang.     

Beno tarik nafas sejenak, mencoba membuat dirinya tidak panik dan tetap tenang. Hingga ia pun berkata kepada Candra yang masih saja tak tenang,     

"Tenang Dra, tenang. Ayo kita coba cari pintu itu". Beno mengajak Candra mencari pintu itu dengan menarik tangan Candra. Tapi Candra melepaskan genggaman Beno di tangannya.     

" Kita cari kemana? Lihat disana! Disana! Disana! Tak ada apa-apa selain padang rumput, Ben!", bentak Candra sambil menunjuk kesana kemari dengan keputus-asaan.     

Beno mencoba menenangkan Candra, ia meminta agar Candra tetap tenang dan yakin kalau mereka akan baik-baik saja. Lalu Beno mengajak Candra berjalan ke sebelah kanan dari tempat mereka berdiri.     

Lama berjalan, tak juga mereka temukan pertolongan, handy talky yang ada di genggaman Beno terus ia coba sambungkan pada Dr. Ben dan Andre tapi tak berguna kali ini. Mereka hanya bisa pasrah. Panas yang semakin terik. Keringat bercucuran hingga baju mereka basah. Mana tak ditemukan sumber air lagi. Tenggorokan mereka mulai kekeringan. Cadangan air yang mereka bawa juga mulai menipis.     

Beno heran, jika disini sulit mendapatkan air, darimana rumput-rumput hijau ini bisa sesegar kelihatannya. Mereka begitu manis terhempas angin, bergoyang kesana kemari. Apakah air hujan sering turun disini?     

Tanpa henti mereka terus berjalan, mencari pertolongan atau tempat berlindung. Tapi tak jua mereka bertemu dengan apa yang mereka cari.     

Mata Candra yang mulai lelah menahan kantuk, tersadarkan seketika saat melihat ada sebuah pohon rindang disana. Sejuk sekali bila berteduh dibawahnya. Mereka berlari kegirangan menuju kesana. Seperti ikan yang akan menyambar umpannya.     

Pohon itu nyata ternyata, tadinya dikira Beno hanya fatamorgana, tapi tidak, ini nyata. Benar-benar nyata. Mereka berteduh disana, menyandarkan tubuh penuh peluh di batang besar pohon itu.     

"Sejuknya,, ", kata Candra yang kemudian memejamkan matanya sambil menikmati sejuknya berteduh disana.     

Pohon itu tak hanya memberi kesejukan, tapi juga membuat perut keroncongan mereka kenyang. Yang kebetulan mereka juga belum sarapan. Dan tak membawa bekal makanan. Tadinya setelah mereka bebas dari penjara, mereka akan membarter barang mereka dengan perbekalan menuju laboratorium. Tapi karena mereka malah kemari jadi tak ada satupun perbekalan yang dibawa kecuali air minum dan barang berharga yang mereka punya.     

Pohon itu adalah pohon rambutan berbuah ranum. Mereka melemparinya dengan batu yang berserakan di sekitaran pohon itu, dan buah rambutan yang bergelantungan disana pun berguguran. Mereka memakan buahnya hingga kenyang. Mereka juga mengantonginya untuk bekal mereka selama perjalanan nanti. Niatnya mereka akan mencari jalan untuk menyusul Andre dan Dr. Ben. Tapi mereka tak tahu arah mana yang harus dituju. Tak ada jejak bekas kehidupan disana.     

Tiba-tiba handy talky yang digenggam Beno mengeluarkan suara yang berasal dari Andre sepertinya, "Ben, Can, kalian dimana? Halo? ".     

" Kita disini, tak tau dimana, padang rumput yang begitu luas. Terik sekali disini", ucap Beno tergesa menjelaskan secara singkat tempat mereka berada.     

Andre yang sedang berada di rumah Kepala Desa terheran dengan kata terik yang disebutkan Beno, karena disini masih sangat pagi, matahari saja belum terlalu terik, Andre semakin heran dengan keberadaan mereka. Dimana mereka. Mengapa begitu berbeda jauh waktu di tempatnya dengan tempat yang Beno sebutkan. Andre melamun begitu lama membiarkan Beno menjelaskan tempat dimana ia, Andre hanya terfokus pada kata terik yang diucapkan Beno tadi, dan tiba-tiba handy talky ditangannya mengeluarkan bunyi tuuttt... tuuttt... tuttt... Dan akhirnya mati.     

"Kenapa ini? ", tanya Andre pada dirinya sendiri sambil menggoyang-goyangkan handy talky yang digenggamnya.     

Dr. Ben yang tadi sedang tertidur di kursi panjang ruang tamu rumah Pak Kepala desa tiba-tiba terbangunkan lalu bertanya tentang apa yang terjadi. Kemudian Andre memberitahu keberadaan Candra dan Beno kini.     

Dr. Ben heran, kenapa mereka bisa ada disana. Setahu Dr. Ben, itu adalah tempat menuju laboratorium para pengawas, kalau tidak salah. Ya, Dr. Ben tahu bagaimana cara menuju kesana. Dulu ia adalah salah satu orang yang terlibat dalam perancangan tempat itu. Tapi, dia tak tahu jika persimpangan tadi bisa mengarah ke bunker lebih cepat.     

"Itu adalah tantangan kedua menuju tempat yang kalian tuju", kata Dr. Ben.     

Kedua? Lalu yang pertama mana? Jadi, tantangan pertama telah Beno dan Candra lewati melalui persimpangan jalan yang mereka pakai tadi. Pantas saja disana sudah terik. Karena tempat itu sebenarnya sangat jauh dari sini. Mungkin di Indonesia bagian timur, sedangkan Dr. Ben ada di bagian barat.     

Lalu Andre mencoba menghubungi Beno lagi, tapi sepertinya ada yang salah dengan handy talkynya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.